Bayangan asing itu menatap balik dari cermin kamar mandi. Titin melihat lingkar hitam di bawah mata dan bibir pucat—jejak tiga puluh lima tahun yang terukir dalam retakan-retakan halus. Air mengalir dari keran, menderu bagai lagu melankolis yang mengiringi waktu yang terlepas dari genggaman.
Jemarinya menyentuh cermin dingin, berusaha menggapai sosok dirinya yang dulu. Perempuan penuh semangat yang menulis puisi di sela waktu dan bermimpi menaklukkan dunia lewat kata-kata.
"Bu, Didit telat!" Suara putranya memecah lamunan.
Titin merapikan blazer kerjanya yang kusut, cerminan hidupnya yang penuh kompromi. Sapuan lipstik merah di bibir menjadi topeng yang tak mampu menyembunyikan kelelahan.
Di meja makan, Didit mengaduk-aduk nasi gorengnya tanpa selera. "Ibu sakit?" tanyanya lirih.
"Ibu hanya lelah," jawab Titin, membelai rambut Didit yang berantakan. Ia tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan gundah yang mendesak di dadanya.
Wage, suaminya, tetap terpaku pada laptop. Jemarinya menari di atas keyboard, seolah dunia di sekelilingnya tak ada. "Berangkat duluan. Meeting jam sembilan," ucapnya datar.
Titin mengangguk. Lima belas tahun pernikahan mereka telah berubah menjadi rutinitas tanpa rasa—mesin tua yang berderit dalam kesunyian.
Saat Wage pergi, Didit menatap ibunya dengan pandangan penuh tanya. "Ibu... kapan kita bisa main bareng lagi? Kayak dulu."
Pertanyaan itu menghentikan langkah Titin sejenak. "Nanti, kalau Ibu sudah tidak sibuk," jawabnya, meski di dalam hati ia tahu jawabannya tak memuaskan.
Usai mengantar Didit ke sekolah, Titin memarkirkan mobilnya di depan kafe kecil di sudut kota. Tempat ini adalah oasisnya, ruang bernafas di tengah padang rutinitas.
"Kopi hitam biasa, Mbak Titin?" sapa Pak Karjo, sang barista berambut perak, dengan senyumnya yang hangat.
"Ya, dan... boleh pinjam halaman terakhir koran?"
Tangannya gemetar membuka halaman rubrik cerpen. Di sana, nama penanya tercetak tegas: Amara Kinanti. Air mata menetes ke atas kertas. Cerpennya diterbitkan, mimpi yang akhirnya berani ia wujudkan setelah bertahun-tahun menunda.
"Bagus cerpennya," Pak Karjo memecah hening. "Tentang perempuan pencari jati diri. Mengingatkan saya pada almarhum istri."
"Istri Bapak penulis?"
"Dulu, sebelum menikah. Berhenti menulis demi mengurus keluarga. Sampai akhir hidupnya, dia bilang itu penyesalan terbesarnya."
Kalimat itu menghantam Titin telak. Bayangan buku hariannya yang terkubur di lemari berkelebat—kumpulan puisi dan cerita yang tak pernah selesai. Ia teringat mata berbinar Didit saat mendengar dongeng pengantar tidur, lalu dirinya yang dulu penuh semangat.
Malam merangkak pelan. Titin duduk di depan laptop yang lama tak tersentuh. Layar kosong memantulkan cahaya redup, menantang keberaniannya memulai kembali. Jari-jarinya melayang ragu di atas keyboard, takut kata-kata yang dulu mengalir deras kini telah mengering.
Terdengar suara pintu kamar terbuka pelan. Didit berdiri di sana dengan buku tulis di tangannya. "Bu, aku nggak bisa tidur."
Titin tersenyum tipis. "Kenapa, Nak?"
"Aku kepikiran cerita dinosaurusku, Bu. Aku bingung dinosaurusnya takut apa lagi."
Titin menghela napas panjang, menarik Didit ke dalam pelukannya. "Kadang, menulis itu memang butuh keberanian. Nggak apa-apa kalau bingung, yang penting kamu terus mencoba."
Didit mengangguk. "Kalau Ibu nulis apa sekarang?" tanyanya, menunjuk laptop.
"Ibu juga sedang belajar menulis lagi," jawab Titin, menyadari bahwa ucapan itu lebih ditujukan untuk dirinya sendiri.
