Perempuan itu melihat ada perempuan lain pada cerminnya yang hampa. Semacam bayangannya sendiri. Namun ketika ia tersenyum, bayangan itu menangis. "Aku mengenalmu, kuharap begitu," ucapnya pada cermin yang bisu. Dia benar-benar ingin tahu siapa perempuan itu, kemudian menatap mata sendunya yang menyimpan banyak cerita-kesedihan-yang tak terucapkan.
"Kau menangis sepanjang malam?" Dia bertanya, namun hanya kekosongan di balik cermin yang menjawabnya.
Perempuan pada cermin menatap balik ke arahnya, matanya berbinar.
"Aku ingat, kau kekasih lelaki berwajah malaikat dengan pisau berdarah. Hatimu terlalu mudah jatuh dan patah."
Matanya semakin merah dan basah.
"Maaf, aku tidak bermaksud membuat lukamu tambah parah."
Keduanya beku beberapa saat.
"Andai aku tahu cara membuatmu merasa lebih baik."
Isak perempuan pada cermin terhenti sejenak.
"Kau menangis karenanya, dia tertawa setelah meninggalkanmu. Itu tak adil, tahu?"
Ia menatap, lagi.
"Jangan takut. Kesepianmu akan pudar seiring waktu berputar. Semuanya akan baik-baik saja. Biarkan cinta yang menemukanmu, tak usah kau buru. Kau perempuan yang harusnya menunggu untuk dikejar, bukan perempuan malang yang malah nekat ingin mengejar."
Ia hanya terdiam-namun hujan yang jatuh di pipinya sudah mulai reda. Kemudian ia menatap lawan bicaranya lebih dalam.
"Kau perempuan tegar. Kau adalah aku, tapi tidak selemah aku di masa lalu. Bunuh diri bukan jawaban seperti yang aku lakukan setahun silam. Hiduplah di balik cermin sana dengan tenang."
Keduanya tersenyum.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H