Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunga Liar di Taman Istana

18 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 17 Januari 2025   20:44 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di sebuah kios bunga kecil di Tanjungpandan, aroma melati menguar lembut, menyelimuti ruangan dengan kehangatan yang samar. Di sudut kios , seorang pria berseragam rapi bernama Derahap tampak sibuk membantu istrinya, Seliha, menyusun bunga pesanan pelanggan. Senyuman tipis terlukis di wajahnya, namun matanya menyimpan cerita yang tak pernah ia ungkapkan. Ketika tangannya menyentuh setangkai melati putih, langkahnya terhenti. Ada sesuatu pada bunga itu---sebuah kenangan yang menyeruak tanpa diundang, membawanya kembali ke masa lalu yang kelam, penuh rahasia, dan keputusan yang mengubah hidupnya selamanya.  

---  

Tanjungpandan, tahun 1930-an. Matahari pagi merayap pelan di atas jalan-jalan berbatu kota pelabuhan, memantulkan cahaya ke kios-kios yang mulai ramai. Aroma rempah bercampur bau asin laut, sementara denting lonceng sepeda dan suara seruan pedagang menciptakan simfoni kehidupan. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, di tepi jalan berdebu, seorang gadis muda duduk di atas tikar usang---Seliha.  

Keranjang bunga di depannya penuh dengan bunga liar yang baru dipetik, warna-warninya kontras dengan pakaiannya yang lusuh. Jemarinya yang lentik, meski kasar karena kerja keras, dengan cekatan merangkai bunga menjadi karangan sederhana, masing-masing penuh jiwa. Ada sesuatu yang berbeda dari Seliha. Mata teduhnya menyimpan cerita tentang kegetiran dan harapan, tentang seorang gadis yang hidupnya telah dicuri waktu.  

Sejak ibunya meninggal lima tahun lalu, Seliha menggantikan peran sebagai tulang punggung keluarga. Ayahnya, yang lumpuh akibat kecelakaan tambang, hanya bisa terbaring di rumah panggung kecil mereka, sementara Seliha berkeliling kebun-kebun penduduk setiap pagi, memetik bunga untuk dijual.  

Di jalan itu pula, Derahap, seorang juru tulis muda di kantor pemerintah kolonial, selalu melintas. Derahap adalah gambaran sempurna pria terpandang---berseragam rapi, penuh wibawa, tapi menyimpan kehampaan yang hanya ia tahu. Namun, semuanya berubah pada suatu pagi ketika ia melihat Seliha.  

"Selamat pagi, Tuan," sapa Seliha. Suaranya lembut, tapi cukup untuk mengguncang kesunyian batin Derahap.  

Ia berhenti, pandangannya tertarik pada setangkai melati di keranjang Seliha. "Melati ini harum sekali," gumamnya, seolah berbicara lebih kepada dirinya sendiri.  

"Bunga liar selalu punya aroma lebih kuat, Tuan," jawab Seliha, bibirnya melengkung dalam senyum kecil yang penuh arti. "Mungkin karena mereka tumbuh melawan."  

Kata-kata itu menancap di benak Derahap. Sejak hari itu, ia tak pernah melewatkan pagi tanpa membeli bunga dari Seliha. Percakapan-percakapan singkat mereka berkembang menjadi jalinan yang tak bisa ia jelaskan. Namun, cinta mereka, seperti bunga liar, tumbuh di tanah yang keras.  

Kabar tentang hubungan ini sampai ke telinga ayah Derahap, seorang demang yang tak segan menunjukkan otoritasnya. "Gadis itu tidak pantas untukmu!" bentaknya suatu malam. "Kau dijodohkan dengan anak Tuan Mahmud, dan kau akan mematuhi tradisi keluarga!"  

Hati Derahap terbelah. Ia memilih untuk menghindari jalan tempat Seliha berjualan, berharap rasa bersalahnya akan hilang seiring waktu. Tapi setiap pagi tanpa senyuman Seliha terasa seperti duri yang menusuk jiwanya.  

Di sisi lain, Seliha hanya bisa menunggu. Musim hujan datang, membawa udara dingin dan penyakit yang mulai menggerogoti tubuhnya yang lemah. Dalam rumah panggung kecilnya, ia terbaring dengan nafas yang semakin berat, sementara ayahnya duduk tak berdaya di sampingnya. Hujan terus mengguyur, seolah dunia ikut menangis untuk kisah cinta yang tak pernah sempat bermekaran.

