Namun setelah sepuluh tahun berlalu. Saya kembali lagi ke kampung sebagai manusia miskin yang sudah ditumbuhi uban dan sangat kesepian. Ibu saya sudah tiada. Saya merasa benar-benar sudah kehilangan semuanya.
Saya habiskan waktu dua hari untuk menangis. Perjalanan yang panjang membuat mata saya kelilipan. Sesudah itu saya kembali ke jembatan itu lagi untuk menemuinya setelah sekian lama.
"Selamat senja," katanya, "cuacanya bagus."
Saya menggeleng, "Kamu tidak malu punya seorang kenalan seperti saya?" tanya saya ketika hari telah beringsut senja.
"Kenapa malu?"
"Karena saya benar-benar orang susah."
"Sejak awal bagi saya hartamu tidak penting. Selama kamu selalu berada di sisi saya, sebenarnya itu jauh lebih dari cukup." Dia membalas. Jari-jarinya sudah tidak lagi memegang dan mengelupas kelopak-kelopak bunga.
"Sudah berpuluh-puluh tahun. Kamu tidak bosan mengenal orang seperti saya?"
"Kalau diingat-ingat, apakah saya pernah membuatmu ragu?"
Pertanyaannya membuat saya terdiam. Kembali saya pandangi aliran air sungai yang ada di bawah kami. Yang tidak pernah surut. Namun saya sadar, saya tidak pernah mampu menemukan kalimat yang tepat untuk menyatakan perasaan saya kepadanya.
"Tidak. Kamu tidak pernah membuat saya ragu. Keraguan itu datang dari dalam diri saya sendiri."