Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kasih Tak Sampai] Telepon Genggam dalam Sekotak Ingatan

5 Desember 2020   06:53 Diperbarui: 5 Desember 2020   07:58 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku akan berangkat ke Australia besok untuk melanjutkan pendidikan tingkat magister di sana. Sedari pukul tujuh pagi aku sudah sibuk membereskan barang-barang yang akan kubawa, serta merapikan kamar yang akan kutinggalkan ini tentunya.

Ibu sempat memintaku untuk beristirahat saja, dan membiarkan dirinya sendiri yang merapikan kamar ini, tapi aku menolak permintaan tersebut. Anggap saja ini upacara perpisahanku dengan kamarku, jelasku kepada ibu.

Keadaan ini agaknya seperti upaya melepas daging dari tulang. Kamar ini sudah menjadi hunian ternyaman. Tidak ada yang lebih ramah dan rumah selain kamar milik sendiri. Belasan tahun aku menjadi pemiliknya, dan belasan tahun pula kamar ini menjadi pemeluk tidurku.

Aku melihat ke sekeliling kamarku, jika saja ia berbentuk sebuah tubuh, aku akan memeluknya dengan erat. Setiap sudutnya kuperhatikan sampai aku menyadari satu titik–yang selalu ada di bawahku saat tidur–yang nyaris tertimbun dan terlupakan, tepat di bawah tempat tidurku.

Aku ingat pernah menyimpan beberapa kotak berisi benda-benda milikku di sana. Dua kotak besar berisi buku-buku dongeng, buku pelajaran, boneka dan tas ransel. Serta satu kotak sepuluh senti persegi berisi ponsel keluaran lama yang sudah rusak.

Seketika aku terbawa nostalgia pada telepon genggam yang pernah kumiliki sewaktu masih SMA itu. Meskipun benda tersebut sudah tidak berfungsi, aku tetap menyimpannya. Alasannya tidak lain adalah karena kenangan mahal dan manis yang mungkin tidak akan bisa kudapat lagi meskipun dengan ponsel model terbaru.

Memegang benda itu seakan membawa nuansa serta perasaan itu kembali; debar saat aku mengangkat panggilan telepon darinya, rasa tak sabar ketika aku menunggu balasan pesan darinya, juga rasa khawatir sewaktu aku tidak mendapat kabar tentangnya. Aku mulai mengingat semuanya: cowok yang suka ikut ekstrakurikuler dan pandai kimia, lagu-lagu barat sembilan puluhan, dan mimpi-mimpi yang pernah kami ceritakan di antara dua buah ruang yang disatukan oleh ponsel ini.

Kalau aku deskripsikan sedikit, Arga–itulah namanya–adalah cowok yang tidak begitu rupawan. Ia cukup populer di sekolah bukan karena wajahnya, atau karena sifat cuek khas Rangga di film Ada Apa Dengan Cinta?, ia lebih dikenal karena sangat aktif dalam kegiatan organisasi serta kemahirannya dalam pelajaran kimia di sekolah.

Boleh dibilang, cewek sederhana sepertiku dulu masih cukup serasi jika disandingkan dengannya. Sedikit yang membedakan kami, ia masuk jurusan IPA karena ia memang layak, sesangkan aku masuk jurusan IPA karena dipaksa orangtua, di samping itu, nilaiku juga terbilang pas-pasan.

Kami memang memilih jurusan yang sama, namun kami berada di kelas yang berbeda. Aku dan Arga akrab karena kami sama-sama tergabung dalam OSIS. Arga adalah wakil ketua, dan aku bendahara. Dengan anggapan awal Arga adalah cowok pintar seperti kebanyakan–yang dalam bayanganku mereka sombong dan memiliki pergaulan tersendiri, aku merasa cukup malas untuk dekat atau memulai perbincangan dengannya.

Namun nyatanya persepsiku itu salah. Arga adalah orang yang ramah dan nyambung saat bicara. Di luar dugaanku, ia mengajakku berdialog sewaktu aku memutar lagu-lagu Westlife. Katanya, jarang-jarang sekali remaja seusia kami menyukai lagu-lagu lama.

"Lagu-lagu mereka tidak tergerus zaman," aku menjawab dengan tangan masih sibuk mencatat anggaran lomba azan yang merupakan kegiatan pertama kami.

