Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Novel | Air Mata Wanita Jalang [1]

10 April 2019   17:13 Diperbarui: 22 April 2019   06:53 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari itu aku berulang tahun yang ke-10. Atau lebih tepatnya ulang terakhir yang bisa kurayakan bersama ibu.

Seusai beradu emosi dan disaksikan oleh kapal-kapal yang memandang bisu pada kami, ibu menuntunku untuk masuk ke rumah. Rumah kami tidak besar. Mungkin lebih layak kalau disebut gubuk. Luasnya cuma sekitar lima kali empat meter. Hanya ada satu kamar tidur dan satu ranjang. Kamar mandi dari papan triplek bekas  berada sekitar sepuluh meter di belakang rumah kami yang tanpa aliran listrik.

"Kita saling memiliki. Hanya kita. Aku adalah ibumu, ayahmu, nenekmu, kakekmu. Ibu bisa menjadi siapa pun yang kamu inginkan" Begitulah yang ibu katakan beberapa bulan sebelumnya.

"Kita akan saling menjaga satu sama lain."

***

"Duduklah di sini."

Kami berhenti di teras, tepat di depan pintu masuk, dan tiba-tiba ibu memintaku untuk duduk di atas kain yang seperti selembar selimut tebal, yang ia hamparkan di beranda, kain tebal  yang agak robek, yang entah kapan dia persiapkan.  "Kamu di sini saja." Kemudian dia masuk ke dalam meninggalkan aku sendirian.

Beberapa saat kemudian ibu keluar bersama Bi Iyah dan Rani --anak ketiga Bi Iyah yang lebih tua dua tahun dariku. Bi Iyah adalah tetangga kami. Rumahnya  sekitar satu kilometer ke arah Barat dari rumah kami. Ibu dan Bi Iyah sering pergi ke pasar bersama, menjual kayu bakar, sayur, dan buah-buahan yang mereka peroleh di hutan.

Ibu membawa bolu kukus sebesar telapak tangan anak umur sepuluh tahunan, Rani terlihat memegang boneka kelinci putih berukuran sepuluh senti. "Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun. Selamat ulang tahun Lita. Semoga Panjang umur." Mereka bertiga bernyanyi. Aku kaget dan tersipu. Segera kupeluk ibuku. Lebih tepatnya memeluk pinggangnya. Karena tinggi tubuhku dulu cuma sepinggangnya.

"Ini hadiah dari ibu kamu," ucap Rani, sembari menyodorkan boneka kelinci berwarna putih. "Dan ini hadiah dari aku." Belum sempat kuucapkan terima kasih, Rani mengeluarkan sepotong cokelat dari sakunya.

"Bilang apa sama Rani?" tanya ibu dengan maksud mengingatkanku untuk berterima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun