Mohon tunggu...
Syahrul Anami
Syahrul Anami Mohon Tunggu... Lainnya - Simultan Writer

-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Pengeringan Lahan Basah: Transformasi Tata Laksana Program Studi Banding Pemerintah

1 September 2024   22:58 Diperbarui: 1 September 2024   22:58 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Realitas penggunaan pajak untuk mengakselerasi kesejahteraan rakyat acap kali cacat. Bukan hanya perihal korupsi maupun penggelembungan dana, melainkan efektifitas pemanfaatan pajak yang kurang optimal. Sekedar terkucur dan terhambur.

Dalam pelaksanaannya, pemanfaatan anggaran antara pemerintah dan swasta memang memiliki paradigma yang berbeda. Perusahaan swasta meminimalisir penggunaan modal untuk keuntungan sebesar-besarnya. Sedangkan pemerintah, menurut pengamatan penulis, berfokus pada pemenuhan realisasi anggaran. Sehingga, program nampak disusun ala kadarnya, minim riset, dan sekedar memasukkan pelaku/peserta yang tidak diseleksi berdasarkan kualifikasi. Belum lagi keberlangsungan program yang dieksekusi kurang apik, dan tidak komprehensif.

Secara kuantitatif, pengamatan penulis tidak merepresentasikan seluruh program pemerintah. Namun setidaknya mengindikasi tidak maksimalnya penggunaan pajak. Masalah optimalisasi pajak dan efektifitas penggunaan anggaran sebenarnya begitu banyak. Namun untuk membatasi permasalahan, maka tulisan ini akan mengurai penggunaan anggaran studi banding, yang menurut penulis, merupakan lahan basah para pengerat.

Basahnya Studi Banding Sebagai Lahan Garapan

Sebagai negara dengan wilayah luas, wajar apabila Indonesia menerapkan sistem desentralisasi kekuasaan. Hal ini diperuntukkan untuk menghindari pemusatan pada suatu daerah tertentu, membangun kedekatan pemerintah dan masyarakat, memberikan pemerintah kesempatan untuk mengamati lebih dekat problematika yang ada, serta memperkecil domain kerja sehingga efektifitasnya dapat terjaga. Bersamaan dengan hal itu, desentralisasi tidak hanya berkutat pada penyerahan wewenang, namun juga anggaran.

Sayangnya, desentralisasi kuasa dan anggaran belum secara pasti menjawab permasalahan daerah. Ketidakpastian ini tidak hanya didorong masalah korupsi, melainkan juga komprehensifitas program yang lemah dan asal jadi. Misalnya, studi banding tanpa analisa pra-pelaksanaan dan kurang baiknya tindak lanjut pasca studi.

Penggunaan studi banding sebagai lahan basah untuk mengeruk anggaran bukanlah hal baru. Sekitar tahun 2007-2009, anggota Perhimpun Pelajar Indonesia (PPI) Belanda menolak kedatangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penolakan didasari anggapan bahwa studi banding yang dijalankan tidaklah efektif atau sesuai dengan harapan. Alih-alih melakukan kunjungan penuh untuk melakukan studi, program ini malah dipenuhi kegiatan berbelanja. Lebih mirip berwisata dibandingkan analisa komparatif untuk menjawab masalah dalam negeri (Widodo, 2010).

Pada pertengahan 2016, anggaran sebesar 6 Miliar untuk kunjungan kerja, konsultasi, dan perjalanan dinas lain, habis dibabat 25 anggota DPRD Kolaka Timur. Namun realisasinya tidak diikuti produktivitas DPRD. Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mandeg, tak ada satupun yang berhasil ditetapkan, ditambah fungsi pengawasan terhadap pemerintah daerah juga tidak dijalankan. Alih-alih produktif, DPRD kabupaten tersebut malah mengusulkan penambahan anggaran perjalanan dinas sebesar 3 Miliar (Sultrakini.com, 2016).

Betapa mudahnya pencairan anggaran dan nir-komprehensifnya studi banding tak lepas dari celah dalam aturan perundang-undangan. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 113/PMK.05/2012 pasal 34, menyebutkan bahwa pertanggung jawaban perjalanan dinas hanya melampirkan; a). Surat Tugas, b). SPD yang telah ditandatangani oleh PPK dan pejabat di tempat pelaksanaan Perjalanan Dinas, c). bukti pembayaran moda transportasi lainnya, d). Daftar Pengeluaran Riil, e). bukti pembayaran sewa kendaraan, dan f). bukti pembayaran tempat menginap. Dalam pasal tersebut penulis tidak menemukan keharusan untuk membuat laporan mendalam khususnya untuk perjalanan dinas studi banding. Seperti laporan hasil dan rencana pelaksanaan pasca studi.

Dalam mekanisme berikutnya, pasal 35, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) melakukan perhitungan rampung bukti pengeluaran serta menilai kesesuaian kewajaran biaya dalam daftar pengeluaran. Setelah itu melakukan pengesahan dan penyampaian ke Bendahara Pengeluaran hingga Surat Permintaan Membayar/Surat Permintaan Pencairan Dana (SPM/SP2D) LS Perjalanan Dinas memperoleh bukti pengesahan.

Dalam mekanisme ini, SPM/SP2D LS Perjalanan Dinas dapat memperoleh bukti pengesahan tanpa harus melampirkan dokumen tindak lanjut. Hal ini memberikan celah studi banding untuk tidak menunjukkan dokumen perencanaan pasca studi. Makanya, meskipun studi banding tidak menunjukkan hasil atau dampak signifikan setelah dilaksanakan, anggaran masih dapat dicairkan. Sebab pertanggungjawabannya tidak memiliki aturan khusus. Tak mengherankan apabila studi banding dapat menjadi lahan basah. Cukup berangkat, penuhi bukti pengeluaran, tindak lanjut bisa jadi urusan belakang.

Filtrasi dan Pengawasan Pasca Studi Banding

Sebelum melakukan studi banding, selayaknya diperlukan analisa pra-pelaksanaan yang memuat alasan logis mengapa sebuah wilayah ditetapkan sebagai tujuan program. Dokumen analisa dapat menjadi filter yang mencegah penggunaan anggaran nir-efektif. Dokumen tersebut seyogyanya memiliki perspektif akademis; berorientasi pada solusi melalui komparasi objek maupun subjek wilayah sasaran (Ratuanak, 2019). 

Lebih lengkap, ia semestinya turut mengandung perkiraan anggaran, alasan pemilihan wilayah tujuan, serta berbagai informasi yang menguatkan dalil pemberangkatan aparatur. Agar lebih komprehensif, dokumen itu juga harus berisi besaran probabilitas penerapan hasil studi.  Sebab, kunjungan ke wilayah sasaran justru tidak menghasilkan implikasi yang baik apabila terdapat ketidakcocokan aspek politik, sosial, dan geografis (Widodo, 2010).

Selain dokumen pra-pelaksanaan program studi banding, diperlukan pula dokumen hasil studi. Dokumen tersebut memaparkan kelebihan dan kekurangan, ancaman serta potensi, sebagai analisa untuk melakukan penerapan dan pengembangan hasil studi banding di wilayah kerja aparatur terkait.

Semisalnya, Dinas A melakukan studi banding ke desa penghasil beras tertinggi di Indonesia  untuk melakukan  penelitian terhadap jenis padi, metode tani, proses produksi hingga distribusi. Maka sekurang-kurangnya, Dinas A harus mengetahui kekurangan yang perlu diatasi di daerahnya, seberapa besar kemungkinan aplikasi metode yang sama, faktor pengaruh, biaya, serta hal-hal lainnya. Setelah melakukan analisa, maka Dinas A mesti menyusun rencana adaptasi hasil studi, tentu dengan menyesuaikan pada kondisi wilayah kerjanya.  

Dokumen pra-pelaksanaan program dan hasil studi kemudian dijadikan syarat pencairan dana studi banding. Dokumen ini disertakan sebagai lampiran wajib ataupun dokumen terpisah yang diserahkan bersama Laporan Hasil Perjalanan Dinas (LHPD).

