Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kasih Tak Sampai] Telepon Genggam dalam Sekotak Ingatan

5 Desember 2020   06:53 Diperbarui: 5 Desember 2020   07:58 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sampai pada suatu waktu aku mendengar kabar yang menyatakan Arga telah menjalin hubungan dengan siswi kelas satu yang tentu saja membuat aku sangat bersedih, patah, dan menarik diri. Dibandingkan aku, ia jauh lebih menarik. Kulitnya putih, wajahnya manis dengan hidung yang mancung.

Sejak mengetahui semua itu, aku merasa kami memang dipertemukan hanya untuk saling mengenal dan menjadi teman, namun salah satu dari kami ditimpa kesialan dengan memiliki perasaan berlebih. Dan sialnya, perasaan itu memilihku.

Beberapa kali Arga seolah-olah berhasil untuk menganggap atau membuat segalanya masih normal. Setidaknya untuknya, tapi tidak untukku. Kami masih bertegur sapa. Di kantin, ia dengan pacarnya, aku bersama teman-temanku. Aku sungguh tidak tahu perasaannya, maksudku, adakah ia merasa canggung seperti aku? Adakah ia terlalu bahagia tanpa merasakan sedikit pun kesedihanku? Sampai sekarang, itu masih menjadi pertanyaan yang mungkin lebih baik untuk disimpan sendiri.

Adalah manusiawi untuk merasa ingin asing kembali. Dan itu pernah terjadi kepadaku. Pelan-pelan yang kulihat darinya hanyalah punggung, balasan pesan yang tak lagi kutunggu dengan antusias. Dalam sebuah baris teks, ia bertanya: "Kenapa berubah?" dan dengan alasan sama seperti yang pernah ia berikan kepadaku, aku menjawab, "Karena sedang sibuk persiapan untuk ujian nasional."

Seingatku, itu adalah kali terakhir kami berhubungan lewat ponsel. Di kehidupan yang nyata, kami adalah sepasang yang berusaha untuk saling menjaga. Ia menjaga hati kekasihnya, aku menjaga hatiku untuk tidak berharap lagi.

Setelah lulus SMA, kami memilih jalan masing-masing. Ia meneruskan kuliah di luar kota, sedangkan aku memilih universitas daerah terdekat yang bisa ditempuh dengan motor. Satu hal yang tidak akan pernah kulupakan adalah ketika dulu ia meneleponku pada suatu malam di penghujung kelas dua, sewaktu kami membicarakan jurusan yang kelak kami pilih ketika kuliah, ia mengutarakan keinginannya untuk berkuliah di luar negeri. Dengan bersemangat aku mendengarkan, dan juga kukatakan kepadanya bahwa aku juga memiliki keinginan yang sama.

"Penasaran rasanya keluar dari sini," katanya lirih.

Tentu kamu bisa," sahutku, "kamu itu cerdas."

Mendengarkan keinginan dari hatinya yang terdalam membuatku menyadari kedekatan kami dan keyakinan itu semakin tumbuh, bahwa aku adalah orang yang paling ia kenal, begitu pun sebaliknya. Tapi nyatanya itu hanya perasaanku saja.

Waktu kian berlalu, aku tidak bisa menyangkal bahwa pertemuan terakhir dengannya di acara perpisahan sekolah dulu tidak bisa disebut baik. Maksudku, tanpa mengucap sepatah pun kata. Lantas, ketika aku bertambah tua, aku semakin memahaminya. Sekarang aku merasa terlepas dari bayang-bayangnya. Seandainya bertemu kembali, aku ingin mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal.

Tapi kabar baiknya, ketika aku duduk di semester lima, aku pernah menemukan akun profil Instagram atas nama dirinya yang mengunggah foto-foto sewaktu ia berada di Filipina dalam rangka mengikuti program pertukaran mahasiswa. Aku turut berbahagia atas salah satu keinginan terbesarnya yang terwujud. Doaku untuknya selalu baik dan panjang karena aku hanya ingin berdamai.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun