Usai mengantar Didit ke sekolah, Titin memarkirkan mobilnya di depan kafe kecil di sudut kota. Tempat ini adalah oasisnya, ruang bernafas di tengah padang rutinitas.
"Kopi hitam biasa, Mbak Titin?" sapa Pak Karjo, sang barista berambut perak, dengan senyumnya yang hangat.
"Ya, dan... boleh pinjam halaman terakhir koran?"
Tangannya gemetar membuka halaman rubrik cerpen. Di sana, nama penanya tercetak tegas: Amara Kinanti. Air mata menetes ke atas kertas. Cerpennya diterbitkan, mimpi yang akhirnya berani ia wujudkan setelah bertahun-tahun menunda.
"Bagus cerpennya," Pak Karjo memecah hening. "Tentang perempuan pencari jati diri. Mengingatkan saya pada almarhum istri."
"Istri Bapak penulis?"
"Dulu, sebelum menikah. Berhenti menulis demi mengurus keluarga. Sampai akhir hidupnya, dia bilang itu penyesalan terbesarnya."
Kalimat itu menghantam Titin telak. Bayangan buku hariannya yang terkubur di lemari berkelebat—kumpulan puisi dan cerita yang tak pernah selesai. Ia teringat mata berbinar Didit saat mendengar dongeng pengantar tidur, lalu dirinya yang dulu penuh semangat.
Malam merangkak pelan. Titin duduk di depan laptop yang lama tak tersentuh. Layar kosong memantulkan cahaya redup, menantang keberaniannya memulai kembali. Jari-jarinya melayang ragu di atas keyboard, takut kata-kata yang dulu mengalir deras kini telah mengering.
Terdengar suara pintu kamar terbuka pelan. Didit berdiri di sana dengan buku tulis di tangannya. "Bu, aku nggak bisa tidur."
Titin tersenyum tipis. "Kenapa, Nak?"