Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kopi Dangdut

11 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 13 Januari 2025   04:21 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rudi menatap kopi di depannya, jari-jarinya mengetuk-ketuk gelas seolah sedang mencari kata-kata. "Saya belum tahu, San," jawabnya akhirnya, suaranya pelan tapi tegas. "Tapi saya ingin mulai sesuatu di sini. Membangun apa yang dulu saya tinggalkan. Mungkin... saya sudah terlalu lama mengabaikan tempat ini."  

Pak Haji duduk di kursi di depan mereka, wajahnya tenang namun penuh makna. "Kembali itu bukan perkara mudah, Rud. Tapi kalau kau punya niat, Manggar ini masih punya banyak peluang. Selalu ada cara untuk hidup di tanah sendiri."  

Rudi menatap Pak Haji, lalu A San, dengan senyum tipis yang perlahan muncul di wajah letihnya. "Mungkin itu yang saya cari. Sesuatu yang nyata. Bukan sekadar mengejar mimpi di atas aspal yang terus berlari."  

A San tersenyum, memadamkan rokoknya di asbak. "Kalau butuh bantuan, bilang saja. Manggar mungkin sudah berubah, tapi orang-orangnya masih tetap sama. Kita saling membantu."  

Malam itu, di warung kopi kecil di sudut Manggar, sebuah persahabatan lama kembali terjalin. Dan di antara dendang dangdut dari radio tua, aroma kopi, dan debur ombak, Rudi merasa untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia menemukan tempat untuk memulai kembali.

Perkataan Rudi membuat A San tertegun. Ia mulai membayangkan berbagai kemungkinan. Apakah ada cara untuk membangun Manggar tanpa meninggalkan jati dirinya?  

Radio tua di sudut warung kembali mengalunkan lagu dangdut. Kali ini, "Benci Tapi Rindu". Lagu itu membawa A San kembali ke masa remaja, ketika ia dan Rudi sering duduk di pantai, berbicara tentang mimpi-mimpi besar mereka.  

"Kalian masih ingat masa itu?" tanya Pak Haji sambil tersenyum. "Kalian dulu sering berdebat soal siapa yang akan sukses lebih dulu."  

A San dan Rudi tertawa kecil. Namun, di balik tawa itu, ada perasaan getir. Dunia telah berubah, begitu pula mereka.  

"Saya dengar ada program pemerintah untuk mengembangkan wisata lokal," kata Rudi tiba-tiba. "Kenapa kita tidak ikut terlibat? Manggar ini punya banyak potensi."  

A San mengerutkan kening. "Program seperti itu biasanya hanya menguntungkan mereka yang punya modal besar."  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun