Senja itu, Mira duduk di bangku taman rumah sakit. Amplop cokelat di tangannya terasa berat, seolah isinya lebih dari sekadar kertas. Angin sore menyapa lembut wajahnya yang tirus. Langit Manggar diwarnai semburat jingga, memberikan pemandangan yang menenangkan, tetapi tak cukup untuk meredakan debar jantungnya. Â
Tiga jam telah berlalu sejak dokter menyerahkan amplop itu padanya. Tiga jam ia duduk di sini, memandangi amplop itu tanpa berani membukanya. Ia tahu, menunda tidak akan mengubah hasilnya. Namun, ada sesuatu yang membuat tangannya enggan bergerak. Â
Suara langkah kaki mendekat, memecah keheningan. Pak Karyo, tukang kebun rumah sakit, muncul dengan sapu lidi di tangan, topi lusuh menutupi sebagian wajah tuanya. Ia menyandarkan sapunya pada bangku di sebelah Mira dan memandangnya dengan tatapan penuh pengertian. Â
"Sudah tiga jam, Bu Mira," katanya, melirik amplop di tangan Mira. "Kenapa belum dibuka juga? Bukankah Ibu ingin tahu hasilnya?"Â Â
Mira mengangkat wajah, lalu tersenyum kecil, samar. "Saya takut, Pak," katanya pelan. "Hasil ini bisa mengubah semuanya."Â Â
Pak Karyo duduk di sampingnya, melepaskan topinya dan mengusap keringat di dahinya. "Ibu sudah berjuang begitu keras. Apa pun hasilnya, yang penting Ibu sudah mencoba yang terbaik. Bukankah begitu?"Â Â
Mira terdiam, membiarkan kata-kata Pak Karyo menggema di pikirannya. Meski terdengar benar, hatinya belum siap menerima. Pandangannya tertuju ke taman kecil di depannya, tempat kehidupan berjalan dengan caranya sendiri. Â
Seorang anak perempuan berlari-lari kecil, tawa riangnya pecah di udara saat ia mengejar balon yang hampir terlepas dari genggamannya. Tak jauh darinya, sepasang lansia duduk di bangku kayu, berbagi roti tawar dengan burung-burung pipit yang berkumpul di sekitar kaki mereka. Di sudut lain, seorang pria muda terlihat sibuk menata tripod kameranya, mencari sudut terbaik untuk mengabadikan langit senja yang berwarna jingga keemasan. Â
Tak jauh dari sana, dua remaja bermain gitar, melantunkan lagu sederhana yang terdengar lirih namun penuh semangat. Suaranya bercampur dengan suara gemerisik dedaunan dan tawa anak-anak yang bermain ayunan di bawah pohon rindang. Â
Pemandangan itu seolah melukis fragmen-fragmen kehidupan yang bergerak tanpa henti. Mira tersenyum samar, tetapi bayangan itu membawa kenangan lama yang tak mampu ia hindari. Ia kembali teringat Deni---anak laki-lakinya yang dulu sering bermain di taman seperti ini, mengejar layangan, atau sibuk menggambar sketsa langit senja di buku gambarnya. Kenangan itu indah, tetapi juga menghantui, meninggalkan rasa kehilangan yang tak pernah benar-benar memudar. Â