Di sela-sela perbincangan itu ia menyempatkan diri meminta nomorku. Aku pun memberinya tanpa lagi ragu.

Arga adalah sosok yang hangat untuk diajak berdiskusi. Tidak hanya perihal kegiatan menyangkut organisasi, lebih dari pada itu. Di tahun dua ribu dua belas, kupikir, orang-orang yang tahu referensi lagu-lagu tua serta pop culture masih bisa disebut minoritas. Apalagi mengingat letak geografis wilayah tempat tinggal serta sekolah kami yang cukup jauh dari kota, ditambah sugesti-sugesti yang memenuhi benak siswa bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang menakutkan.

Aku merasa berbunga-bunga kala itu. Kami mulai sering menjadikan pembahasan tentang organisasi dan kegiatan sekolah sebagai basa-basi atau pesan-pesan pembuka untuk menutupi perasaan malu, sebelum mencapai pembahasan inti seperti film kesukaan, lagu favorit, makanan yang membuat lidah bergetar, atau impian setelah lulus sekolah. 

Kami sama-sama menyukai serial drama High School Musical dan Glee, kami sama-sama menyukai musik barat era sembilan puluhan, kami juga sama-sama menyukai makanan berkuah kaldu, dan yang paling terkenang adalah kami sama-sama memiliki keinginan untuk berkuliah di luar negeri.

Kami semakin rutin bertukar pesan. Dari kabar-kabar penting, hingga sekadar curhat untuk meredakan rasa gundah di hati masing-masing.

Pernah pada suatu hari, aku menjanjikan nilai ujian kimia seratus kepadanya. Di ujung telepon itu, ia tertawa dan berkata, "Tidak perlu memaksa."

"Kalau aku dapat nilai sempurna, aku akan traktir kamu makan," balasku ketus. Padahal itu hanyalah dalihku untuk bisa makan bersamanya. Meski pada akhirnya aku hanya mendapat nilai tujuh puluh delapan, ia tetap mau aku ajak untuk makan berdua.

Bisa dibilang, itu adalah tahun-tahun terbaikku di sekolah karena dipenuhi warna akan kehadirannya yang sesaat kupikir mungkin ia bisa menjadi cinta yang benar-benar bisa kumiliki meski belum terucap. Di sisi lain, akhir-akhir itu aku juga mengetahui bahwa ada beberapa adik kelas yang menyukai Arga, namun ia bergeming dan membuat kesempatanku untuk terus bersamanya terasa semakin terbuka.

Hingga kami sama-sama menginjak kelas tiga dan mulai sibuk dengan persiapan ujian nasional, frekuensi untuk saling mengingat dan mengingatkan lewat pesan atau kabar di luar jam sekolah bisa disebut semakin berkurang. Kadang hanya seminggu sekali. Kadang dalam sebulan hanya dua kali. Ditambah lagi dengan berakhirnya masa jabatan kami sebagai pengurus OSIS.

Aku mulai merasa itu bukanlah kami. Atau memang justru yang saling mengenal sejak awal itu bukan kami? Maksudku, aku hanya tidak tahu ia yang sebenarnya, dan begitu pula sebaliknya. Pesan-pesan yang kukirim lebih sering menjadi dingin di kotak masuk ponselnya. Aku mencoba berpikir positif dengan beranggapan bahwa mungkin ia kehabisan pulsa atau paket data atau memang terlalu sibuk. Namun, aku tetaplah perempuan yang bisa merasa patah kapan saja dalam pengabaian.

Sampai pada suatu waktu aku mendengar kabar yang menyatakan Arga telah menjalin hubungan dengan siswi kelas satu yang tentu saja membuat aku sangat bersedih, patah, dan menarik diri. Dibandingkan aku, ia jauh lebih menarik. Kulitnya putih, wajahnya manis dengan hidung yang mancung.

Sejak mengetahui semua itu, aku merasa kami memang dipertemukan hanya untuk saling mengenal dan menjadi teman, namun salah satu dari kami ditimpa kesialan dengan memiliki perasaan berlebih. Dan sialnya, perasaan itu memilihku.

Beberapa kali Arga seolah-olah berhasil untuk menganggap atau membuat segalanya masih normal. Setidaknya untuknya, tapi tidak untukku. Kami masih bertegur sapa. Di kantin, ia dengan pacarnya, aku bersama teman-temanku. Aku sungguh tidak tahu perasaannya, maksudku, adakah ia merasa canggung seperti aku? Adakah ia terlalu bahagia tanpa merasakan sedikit pun kesedihanku? Sampai sekarang, itu masih menjadi pertanyaan yang mungkin lebih baik untuk disimpan sendiri.

Adalah manusiawi untuk merasa ingin asing kembali. Dan itu pernah terjadi kepadaku. Pelan-pelan yang kulihat darinya hanyalah punggung, balasan pesan yang tak lagi kutunggu dengan antusias. Dalam sebuah baris teks, ia bertanya: "Kenapa berubah?" dan dengan alasan sama seperti yang pernah ia berikan kepadaku, aku menjawab, "Karena sedang sibuk persiapan untuk ujian nasional."

Seingatku, itu adalah kali terakhir kami berhubungan lewat ponsel. Di kehidupan yang nyata, kami adalah sepasang yang berusaha untuk saling menjaga. Ia menjaga hati kekasihnya, aku menjaga hatiku untuk tidak berharap lagi.

Setelah lulus SMA, kami memilih jalan masing-masing. Ia meneruskan kuliah di luar kota, sedangkan aku memilih universitas daerah terdekat yang bisa ditempuh dengan motor. Satu hal yang tidak akan pernah kulupakan adalah ketika dulu ia meneleponku pada suatu malam di penghujung kelas dua, sewaktu kami membicarakan jurusan yang kelak kami pilih ketika kuliah, ia mengutarakan keinginannya untuk berkuliah di luar negeri. Dengan bersemangat aku mendengarkan, dan juga kukatakan kepadanya bahwa aku juga memiliki keinginan yang sama.

"Penasaran rasanya keluar dari sini," katanya lirih.

Tentu kamu bisa," sahutku, "kamu itu cerdas."

Mendengarkan keinginan dari hatinya yang terdalam membuatku menyadari kedekatan kami dan keyakinan itu semakin tumbuh, bahwa aku adalah orang yang paling ia kenal, begitu pun sebaliknya. Tapi nyatanya itu hanya perasaanku saja.

Waktu kian berlalu, aku tidak bisa menyangkal bahwa pertemuan terakhir dengannya di acara perpisahan sekolah dulu tidak bisa disebut baik. Maksudku, tanpa mengucap sepatah pun kata. Lantas, ketika aku bertambah tua, aku semakin memahaminya. Sekarang aku merasa terlepas dari bayang-bayangnya. Seandainya bertemu kembali, aku ingin mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal.

Tapi kabar baiknya, ketika aku duduk di semester lima, aku pernah menemukan akun profil Instagram atas nama dirinya yang mengunggah foto-foto sewaktu ia berada di Filipina dalam rangka mengikuti program pertukaran mahasiswa. Aku turut berbahagia atas salah satu keinginan terbesarnya yang terwujud. Doaku untuknya selalu baik dan panjang karena aku hanya ingin berdamai.

Pada akhirnya aku melepas genggaman tanganku dari ponsel itu. Ingatan-ingatan tersebut telah selesai diputar ulang. Nyatanya memang tidak ada orang yang betul-betul lupa. Yang ada hanyalah mereka yang tidak ingin memanggil ingatannya kembali. Sampai pada suatu waktu ingatan itu akan muncul sendiri. Bukan untuk dihindari, namun untuk dihadapi. Takdir itu mungkin tercatat cukup buruk, tapi ia–Arga, selalu baik untuk diingat dalam kenanganku.

Beberapa saat kemudian aku berdiri kembali sambil membawa kotak-kotak itu ke depan teras. Aku memilih benda-benda apa saja yang bisa disumbangkan dan dibuang. Buku-buku dan boneka, tentu masih layak untuk diwariskan. Tapi tas dan telepon genggam yang rusak itu, sepertinya inilah waktu yang tepat untuk mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal.

Besok, berkat beasiswa yang kuperoleh, aku juga akan mulai menghidupi salah satu keinginan yang pernah aku katakan kepadanya. Akhirnya, Arga, impian kita sama-sama terwujud.

Oleh : Syahrul Chelsky & Derby Asmaningrum

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun