Air mata Titin mengalir. Wage yang selama ini terasa jauh kini hadir dengan hati terbuka.
"Aku ingin menulis lagi," bisiknya parau. "Tapi aku takut gagal. Takut tidak bisa jadi istri dan ibu yang baik."
Wage menggenggam tangannya. "Kamu sudah jadi istri dan ibu yang luar biasa. Tapi kamu juga harus jadi Titin yang dulu—yang berani bermimpi, yang percaya tulisannya bisa mengubah dunia."
Kata-kata itu membangkitkan keberanian yang lama tertidur. Malam itu, Titin kembali menatap layar dengan tekad baru, sementara Wage duduk di sampingnya, menjadi saksi awal perjalanan mereka.
Pagi berikutnya, Didit menghampiri Titin dengan wajah tegang namun mata berbinar. Ia menyodorkan buku tulis lusuh bergambar coretan kecil.
"Bu... ini untuk Ibu. Diary-ku. Aku juga suka menulis. Kayak Ibu."
Halaman pertama dipenuhi tulisan berantakan Didit—cerita dinosaurus yang takut gelap, puisi tentang hujan, dan surat untuk "ibu yang paling hebat di dunia."
"Ini luar biasa, Nak." Titin memeluk Didit erat, memeluk dirinya sendiri yang dulu—anak kecil penuh mimpi yang percaya pada kekuatan kata-kata.
Di meja makan, aroma gosong menyambut. Wage berdiri canggung dengan roti panggang yang diolesi selai stroberi tebal-tebal.
"Mungkin tidak sempurna, tapi ini kesukaanmu kan?" Ia meletakkan piring, lalu menambahkan, "Dan... aku daftarkan kamu ke workshop menulis minggu depan."
Titin terpana menatap Wage yang kini tampak berbeda—lebih hidup, lebih nyata. Ia memandang Didit yang tersenyum bangga, lalu suaminya yang menunggu respons dengan cemas.