---  

Kembali ke kios bunga, ingatan Derahap melesat ke masa yang tak bisa ia lupakan---hari ketika ia memberanikan diri mendatangi rumah Seliha untuk terakhir kalinya. Rumah panggung kecil itu tampak suram, diterangi hanya oleh lampu minyak yang redup. Hujan deras mengguyur atap rumbia, iramanya seakan menyatu dengan detak jantung Derahap yang berdegup kencang.  

Ia mendapati Seliha terbaring di atas dipan bambu, tubuhnya terlihat rapuh seperti ranting yang hampir patah. Namun, meski lemah, tatapan mata Seliha tetap memancarkan ketegaran yang membuat Derahap merasa kecil.  

"Tuan Derahap?" Suara Seliha terdengar serak, hampir seperti bisikan, tapi cukup untuk menghentikan langkahnya. "Kenapa Tuan ke sini?"  

Derahap berlutut di samping dipan, tangannya gemetar menggenggam jemari dingin Seliha. "Aku minta maaf, Seliha," katanya dengan suara bergetar. "Aku pengecut. Aku biarkan tradisi, status, dan keluarga mematahkan keberanianku... memisahkanku darimu."  

Seliha tersenyum tipis, penuh kegetiran. "Tuan tidak perlu minta maaf," katanya lemah. "Hidup kita memang tak pernah sejajar. Bunga yang tumbuh di pinggir jalan tak pernah dirancang untuk menghiasi taman istana."  

Kata-katanya seperti belati yang menusuk dada Derahap. Ia menarik nafas dalam, berusaha menahan gejolak emosinya. "Tapi aku ingin mengubah itu, Seliha," katanya akhirnya, suaranya dipenuhi tekad. "Aku ingin taman istana dipenuhi bunga-bunga liar yang seindah dirimu. Aku ingin dunia tahu bahwa kau pantas berdiri di sana. Kumohon, berikan aku kesempatan kedua. Aku akan memperjuangkan kita."  

Seliha menatapnya dalam-dalam, air matanya mengalir pelan di sudut matanya yang redup. "Kesempatan kedua, ya?" bisiknya, senyum samar kembali menghiasi wajahnya. "Tapi bunga sepertiku tak selalu bertahan lama di musim hujan, Tuan..."  

Hujan terus mengguyur, menjadi saksi percakapan yang mengguncang jiwa Derahap. Di saat itu, ia bersumpah akan menghapus batas yang memisahkan mereka, meski harus menantang dunia.  

---  

Perjuangan Derahap menghadapi keluarganya adalah pertempuran yang penuh badai, babak paling berat dalam hidupnya. Suara ayahnya menggema di ruang keluarga mereka yang megah, penuh dengan nada kemarahan. "Kau akan mencoreng nama keluarga kita, Derahap! Gadis itu bukan siapa-siapa!"  

Namun, Derahap tak gentar. Dengan mata yang menyala penuh tekad, ia berdiri di hadapan ayahnya. "Nama keluarga ini tak berarti jika aku harus mengorbankan hatiku! Aku mencintainya, Ayah, dan aku tak akan menyerah hanya karena status!"  

Argumen demi argumen meletus seperti petir di rumah itu. Ayahnya mengancam akan menghapus nama Derahap dari warisan keluarga, bahkan menyingkirkannya dari rumah. Tapi ancaman itu tak menggoyahkan Derahap. Dengan keberanian yang baru pertama kali ia tunjukkan, ia melakukan hal yang mengejutkan semua orang: ia membatalkan pertunangannya dengan anak Tuan Mahmud, di depan keluarga besar.  

Kabar itu menyebar cepat seperti api. Nama Derahap menjadi bahan gunjingan di masyarakat, tapi ia tetap teguh. Ia tahu bahwa cinta sejati layak diperjuangkan, tak peduli betapa tinggi tembok yang menghalangi.  

Puncaknya, ayah Derahap, dengan raut wajah tegas yang biasa ia kenakan, memutuskan untuk melihat sendiri siapa gadis yang telah membuat putranya menentang keluarga dan tradisi. Perjalanan itu dilakukan tanpa pemberitahuan, diiringi rasa penasaran bercampur kemarahan. Dengan langkah berat, ia sampai di depan rumah panggung kecil yang tampak tua dan sederhana, jauh dari kemewahan yang selama ini ia anggap layak untuk Derahap.  

Saat itu, Seliha tengah merawat ayahnya yang sakit di ruang tengah rumah. Cahaya matahari redup menembus dinding bambu yang bolong, menerangi wajahnya yang pucat namun tetap menunjukkan keteguhan hati. Tubuhnya terlihat lelah---bayang-bayang kerja keras dan kurang istirahat terpancar jelas di gerakannya. Namun, tatapan matanya penuh kasih saat ia dengan telaten mengelap keringat di dahi pria tua yang terbaring di atas dipan reyot.  

Seliha tak menyadari kehadiran tamu tak diundang di pintu. Ayah Derahap berdiri diam, memperhatikan setiap gerakannya dari celah pintu yang setengah terbuka. Ia melihat bagaimana Seliha melipat kain basah dengan hati-hati, lalu mengganti air minum ayahnya yang terbaring. Meski nafasnya sendiri tampak berat, ia tak mengeluh.  

"Sudah lebih baik, Ayah?" tanya Seliha lembut, menyeka wajah pria tua itu sekali lagi. "Bunga-bunga yang kutjual pagi tadi cukup untuk membeli ramuan. Jangan khawatir, Ayah akan segera pulih."  

Ayah Derahap terpaku. Ia tak menyangka bahwa gadis ini, yang sebelumnya ia anggap hanya seorang "penjual bunga jalanan," memiliki ketulusan yang begitu mendalam. Tangannya yang kasar karena kerja keras menunjukkan ketangguhan, tetapi caranya merawat ayahnya mencerminkan kelembutan yang jarang ia temui.  

Rasa amarah yang awalnya menyelimuti hatinya perlahan terkikis. Ia mulai melihat gadis ini bukan sebagai ancaman, melainkan sebagai seseorang yang memiliki kekuatan luar biasa di balik kelembutannya. Seorang wanita yang, meski hidup dalam kesulitan, mampu memberikan kasih sayang yang tak tergoyahkan.  

Dengan suara berat, ia akhirnya melangkah masuk. Suara lantai kayu yang berderit membuat Seliha menoleh. Ia terlihat terkejut, tapi dengan sopan ia berdiri, meski tubuhnya tampak hampir goyah.  

"Selamat datang, Tuan," sapanya dengan nada hormat, meski ia tak tahu siapa yang berdiri di depannya.  

Ayah Derahap tak langsung menjawab. Ia hanya memandangi Seliha dengan sorot mata yang mulai berubah---dari ketidakpercayaan menjadi rasa hormat. Untuk pertama kalinya, ia mengerti mengapa putranya berjuang begitu keras untuk gadis ini.  

Ketegaran dalam tubuh kecil Seliha, serta ketulusannya yang nyata, telah menggerakkan sesuatu di hatinya. Dan saat ia akhirnya bicara, nada suaranya tak lagi sekeras biasanya. "Gadis ini... lebih berharga daripada semua kekayaan yang aku miliki," gumamnya dalam hati, hampir tak percaya pada apa yang baru saja ia akui.  

Pemandangan itu menggugah hati sang ayah. Ia melihat sesuatu yang tak bisa dibeli oleh kekayaan atau status---ketulusan. Mata kerasnya perlahan melunak. "Gadis ini... lebih berharga daripada semua kekayaan kita," gumamnya akhirnya, dengan suara berat yang dipenuhi rasa haru.  

Kemenangan Derahap atas keluarganya bukan hanya soal cinta, tapi juga soal membuktikan bahwa hati yang tulus mampu meruntuhkan dinding tradisi dan keangkuhan. Itu adalah hari ketika cinta menang dengan gemilang.

---  

Derahap tersenyum, membiarkan pikirannya kembali ke masa lalu yang penuh liku. Di tengah alunan aroma bunga, ia menoleh ke arah Seliha. Wajah istrinya masih memancarkan ketulusan yang sama seperti saat pertama kali ia bertemu dengannya di jalan berdebu itu.  

Seliha menangkap pandangannya dan membalas dengan senyum lembut, seolah memahami apa yang ada di pikirannya. Mereka kini bekerja berdampingan, tangan mereka cekatan merangkai bunga-bunga menjadi karangan yang penuh keindahan---sebuah pengingat bahwa setiap helai bunga membawa kisah, seperti kisah mereka yang tumbuh dari tanah penuh rintangan.  

Di sudut kios , sebuah keranjang melati putih diletakkan dengan sengaja. Keranjang itu adalah simbol dari perjalanan mereka---bunga liar yang dulu dipandang sebelah mata, kini menjadi pusat keharuman kios kecil mereka. Itu bukan sekadar dekorasi, tapi monumen diam bagi cinta yang telah melampaui batas tradisi dan waktu.  

Derahap memandang keranjang itu, lalu menatap Seliha dengan penuh syukur. "Kita berhasil, Seliha," gumamnya.  

Seliha tersenyum, matanya berbinar. "Bunga liar ini ternyata bisa tumbuh di taman istana, Tuan," bisiknya lembut. Dan mereka kembali bekerja, tangan mereka merangkai bunga, sementara hati mereka terus merangkai kebahagiaan.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun