Hujan terus mengguyur, menjadi saksi percakapan yang mengguncang jiwa Derahap. Di saat itu, ia bersumpah akan menghapus batas yang memisahkan mereka, meski harus menantang dunia. Â
---Â Â
Perjuangan Derahap menghadapi keluarganya adalah pertempuran yang penuh badai, babak paling berat dalam hidupnya. Suara ayahnya menggema di ruang keluarga mereka yang megah, penuh dengan nada kemarahan. "Kau akan mencoreng nama keluarga kita, Derahap! Gadis itu bukan siapa-siapa!"Â Â
Namun, Derahap tak gentar. Dengan mata yang menyala penuh tekad, ia berdiri di hadapan ayahnya. "Nama keluarga ini tak berarti jika aku harus mengorbankan hatiku! Aku mencintainya, Ayah, dan aku tak akan menyerah hanya karena status!"Â Â
Argumen demi argumen meletus seperti petir di rumah itu. Ayahnya mengancam akan menghapus nama Derahap dari warisan keluarga, bahkan menyingkirkannya dari rumah. Tapi ancaman itu tak menggoyahkan Derahap. Dengan keberanian yang baru pertama kali ia tunjukkan, ia melakukan hal yang mengejutkan semua orang: ia membatalkan pertunangannya dengan anak Tuan Mahmud, di depan keluarga besar. Â
Kabar itu menyebar cepat seperti api. Nama Derahap menjadi bahan gunjingan di masyarakat, tapi ia tetap teguh. Ia tahu bahwa cinta sejati layak diperjuangkan, tak peduli betapa tinggi tembok yang menghalangi. Â
Puncaknya, ayah Derahap, dengan raut wajah tegas yang biasa ia kenakan, memutuskan untuk melihat sendiri siapa gadis yang telah membuat putranya menentang keluarga dan tradisi. Perjalanan itu dilakukan tanpa pemberitahuan, diiringi rasa penasaran bercampur kemarahan. Dengan langkah berat, ia sampai di depan rumah panggung kecil yang tampak tua dan sederhana, jauh dari kemewahan yang selama ini ia anggap layak untuk Derahap. Â
Saat itu, Seliha tengah merawat ayahnya yang sakit di ruang tengah rumah. Cahaya matahari redup menembus dinding bambu yang bolong, menerangi wajahnya yang pucat namun tetap menunjukkan keteguhan hati. Tubuhnya terlihat lelah---bayang-bayang kerja keras dan kurang istirahat terpancar jelas di gerakannya. Namun, tatapan matanya penuh kasih saat ia dengan telaten mengelap keringat di dahi pria tua yang terbaring di atas dipan reyot. Â
Seliha tak menyadari kehadiran tamu tak diundang di pintu. Ayah Derahap berdiri diam, memperhatikan setiap gerakannya dari celah pintu yang setengah terbuka. Ia melihat bagaimana Seliha melipat kain basah dengan hati-hati, lalu mengganti air minum ayahnya yang terbaring. Meski nafasnya sendiri tampak berat, ia tak mengeluh. Â
"Sudah lebih baik, Ayah?" tanya Seliha lembut, menyeka wajah pria tua itu sekali lagi. "Bunga-bunga yang kutjual pagi tadi cukup untuk membeli ramuan. Jangan khawatir, Ayah akan segera pulih."Â Â
Ayah Derahap terpaku. Ia tak menyangka bahwa gadis ini, yang sebelumnya ia anggap hanya seorang "penjual bunga jalanan," memiliki ketulusan yang begitu mendalam. Tangannya yang kasar karena kerja keras menunjukkan ketangguhan, tetapi caranya merawat ayahnya mencerminkan kelembutan yang jarang ia temui. Â