Setelah Didit kembali tidur, langkah pelan Wage mengusik konsentrasi Titin. "Belum tidur?" Wage berdiri di ambang pintu.
Titin buru-buru menutup laptop. "Sebentar lagi," bisiknya, menelan gumpalan takut yang menggantung di tenggorokan.
Wage mendekat, berhenti di samping meja. "Menulis lagi?" Suaranya melembut, asing namun familiar.
Titin mengangguk perlahan, bersiap menghadapi kemungkinan terburuk. Namun Wage justru duduk di tepi meja, matanya berbinar—kilau yang sama saat mereka masih muda dan penuh harap.
"Ingat cerpenmu waktu kita pacaran? Tentang gadis yang takut laut tapi bermimpi jadi pelaut?"
Kenangan itu menyeruak, menerangi sudut gelap dalam benak Titin. "Kamu masih ingat?"
"Setiap kata," Wage tersenyum. "Aku jatuh cinta pada perempuan yang membuatku percaya pada mimpi. Tapi aku terlalu sibuk mengejar mimpiku sendiri sampai lupa mendukung mimpimu."
Air mata Titin mengalir. Wage yang selama ini terasa jauh kini hadir dengan hati terbuka.
"Aku ingin menulis lagi," bisiknya parau. "Tapi aku takut gagal. Takut tidak bisa jadi istri dan ibu yang baik."
Wage menggenggam tangannya. "Kamu sudah jadi istri dan ibu yang luar biasa. Tapi kamu juga harus jadi Titin yang dulu—yang berani bermimpi, yang percaya tulisannya bisa mengubah dunia."
Kata-kata itu membangkitkan keberanian yang lama tertidur. Malam itu, Titin kembali menatap layar dengan tekad baru, sementara Wage duduk di sampingnya, menjadi saksi awal perjalanan mereka.
Pagi berikutnya, Didit menghampiri Titin dengan wajah tegang namun mata berbinar. Ia menyodorkan buku tulis lusuh bergambar coretan kecil.
"Bu... ini untuk Ibu. Diary-ku. Aku juga suka menulis. Kayak Ibu."
Halaman pertama dipenuhi tulisan berantakan Didit—cerita dinosaurus yang takut gelap, puisi tentang hujan, dan surat untuk "ibu yang paling hebat di dunia."
"Ini luar biasa, Nak." Titin memeluk Didit erat, memeluk dirinya sendiri yang dulu—anak kecil penuh mimpi yang percaya pada kekuatan kata-kata.
Di meja makan, aroma gosong menyambut. Wage berdiri canggung dengan roti panggang yang diolesi selai stroberi tebal-tebal.
"Mungkin tidak sempurna, tapi ini kesukaanmu kan?" Ia meletakkan piring, lalu menambahkan, "Dan... aku daftarkan kamu ke workshop menulis minggu depan."
Titin terpana menatap Wage yang kini tampak berbeda—lebih hidup, lebih nyata. Ia memandang Didit yang tersenyum bangga, lalu suaminya yang menunggu respons dengan cemas.
Gigitan pertama roti panggang itu mengundang tawa kecil. "Rasanya... manis," ujarnya tulus. "Terima kasih."
Didit bersorak, Wage tersenyum lega. Titin menemukan alasan untuk terus bermimpi dalam dua lelaki yang kini memenuhi harinya dengan harapan.
Hujan rintik membalut kota dalam selimut kesejukan ketika Titin melangkah masuk ke kafe Pak Karjo. Tas di bahunya terasa ringan, namun laptop di dalamnya membawa beban harapan yang tak terkira.
"Kopi hitam, Mbak Titin?"
"Dan semangat ekstra, Pak," balasnya tersenyum.
Dari sudut favoritnya dekat jendela, Titin mengamati tetesan air yang menciptakan pola di kaca. Ia membuka laptop perlahan, mengingat semua percakapan dan pelukan yang mengisi hari-harinya belakangan ini.
Namun kini, bukan hanya cerita tentang mimpi-mimpi yang ia tulis, melainkan perjalanan untuk menemukannya kembali.
"Pada usia tiga puluh lima tahun, seorang perempuan belajar bahwa titik nol bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan menuju dirinya yang sebenarnya..."
Saat cangkir kopinya kosong dan langit berubah jingga, Titin menatap layar laptopnya dengan bangga. Halaman itu kini dipenuhi cerita—bukan sekadar rangkaian kata, tapi kesaksian tentang perempuan yang akhirnya berani kembali bermimpi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H