Mohon tunggu...
Syahrir Akbar
Syahrir Akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Student at STAN Polytechnic of State Finance

Public Policy and Geopolitics Enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengapa Pajak Menjadi Kunci Transisi Energi di Sektor Transportasi?

21 Oktober 2024   06:00 Diperbarui: 21 Oktober 2024   07:15 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Michael Marais (@michael_marais) | Unsplash Photo Community 

Dewasa ini transisi energi semakin menarik dibahas seiring meningkatkan kekhawatiran dunia internasional terhadap perubahan iklim. Transisi energi adalah wujud nyata peralihan dari penggunaan energi berbasis bahan bakar fosil, termasuk minyak dan batu bara, menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan.

Salah satu aspek penting dalam proses transisi energi adalah elemen transportasi. Transportasi menjadi salah satu penyumbang emisi karbon dioksida (CO2) terbesar, khususnya kendaraan bermotor berbahan bakar fosil.

Sejalan dengan situasi ini, kendaraan listrik (electric vehicle) datang sebagai solusi potensial untuk mengurangi emisi kendaraan. Dengan listrik dan baterai sebagai sumber energinya, kendaraan listrik menawarkan alternatif yang ramah lingkungan ke berbagai negara, termasuk Indonesia.

Indonesia berupaya mengembangkan ekosistem kendaraan listrik di Indonesia. Sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di Dunia, Indonesia memiliki potensi besar untuk membangun ekosistem tersebut khususnya baterai listrik atau EV battery.

Kehadiran ekosistem kendaraan listrik ini juga akan meningkatkan pendapatan negara, baik dari sisi pajak, dividen, bea ekspor, maupun penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Namun, pangsa pasar kendaraan listrik di Indonesia sendiri sebenarnya tidak begitu berjalan baik. Harga yang relatif tinggi, keterbatasan infrastruktur pengisian daya, dan rendahnya kesadaran masyarakat menjadi alasan utama mengapa kendaraan listrik tidak begitu laris di pasaran.

Melihat hal ini, pemerintah meramu kebijakan dalam beberapa regulasi untuk memberikan insentif pajak terhadap kendaraan listrik. Hal ini menjadi pertanyaan bagi beberapa pihak, mengapa pemerintah malah memberi insentif pajak?

Padahal, jika tujuan ekosistem kendaraan listrik ini adalah untuk meningkatkan perekonomian dalam negeri, maka insentif pajak yang jelas-jelas mengurangi pendapatan negara merupakan solusi yang problematik.

Dalam memandang masalah ini, memang benar bahwa pajak berfungsi untuk mengambil pendapatan setinggi-tingginya yang nantinya digunakan untuk kemakmuran rakyat. Ini sesuai dengan fungsi pajak sebagai anggaran (budgetair).

Di sisi lain, pajak juga memiliki fungsi regulasi (regulerend). Artinya, pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur dan melaksanakan kebijakan dalam bidang sosial dan ekonomi.

Sehingga, insentif pajak pada kendaraan listrik bertujuan untuk memengaruhi perilaku konsumen dan industri. Dengan cara ini, pajak dapat menjadi alat yang mendukung kebijakan lingkungan.

Sebagai contoh, pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) roda empat tertentu seharusnya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tapi melalui dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8 Tahun 2024, PPN tersebut diberikan insentif pengurangan PPN sebesar 10%. Dengan kata lain, pembeli hanya membayar PPN 1% dari harga jual.

Tentunya, kebijakan ini tidak dilakukan secara sembarangan. Ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh kendaraan, yaitu nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagaimana yang diatur oleh Kementerian Perindustrian.

Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9 Tahun 2024 yang berisi fasilitas pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) senilai 100%. Pembebasan ini diberikan untuk pembelian mobil listrik secara utuh impor. Tujuannya, agar investor tertarik dan menanamkan modalnya untuk industri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia.

Sekali lagi, insentif pajak ini tidak diberikan secara cuma-cuma. Insentif pajak ini hanya berlaku apabila pelaku usaha memenuhi persyaratan yang diatur oleh Kementerian Investasi seperti kewajiban perusahaan industri untuk mengembangkan fasilitas manufaktur KBLBB Roda Empat di Indonesia.

Selain dua insentif tersebut, masih ada insentif lain yang diberikan pemerintah untuk mendorong konsumen membeli kendaraan listrik. Bahkan, bukan hanya insentif pajak, pemerintah juga memberikan subsidi atau negative tax untuk pembelian motor listrik.

Subsidi pembelian motor listrik yang diterapkan sejak 2023 lalu ini adalah bentuk sikap pemerintah terhadap pembelian motor listrik yang sepi peminat. Melalui subsidi ini, konsumen yang memenuhi syarat tertentu bisa mendapat subsidi sebesar Rp7 juta rupiah untuk pembelian motor listrik. Ini menunjukkan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mendorong transisi energi ini ke arah yang lebih baik.

Kendati demikian, kebijakan-kebijakan terkait insentif perpajakan ini menuai pro dan kontra di masyarakat. Dari sisi industri, masyarakat beranggapan seharusnya pemerintah menyiapkan dan melakukan pemerataan fasilitas pengisian daya terlebih dahulu sebelum memberikan insentif.

Sebab, apabila hanya mendorong konsumen untuk membeli saja tanpa disertai fasilitas, maka hanya akan memberikan testimoni buruk dari konsumen terhadap kendaraan listrik. Ini dapat menurunkan minat pembelian kendaraan listrik itu sendiri.

Selain itu, dari sudut pandang politis, insentif ini dianggap sebagai kebijakan yang menguntungkan pengusaha kendaraan listrik. Beberapa pejabat diketahui memiliki perusahaan kendaraan listrik mereka sendir. Sehingga, transisi energi hanyalah kedok untuk melancarkan bisnis kendaraan listrik mereka melalui pemberian insentif pajak ini.

Terlepas dari sudut pandang politisnya, secara akademis kebijakan ini dapat dibenarkan dengan teori pajak sebagai regulerend. Insentif pajak ini memang dapat mendorong industri kendaraan listrik di Indonesia.

Insentif pajak menggeser kurva penawaran mencapai titik di mana konsumen terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Hal ini sejalan dengan hukum permintaan dan penawaran dalam ekonomi. Dengan kata lain, kebijakan insentif perpajakan ini dapat dibenarkan secara akademis dengan memerhatikan aspek-aspek tertentu di dalamnya.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa untuk mengakselerasi transisi energi dari fosil ke energi yang lebih terbarukan diperlukan adanya kebijakan yang mendukung, termasuk di sektor transportasi. Pemberian insentif pajak dapat menjadi solusi utama untuk meningkatkan industri kendaraan listrik di Indonesia sehingga transisi energi dapat tercapai. Tentunya, kebijakan tersebut harus disiapkan sematang mungkin dengan memerhatikan berbagai aspek dan kriteria agar menjadi kebijakan yang tepat sasaran. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun