Sehingga, insentif pajak pada kendaraan listrik bertujuan untuk memengaruhi perilaku konsumen dan industri. Dengan cara ini, pajak dapat menjadi alat yang mendukung kebijakan lingkungan.
Sebagai contoh, pembelian Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) roda empat tertentu seharusnya dikenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Tapi melalui dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 8 Tahun 2024, PPN tersebut diberikan insentif pengurangan PPN sebesar 10%. Dengan kata lain, pembeli hanya membayar PPN 1% dari harga jual.
Tentunya, kebijakan ini tidak dilakukan secara sembarangan. Ada kriteria tertentu yang harus dipenuhi oleh kendaraan, yaitu nilai Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebagaimana yang diatur oleh Kementerian Perindustrian.
Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 9 Tahun 2024 yang berisi fasilitas pembebasan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) senilai 100%. Pembebasan ini diberikan untuk pembelian mobil listrik secara utuh impor. Tujuannya, agar investor tertarik dan menanamkan modalnya untuk industri kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di Indonesia.
Sekali lagi, insentif pajak ini tidak diberikan secara cuma-cuma. Insentif pajak ini hanya berlaku apabila pelaku usaha memenuhi persyaratan yang diatur oleh Kementerian Investasi seperti kewajiban perusahaan industri untuk mengembangkan fasilitas manufaktur KBLBB Roda Empat di Indonesia.
Selain dua insentif tersebut, masih ada insentif lain yang diberikan pemerintah untuk mendorong konsumen membeli kendaraan listrik. Bahkan, bukan hanya insentif pajak, pemerintah juga memberikan subsidi atau negative tax untuk pembelian motor listrik.
Subsidi pembelian motor listrik yang diterapkan sejak 2023 lalu ini adalah bentuk sikap pemerintah terhadap pembelian motor listrik yang sepi peminat. Melalui subsidi ini, konsumen yang memenuhi syarat tertentu bisa mendapat subsidi sebesar Rp7 juta rupiah untuk pembelian motor listrik. Ini menunjukkan bahwa pemerintah berkomitmen untuk mendorong transisi energi ini ke arah yang lebih baik.
Kendati demikian, kebijakan-kebijakan terkait insentif perpajakan ini menuai pro dan kontra di masyarakat. Dari sisi industri, masyarakat beranggapan seharusnya pemerintah menyiapkan dan melakukan pemerataan fasilitas pengisian daya terlebih dahulu sebelum memberikan insentif.
Sebab, apabila hanya mendorong konsumen untuk membeli saja tanpa disertai fasilitas, maka hanya akan memberikan testimoni buruk dari konsumen terhadap kendaraan listrik. Ini dapat menurunkan minat pembelian kendaraan listrik itu sendiri.
Selain itu, dari sudut pandang politis, insentif ini dianggap sebagai kebijakan yang menguntungkan pengusaha kendaraan listrik. Beberapa pejabat diketahui memiliki perusahaan kendaraan listrik mereka sendir. Sehingga, transisi energi hanyalah kedok untuk melancarkan bisnis kendaraan listrik mereka melalui pemberian insentif pajak ini.
Terlepas dari sudut pandang politisnya, secara akademis kebijakan ini dapat dibenarkan dengan teori pajak sebagai regulerend. Insentif pajak ini memang dapat mendorong industri kendaraan listrik di Indonesia.