Membentuk Satgas Penjaring Dan Pengawas Keberlanjutan Pasca Studi Banding

Penambahan syarat dokumen pra-pelaksanaan program dan rancangan implementasi hasil studi tidaklah cukup. Seperti dokumen-dokumen lainnya; mudah dimanipulasi dan tidak mengandung substansi yang dibutuhkan. Bisa jadi merupakan tempelan kalimat "pelaporan" yang dicaplok dari internet. Karenanya dibutuhkan suatu kelompok atau unit yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan terhadap dokumen dan mengawasi keberlanjutan hasil studi.

Untuk menjawab masalah di atas, penulis mengusulkan pembentukan Satuan Tugas. Unit ini akan berkutat pada pengawasan program perjalanan dinas khususnya studi banding. Pengkhususan dilakukan untuk memperkecil lingkup kerja, menjadi lebih fokus, dan logis untuk ditangani. 

Jika unit ini bekerja mengawasi seluruh perjalanan dinas di luar program studi banding, seperti perjalanan menghadiri undangan, pelatihan, dan sebagainya, maka terdapat probabilitas outreach, pekerjaan menjadi terlalu besar dan lebar untuk ditangani sebuah unit tertentu.

Unit dapat ditempatkan di kota setingkat kabupaten sehingga dapat mengawasi studi banding yang diadakan di tingkat pemerintah daerah. Dengan begini, pemangku kuasa yang memperoleh kewenangan dalam desentralisasi kekuatan dapat diawasi dengan lebih mudah. 

Jika di tempatkan pada tingkat provinsi, maka cakupannya masih terlalu luas. Terlalu banyak instansi yang perlu diawasi untuk setiap kabupatennya. Simplifikasi atau pengecilan wilayah kerja juga diharapkan berdampak pada semakin baiknya pelaksanaan tugas unit ini. Mereka akan bertugas menyeleksi dokumen pra-pelaksanaan program, menganalisa dokumen pasca studi, dan melakukan follow up realisasi hasil studi.

Sayang sekali apabila laporan studi banding hanya berisi informasi seputar menghadiri, mengkonsultasi, dan memperoleh materi. Terlebih bila implikasinya terhadap perubahan tata kelola maupun masalah menjadi tanda tanya. Oleh karenanya, diperlukan reformasi, sekurang-kurangnya menghadirkan laporan yang komprehensif, serta adanya follow up dampak studi.

Dalam rangkaian yang sederhana, tulisan ini menawarkan perubahan tata laksana program studi banding. Perubahan ini dimulai dengan kewajiban menyusun program pra-pelaksanaan untuk menjaring dan mencegah penghamburan dana. Selanjutnya pelaksana perjalanan diharuskan menyusun laporan hasil studi yang berisi rencana implementasi. Kedua proses ini diawasi oleh suatu satuan tugas. Mereka bertugas dalam menyeleksi dokumen, menganalisa hasil studi, mengawasi dan menilai dampak serta seberapa solutif hasil studi terhadap masalah. 

Hasil implementasi studi kemudian dijadikan syarat pencairan dana perjalanan. Dengan demikian, perubahan tata kelola ini diharapkan dapat mengeringkan lahan basah pada program studi banding pemerintahan, memaksa aparatur untuk berhati-hati dalam "memainkan" studi banding,  dan mendukung potensi maksimal dari pemanfaatan pajak.

Referensi

Ratuanak, Andre. 2019. Kegiatan Studi Banding Aparatur Pemerintah Dan Implikais Pidana. Kompasiana.com. Dapat diakses pada: https://www.kompasiana.com/andreratuanak/5d44ef20097f3603c93ec0c4/kegiatan-studi-banding-aparatur-pemerintah-dan-implikasi-pidana 

Sultrakini.com. 2016. Dana Perjalanan Rp6 Miliar Habis, Anggota DPRD Koltim Minta Lagi Rp3 Miliar Dapat diakses pada: https://sultrakini.com/dana-perjalanan-rp6-miliar-habis-anggota-dprd-koltim-minta-lagi-rp3-miliar/ 

Widodo, Yohanes. 2010. Studi Banding Dewan, Tak Perlu. Antikorupsi.org. Dapat diakses pada: https://www.antikorupsi.org/id/article/studi-banding-dewan-tak-perlu 

Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia  Nomor 113/PMK.05/2012 Tentang  Perjalanan Dinas Dalam Negeri Bagi Pejabat Negara, Pegawai Negeri, Dan Pegawai Tidak Tetap.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun