Mohon tunggu...
Syahrul Syadafa
Syahrul Syadafa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Memiliki hobi di bidang wirausaha dan Mahasiswa aktif di Kampus STEI SEBI

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Peran Maqashid 'Ammah dalam Ketentuan Ekonomi Syariah

27 Februari 2024   16:00 Diperbarui: 27 Februari 2024   16:05 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pengertian Maqashid ‘Ammah

Maqasid ‘ammah (tujuan-tujuan umum) adalah tujuan yang disyariahkan beberapa kumpulan hukum atau lintas hukum. Sedangkan maqasid khassah (tujuan khusus) adalah tujuan di syariahkan satu hukum tertentu. Maqasid Khassah (tujuan khusus) disebut juga dengan Maqasid juz’iyyah.

Maqashid al ‘ammah: tujuan umum yang dibangun berdasarkan fitrah adalah: bersifat umum, persamaan, kebebasan, toleransi, hilangnya paksaan (nikayah) dari Syariah dan tujuan umum Syariah (al Hasani, 1995: 273). Ibnu Asyur (W 1973 M) menegaskan pentingnya fitrah untuk membantu ahli fiqih dalam menyimpulkan hukum, karena ukuran ini bisa dijadikan alat untuk menilai perbuatan para mukallaf. Maka sesuatu yang sangat melencengkan dari fitrah, ia dianggap haram, sedangkan sesuatu yang mengakibatkan terpeliharanya keberadaan fitrah maka ia hukumnya wajib, sedangkan sesuatu yang berada di bawah keduanya maka ia dilarang, sedangkan sesuatu yang tidak bersentuhan dengan fitrah maka ia diperbolehkan.

1. Setiap Kesepakatan Harus Jelas


Setiap kesepakatan harus jelas diketahui oleh para pihak akad agar tidak menimbulkan perselisihan diantara mereka. Untuk mencapai target ini, syariat islam memberlakukan ketentuan tausiq (pengikatan) dalam akad muamalah maliyah seperti ketentuan bahwa setiap transaksi harus tercatat (kitabah), disaksikan (isyhad) dan boleh bergaransi. Ibnu Asyur (W 1973 M) menguatkan makna ini, ia menjelaskan: menjaga kepercayaann muktasib (orang yang berkerja) itu dengan cara melindungi hartanya.

Maqashid tersebut sesuai juga dengan prinsip dalam perdagangan harus dilakukan atas dasar suka sama suka (kerelaan). Prinsip ini memiliki implikasi yang luas karena perdagangan melibatkan lebih dari satu pihak, sehingga kegiatan jual beli harus dilakukan secara sukarela, tanpa paksaan. Perdagangan tidak boleh dilakukan dengan memanfaatkan ketergantungan karena tidak ada pilihan. Praktik monopoli berisiko melanggar prinsip ini, kecuali pada situasi tertentu.

2. Setiap Kesepakatan Bisnis Harus Adil


Di antara prinsip adil yang diberlakukan dalam bisnis adalah kewajiban pelaku akad untuk menunaikan hak dan kewajibannya, seperti menginvestasikannya dengan cara-cara yang baik dan profesional, menyalurkannya dengan cara yang halal dan menunaikan kewajibannya hak hartanya.

Ibnu ‘Asyur (W 1973 M) menjelaskan bahwa adil dalam bisnis itu adalah bagaimana berbisnis dan mendapatkan harta itu dilakukan dengan cara yang tidak menzalimi orang lain, baik dengan cara komersil atau non komersil. Di antara sarana yang dilakukan syariat ini untuk mencapai tujuan adil yaitu berinfak dan tidak menghambur-hamburkan harta. Berdasarkan maqshad (tujuan) ini, ada beberapa ketentuan Islam, di antaranya Rasulullah SAW. Melarang makan daging himar ahliyyah (keledai lokal) karena itu adalah perbekalan umat Islam pada peperangan khaibar. Juga Rasulullah SAW.


3. Komitmen Dengan Kesepakatan


Dijelaskan dalam surat (Al-Ma’idah [5] : 1), yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,penuhilah aqad-aqad itu…” (Q.S Al Ma’idah [5] : 1)

Ayat ini menegaskan tentang kewajiban memenuhi setiap kesepakatan dalam akad, termasuk akad-akad bisnis.Karena setiap akad berisi hak dan kewajiban setiap peserta akad. Dan setiap kesepakatan bisnis akan berhasil itu ditentukan oleh komitmen peserta akad dalam memenuhi setiap kesepakatan akad.

4. Melinduni Hak Kepemilikan


Para ulama telah sepakat bahwa mengambil harta orang lain dengan cara yang bathil itu diharamkan. Oleh karena itu, Allah SWT memberikan hukuman atas setiap kejahatan terhadap harta (taaddi ‘ala amwal).

Michell N. Berman (W 2013 M) menjelaskan bahwa contoh perilaku melawan hukum seringkali dikombinasikan sehingga menciptakan ciri khusus adalah mencuri (stealing). Jika mencuri ditambah dengan penipuan (deception) maka ia menjadi alasan palsu. Jika mencuri ditambah ketidaksetiaan maka ia menjadi penggelapan (embezzlement). Jika mencuri ditambah dengan paksaan berarti pemerasan (extortion). Mencuri ditambah dengan pengguaan kekuatan yang tidak dibenarkan berarti merampok (robbery). Ketidaksesuaian perilaku mencuri (stealing) dengan hukum pencurian (theft) yang telah ada,terkadang menjadikan perbuatan yang dianggap mencuri menurut moral menjadi tidak terkena sanksi pidana.

5. Ketentuan Akad-akad Syariah


Dalam teori akad-akad perpindahan hak milik (tamlikat) itu ada 5 tujuan (maqashid syari’ah) dalam ketentuan sah dan tidak sah akad tersebut. Kelima maqashi tersebut adalah distribusi (rawaj),jelas (wudhuh), terpelihara (hifdz), stabil (tsabat), dan adil (‘adl).

Akad secara etimologis, adalah al-rabtu baina athraf al-sya’I, ikatan diantara ujung suatu perkara. Makna Bahasa ini dapat dipahami, bahwa akad merupakan kesepakatan yang saling mengikat daintara pihak yang terlibat transaksi. Oleh sebab itu, suatu pembicaraan teretentu diantara pihak-pihak atas objek transaksi akan menjadikanya sebagai bukti kehendak untuk berakad.

Secara teriminologis, istilah akad memiliki dua makna, baik makna umum maupun makna khusus. Menurut makna umum, kalangan mazhab Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabiyah berpendapat bahwa akad adalah segala kesepakatan yang bersumber dari kehendak pihak-pihak yang berakad, baik kehendak tersebut tersumber dari satu pihak seperti akad wakaf, talak, hibah maupun yang bersumber dari dua pihak seperti jual beli, sewa menyewa, wakalah dan gadai.

6. Harta Itu Harus Terdistribusi


Harta itu harus terdistribusi dan bisa dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat baik dalam bentuk konsumsi atau distribusi. Diantara sarana yang digunakan untuk mencapai tujuan distribusi (tadawul) ini diantaranya:

a. Islam mensyariatkan akad-akad baik akad bisnis ataupun akad sosial (tabarru’) agar setiap harta bisa berpindah tangan dari satu pihak ke pihak lain.

b. Islam membolehkan akad-akad yang mengandung sedikit gharar seperti akad salam sebagai rikhsah (keringanan) sehingga harta bisa berpindah kepemilikan dengan akad-akad ini.

c. Islam mensyariatkan akad-akad  yang bersifat luzum tanpa pilihan kecuali jika disepakati ada syarat dalam akad.

d. Islam melarang penimbunan uang karena jika uang tidak beredar, maka akan mengakibatkan terganggunya keseimbangan keuangan, perdagangan dan sosial.

e. Islam melarang setiap bentuk praktik riba karena menghilangkan sikap simpati pada pelaku riba terhadap sesama dan karena seluruh tujuanya adalah mendapatkan harta dari sekian banyak orang, termasuk dari harta orang yang membutuhkan.

f. Islam melarang perjudian karena merugikan produksi dalam umat ini, melumpuhkan sumber daya insani sehingga tujuan investasi tidak tercapai karena dengan terkonsentrasinya harta ditangan pelaku judi itu sesungguhnya distribusi yang berbahaya dan tidak melahirkan produksi, termasuk implikasi moral yang timbul seperti permusuhan dan dengki.

g. Memenuhi hajat akan harta diantaranya dengan memudahkan ketentuan hukum terkait praktik muamalat, diantaranya dengan menegaskan al-ashlu fiil muamalat  al- ibahah  (pada prinsipnya setiap praktik muamalat itu hukumnya boleh).

7. Kewajiban Bekerja dan Memproduksi


Di antara maqasid syariah adalah kewajiban bekerja dan memproduksi. Kewajiban ini berdasarkan istiqra’ terhadap dalil-dalil yang memberikan dilalah qati’ah (makna yang pasti) bahwa bekerja dan produksi itu hukumnya wajib sesuai dengan firman Allah Swt yang artinya:

“Dialah yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, Maka berjalanlah disegala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezekinya dan hanya kepadanyalah kamu (kembalu setelah) dibangkitkan.” (QS Al- Mulk [67] : 15)

Dalam ayat ini Allah Swt. Memerintahkan untuk berjalan di muka bumi ini untuk mencari rezeki Allah Swt. Dalam konteks maqasid, mencari rezeki menjadi wajib untuk menyediakan kebutuhan harta dari aspek wujud karena tanpa bekerja, tidak mungkin ada harta dan uang.

a). Hukum Bekerja

Bekerja yang menentukan tegaknya hidup manusia, hukumnya fardhu ‘ain. Sementara usaha yang menentukan tegaknya kehidupan bersama, hukumnya adalah fardhu kifayah. Mendirikan perusahaan dan perindustriandilihat dari kebutuhan umat secara kolektif hukumnya adalah fardhu kifayah. Bertawakal kepada Allah tidak berarti menganggur dan meninggalkan usaha, karena yang demikian itu adalah tawakal yang tercela.

Sesungguhnya Rasulullah SAW tidak pernah memerintahkan umat manusia meninggalkan usaha mencari rizki dan mencari penghidupan. Bahkan beliau mengakui cara mencari rizki yang Allah ridhai. Oleh sebab itu, tidak ada alasan mencela jalur-jalur usaha yang disyariatkan.

8. Investasi Harta


Investasi harta adalah salah satu tujuan yang Allah tetapkan dan harus dicapai dalam harta yang dimiliki setiap orang. Tujuan ini didasarkan pada dalil yang tidak terbatas, di antaranya istiqra’ yang menjadi pijakan mujtahid dalam berijtihad.

Dalam islam, kegiatan bisnis dan investasi adalah hal yang sangat dianjurkan. Meski begitu investasi dalam islam tidak berarti setiap individu bebas melakukan tindakan apapun untuk memperkaya diri atau menimbun kekayaan dengan cara tidak benar. Etika bisnis harus tetap dilandasi oleh norma dan moralitas yang berlaku dalam ekonomi islam bersumber dari Al-Qur’an dan hadist.

9. Investasi dengan akad Mudharabah


Investasi Mudharabah adalah bentuk investasi yang masuk dalam kategori produk penghimpunan dana dari masyarakat dan ini dapat melengkapi produk funding yang telah ada (giro, tabungan dan deporsito). Produk Investasi Mudharabah bagi hasil pasti yaitu bentuk investasi yang ditawarkan oleh bank syariah bagi nasabah yang memiliki dana lebih setelah bank tersebut memperoleh pengajuan pembiayaan yang sudah deal dari nasabah pembiayaan (kreditur). Jika selama ini bank syariah dalam produk pembiayaannya lebih sering menggunakan produk murabahah yang sudah pasti keuntungan marginya, maka kini saatnya bank syariah juga mebuat produk funding yang bisa memberikan bagi hasil pasti bagi nasabah yang memiliki modal dalam rangka bisa mendapatkan pangsa pasar yang lebih banyak lagi.

10. Al-Kharraj bi adh-dhaman (Keseimbangan antara keuntungan dan Risiko)

Kaidah Al-Kharraj bi adh-dhaman ini adalah prinsip dalam muamalat islam yang bersumber kepada dalil istiqra’ terhadap nash-nash syariat dan menghasilkan maqasid yang berstatus qath’i. berdasarkan kaidah ini, para ulama melakukan istinbat hukum, fatwa berjihad atas banyak sekali ulama hukum fiqih.

Sesuai dengan prinsip ini, maka keuntungan (ghumm/ribh) atas modal itu sah didapatkan jika pemilik modal telah menghadapi resiko (ghurm/mukhtarah) atas modalnya juga. Seseorang yang membeli seuatu dengan maksud menjualnya, maka pembeli bertanggung jawab atas barang yang dibelinya karena kerusakan barang itu menjadi tanggung jawab pemiliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun