Realitas penggunaan pajak untuk mengakselerasi kesejahteraan rakyat acap kali cacat. Bukan hanya perihal korupsi maupun penggelembungan dana, melainkan efektifitas pemanfaatan pajak yang kurang optimal. Sekedar terkucur dan terhambur.
Dalam pelaksanaannya, pemanfaatan anggaran antara pemerintah dan swasta memang memiliki paradigma yang berbeda. Perusahaan swasta meminimalisir penggunaan modal untuk keuntungan sebesar-besarnya. Sedangkan pemerintah, menurut pengamatan penulis, berfokus pada pemenuhan realisasi anggaran. Sehingga, program nampak disusun ala kadarnya, minim riset, dan sekedar memasukkan pelaku/peserta yang tidak diseleksi berdasarkan kualifikasi. Belum lagi keberlangsungan program yang dieksekusi kurang apik, dan tidak komprehensif.
Secara kuantitatif, pengamatan penulis tidak merepresentasikan seluruh program pemerintah. Namun setidaknya mengindikasi tidak maksimalnya penggunaan pajak. Masalah optimalisasi pajak dan efektifitas penggunaan anggaran sebenarnya begitu banyak. Namun untuk membatasi permasalahan, maka tulisan ini akan mengurai penggunaan anggaran studi banding, yang menurut penulis, merupakan lahan basah para pengerat.
Basahnya Studi Banding Sebagai Lahan Garapan
Sebagai negara dengan wilayah luas, wajar apabila Indonesia menerapkan sistem desentralisasi kekuasaan. Hal ini diperuntukkan untuk menghindari pemusatan pada suatu daerah tertentu, membangun kedekatan pemerintah dan masyarakat, memberikan pemerintah kesempatan untuk mengamati lebih dekat problematika yang ada, serta memperkecil domain kerja sehingga efektifitasnya dapat terjaga. Bersamaan dengan hal itu, desentralisasi tidak hanya berkutat pada penyerahan wewenang, namun juga anggaran.
Sayangnya, desentralisasi kuasa dan anggaran belum secara pasti menjawab permasalahan daerah. Ketidakpastian ini tidak hanya didorong masalah korupsi, melainkan juga komprehensifitas program yang lemah dan asal jadi. Misalnya, studi banding tanpa analisa pra-pelaksanaan dan kurang baiknya tindak lanjut pasca studi.
Penggunaan studi banding sebagai lahan basah untuk mengeruk anggaran bukanlah hal baru. Sekitar tahun 2007-2009, anggota Perhimpun Pelajar Indonesia (PPI) Belanda menolak kedatangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Penolakan didasari anggapan bahwa studi banding yang dijalankan tidaklah efektif atau sesuai dengan harapan. Alih-alih melakukan kunjungan penuh untuk melakukan studi, program ini malah dipenuhi kegiatan berbelanja. Lebih mirip berwisata dibandingkan analisa komparatif untuk menjawab masalah dalam negeri (Widodo, 2010).
Pada pertengahan 2016, anggaran sebesar 6 Miliar untuk kunjungan kerja, konsultasi, dan perjalanan dinas lain, habis dibabat 25 anggota DPRD Kolaka Timur. Namun realisasinya tidak diikuti produktivitas DPRD. Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) mandeg, tak ada satupun yang berhasil ditetapkan, ditambah fungsi pengawasan terhadap pemerintah daerah juga tidak dijalankan. Alih-alih produktif, DPRD kabupaten tersebut malah mengusulkan penambahan anggaran perjalanan dinas sebesar 3 Miliar (Sultrakini.com, 2016).
Betapa mudahnya pencairan anggaran dan nir-komprehensifnya studi banding tak lepas dari celah dalam aturan perundang-undangan. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 113/PMK.05/2012 pasal 34, menyebutkan bahwa pertanggung jawaban perjalanan dinas hanya melampirkan; a). Surat Tugas, b). SPD yang telah ditandatangani oleh PPK dan pejabat di tempat pelaksanaan Perjalanan Dinas, c). bukti pembayaran moda transportasi lainnya, d). Daftar Pengeluaran Riil, e). bukti pembayaran sewa kendaraan, dan f). bukti pembayaran tempat menginap. Dalam pasal tersebut penulis tidak menemukan keharusan untuk membuat laporan mendalam khususnya untuk perjalanan dinas studi banding. Seperti laporan hasil dan rencana pelaksanaan pasca studi.
Dalam mekanisme berikutnya, pasal 35, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) melakukan perhitungan rampung bukti pengeluaran serta menilai kesesuaian kewajaran biaya dalam daftar pengeluaran. Setelah itu melakukan pengesahan dan penyampaian ke Bendahara Pengeluaran hingga Surat Permintaan Membayar/Surat Permintaan Pencairan Dana (SPM/SP2D) LS Perjalanan Dinas memperoleh bukti pengesahan.
Dalam mekanisme ini, SPM/SP2D LS Perjalanan Dinas dapat memperoleh bukti pengesahan tanpa harus melampirkan dokumen tindak lanjut. Hal ini memberikan celah studi banding untuk tidak menunjukkan dokumen perencanaan pasca studi. Makanya, meskipun studi banding tidak menunjukkan hasil atau dampak signifikan setelah dilaksanakan, anggaran masih dapat dicairkan. Sebab pertanggungjawabannya tidak memiliki aturan khusus. Tak mengherankan apabila studi banding dapat menjadi lahan basah. Cukup berangkat, penuhi bukti pengeluaran, tindak lanjut bisa jadi urusan belakang.