Peserta upacara yang lainnya juga kocar-kacir berusaha menyelamatkan diri mereka masing-masing. Komandan Upacara yang awalnya nampak tegas berjalan perlahan mundur ke belakang. Dua anggota koramil mendekati Camat, bermaksud memberikan perlindungan. Sementara beberapa polisi dan tentara ada juga yang nampak waspada.
Namun tetiba Camat yang sedari tadi berdiri di teras kantor camat itu turun menuju halaman, ke arah lelaki tua itu. Ia memberikan isyarat dengan gerakan tangan untuk meminta semuanya bersikap tenang. Ia berjalan gontai mendekati lelaki tua yang masih memegang pistol kokang itu.
Tak lama setelahnya, datang berlarian dua orang lelaki tegap dengan pakaian serba biru gelap. Menembus kerumunan di mana orang-orang yang tadi sempat berhamburan, kini kembali berkumpul. Mereka berlari menuju lelaki tua itu ketika Camat juga berada di sana. Mereka senyum hormat kepada Camat. Kedua orang itu, bersama-sama Camat memegangi dan membangunkan lelaki tua yang sempat terjatuh. Matanya masih terlihat kalap. Pistol kokang masih betah di tangannya. Tapi mereka bertiga sama sekali tidak kelihatan takut.
Camat nampak mengucapkan beberapa patah kata, kemudian disusul kedua orang itu pergi sambil menggandeng si lelaki tua. "Merdeka! Merdeka!" terdengar ia masih sempat berteriak saat dirinya digiring keluar dari halaman.
Setelah kejadian itu, situasi yang sempat mencekam kembali tenang. Tidak berselang lama, upacara pengibaran bendera tujuh belas Agustus itu dimulai dan berlangsung damai seperti biasa. Seperti kebanyakan upacara yang berlangsung normal.
Lalu ketika tiba Camat memberikan pidato, ia membukanya dengan biasa juga. Seperti kebanyakan pidato Camat lain, yang terlebih dahulu mengomentari persiapan upacara, serta suasana saat upacara berlangsung dan tentunya tentang semangat kemerdekaan yang harus tetap dijaga serta pertahankan. Namun di seperempat bagian akhir pidatonya, ia menyampaikan sesuatu yang agaknya membuat orang-orang yang berhadir di sana —yang semula-mulanya masih saling berbicara— jadi semakin tertuju pada apa yang disampaikan olehnya.
"Lelaki tua yang tadi adalah kakek saya," kata Camat.
"Saya atas nama pribadi dan keluarga ingin meminta maaf apabila dari kalian yang berhadir di tempat ini, ada yang merasa takut atau terganggu," kata dia lagi.
Kebanyakan dari peserta upacara di halaman itu menunjukkan ekspresi terkejut, meragu, atau tak percaya.
Kemudian Camat kembali meneruskan pidatonya seusai melihat sepintas ekspresi dari mereka.
"Hal terpenting yang perlu kalian tahu, pistol yang dibawa beliau tadi adalah pistol mainan," kata Camat sambil tersenyum. Keringat mulai nampak menyucur dari pori-pori dahinya. Matahari juga sudah semakin terik dan meninggi.