Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Kasih Tak Sampai] Telepon Genggam dalam Sekotak Ingatan

5 Desember 2020   06:53 Diperbarui: 5 Desember 2020   07:58 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lagu-lagu mereka tidak tergerus zaman," aku menjawab dengan tangan masih sibuk mencatat anggaran lomba azan yang merupakan kegiatan pertama kami.

Di sela-sela perbincangan itu ia menyempatkan diri meminta nomorku. Aku pun memberinya tanpa lagi ragu.

Arga adalah sosok yang hangat untuk diajak berdiskusi. Tidak hanya perihal kegiatan menyangkut organisasi, lebih dari pada itu. Di tahun dua ribu dua belas, kupikir, orang-orang yang tahu referensi lagu-lagu tua serta pop culture masih bisa disebut minoritas. Apalagi mengingat letak geografis wilayah tempat tinggal serta sekolah kami yang cukup jauh dari kota, ditambah sugesti-sugesti yang memenuhi benak siswa bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang menakutkan.

Aku merasa berbunga-bunga kala itu. Kami mulai sering menjadikan pembahasan tentang organisasi dan kegiatan sekolah sebagai basa-basi atau pesan-pesan pembuka untuk menutupi perasaan malu, sebelum mencapai pembahasan inti seperti film kesukaan, lagu favorit, makanan yang membuat lidah bergetar, atau impian setelah lulus sekolah. 

Kami sama-sama menyukai serial drama High School Musical dan Glee, kami sama-sama menyukai musik barat era sembilan puluhan, kami juga sama-sama menyukai makanan berkuah kaldu, dan yang paling terkenang adalah kami sama-sama memiliki keinginan untuk berkuliah di luar negeri.

Kami semakin rutin bertukar pesan. Dari kabar-kabar penting, hingga sekadar curhat untuk meredakan rasa gundah di hati masing-masing.

Pernah pada suatu hari, aku menjanjikan nilai ujian kimia seratus kepadanya. Di ujung telepon itu, ia tertawa dan berkata, "Tidak perlu memaksa."

"Kalau aku dapat nilai sempurna, aku akan traktir kamu makan," balasku ketus. Padahal itu hanyalah dalihku untuk bisa makan bersamanya. Meski pada akhirnya aku hanya mendapat nilai tujuh puluh delapan, ia tetap mau aku ajak untuk makan berdua.

Bisa dibilang, itu adalah tahun-tahun terbaikku di sekolah karena dipenuhi warna akan kehadirannya yang sesaat kupikir mungkin ia bisa menjadi cinta yang benar-benar bisa kumiliki meski belum terucap. Di sisi lain, akhir-akhir itu aku juga mengetahui bahwa ada beberapa adik kelas yang menyukai Arga, namun ia bergeming dan membuat kesempatanku untuk terus bersamanya terasa semakin terbuka.

Hingga kami sama-sama menginjak kelas tiga dan mulai sibuk dengan persiapan ujian nasional, frekuensi untuk saling mengingat dan mengingatkan lewat pesan atau kabar di luar jam sekolah bisa disebut semakin berkurang. Kadang hanya seminggu sekali. Kadang dalam sebulan hanya dua kali. Ditambah lagi dengan berakhirnya masa jabatan kami sebagai pengurus OSIS.

Aku mulai merasa itu bukanlah kami. Atau memang justru yang saling mengenal sejak awal itu bukan kami? Maksudku, aku hanya tidak tahu ia yang sebenarnya, dan begitu pula sebaliknya. Pesan-pesan yang kukirim lebih sering menjadi dingin di kotak masuk ponselnya. Aku mencoba berpikir positif dengan beranggapan bahwa mungkin ia kehabisan pulsa atau paket data atau memang terlalu sibuk. Namun, aku tetaplah perempuan yang bisa merasa patah kapan saja dalam pengabaian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun