Malam ini aku teringat sesuatu, kasihku. Degub jantung yang sudah lama tidak aku rasakan, setelah sekian lama.Â
Waktu itu hari baru saja beranjak memasuki malam. Muda-mudi datang silih berganti. Bergandeng tangan dengan senyum sumringah yang terlukis di wajahnya.Â
Terlihat juga beberapa pasang kekasih duduk saling tatap. Ada juga yang datang bersama kelurganya, bercanda riang dengan istri serta anak-anaknya yang seumuran dengan adikmu.Â
Hiruk pikuk kedai memang selalu seperti ini, kekasih. Terlebih lagi ketika malam minggu tiba. Sabtu sore itu kau mengabariku, mengirimkan sebuah pesan "...aku akan ke sana." katamu.
Saat membaca pesan itu, sontak aku tersenyum girang. Lantas kubalas "kabari aku secepatnya, jika sudah tiba."Â
Pukul tujuh lewat tiga puluh. Belum datang kabar darimu. Gerimis bak salju mulai turun. Aku bisa melihat jelas rintiknya yang tergambar jelas di bawah sorot lampu jalan. Harapanku meredup.Â
Hujan akan turun dan kau akan membatalkan janjimu, batinku. Dengan cepat aku merogoh ponsel yang ada di saku celanaku. Memeriksa kabar terbaru yang mungkin akan memperjelas kedatanganmu. Sayangnya tidak kudapati satu pesanpun yang terpampang di layar.
Tujuh lewat empat puluh, Cangkir demi cangkir kopi sesuai dengan pesanan para tamu yang datang sudah sampai di mejanya. Ponselku belum berdering juga. Sesekali aku bisa melupakan janji kehadiranmu saat diriku bergulat dengan cafe late, cappucino dan berbagai macam sajian kopi lainnya.
Tapi sialnya, bayangan tentang janji kehadiranmu begitu cepat memenuhi ruang imajinasiku. Setiap ada pelanggan baru yang masuk, mataku langsung tertuju kesana. Tentu saja, dengan harapan kaulah yang akan melintasi pintu kaca itu.
Pukul delapan tepat. Wajah para pelanggan yang datang sejak sore bergantian dengan wajah-wajah baru. Cangkir-cangkir kopi pun sudah berulang kali keluar masuk dari balik meja bar-ku. Berulang kali juga aku memeriksa ponselku berharap pesan baru darimu. Juga berulanh kali menoleh kearah pintu kaca itu. Belum juga ku temui wajah ayu dirimu.
Delapan dua puluh. Aku pasrah, ku letakkan ponselku di laci, bersama biji-biji kopi dan beberapa lembar kertas laporan persediaan bahan. Aku sudah memaafkan janji yang kau ingkari, batinku.Â
Kulanjutkan aktifitasku, menyulap setiap biji kopi menjadi secangkir kenikmatan yang ku sajikan pada setiap pelanggan untuk memenuhi hasrat kepuasan yang mereka inginkan. Sebagai pewarna obrolan mereka dengan masing-masingpasangan untuk mengeratkan tali kemesraan bersama sang pujaan, di malam minggu ini.
Aku sudah rela jika kau benar-benar tidak memenuhi janjimu itu. Yang kupikirkan saat ini adalah cangkir-cangkir kopiku turut berkontribusi pada setiap kemesraan yang bertebaran di setiap sudut ruang kedai kopi ini.Â
Yang kau perlu tahu, kekasih. Hari ini tidak ada secangkir kopipun yang kugambar bentuk hati. Hal itu sengaja kuperbuat, dengan maksud kopi bergambar hati hanya akan kuberikan pada orang yang tepat.
Begitulah aku, selalu melankolis. Tapi tenang, aku berjanji tidak akan memberikan sekeping bentuk hati pada cangkir kopi manapun sebelum dirimu datang. Malam minggu, berjalan begitu lambat. Tiap-tiap jarum jam, seperti enggan melaju seperti biasanya.
Bangsat! Meski sudah kuusahakan untuk merelakan kau tidak datang, tapi harapan itu masih saja membelit pikiranku.Â
Delapan lewat empat puluh dua. Aku baca dengan jelas waktu yang tertera pada selembar pesanan yang keluar dari mesin cetak.
Kucabut dengan cepat kertas itu, kubaca berulang kali nama pemesan yang tertera. Aku tahu sekali, ini adalah namamu. Mungkin kau sengaja menyebutkan namamu dengan lengkap kepada kasir, seraya memberi tahuku bahwa kau sudah datang.
"Tapi di mana?" batinku.
Pandanganku menelusuri setiap meja yang ada di depan bar-ku. Kuteliti satu persatu, mencari wajah ayu dirimu. Di ujung sana! Meja dengan seri B11. kau melemparkan senyuman ke arahku. Kau sangat cantik malam itu, kekasih. Dengan kemeja putih, rambut hitam yang terurai, dengan sorot mata tajam yang tertuju padaku.
Rasanya, ada gejolak semangat yang kembali terbakar saat kutahu kau benar-benar datang. Kulambaikan tanganku kearahmu, seraya memberi tahu bahwa pesananmu akan segera tiba.
Seperti yang sudah kuceritakan di awal tadi. Bahwa degub jantung ini rasanya aneh. Sudah lama aku tidak merasakan hentakan jantung yang semeriah ini.
"Mungkinkah aku jatuh cinta?"
Aku menarik nafas dalam-dalam. Mengembalikan konsentrasiku yang kau buyarkan dengan sekejap senyuman. Secangkir cappucino dengan bentuk hati, spesial kuberikan pada seorang pelanggan istimewa. Ya benar! Itu adalah dirimu.
Jika kau tak percaya, silakan periksa setiap cangkir kopi yang ada di atas meja seluruh pelanggan kedai ini. Tidak ada kopi yang memiliki gambar hati dipermukaannya selain kopi yang ada di hadapanmu saat ini, kekasih.
Kau perlu tahu, ada sebait doa yang dipanjatkan oleh sang peracik saat membuat pesananmu itu kekasih. Kebahagiaan dan harapannya yang menggumulinya saat itu, semua tertuang pada cangkir kopi yang ada di depanmu.
Setidaknya jika kau tidak bisa menerima hatinya, kau mengetahui bahwa sebagian dirinya sudah masuk kedalam tenggorokanmu dan menyatu dengan tubuhmu; Mengikuti setiap langkahmu kemanapun kau pergi, menjadi bagian dari tenaga saat kau merasakan bahagia, menjadi satu titik zat endorfin yang membuatmu tenang kembali saat tangis membasahi pipimu. Meski kau tak pernah tahu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H