Januari, hujan deras mengguyur kota Manggar dengan tanpa ampun. Rintik-rintik air yang jatuh menciptakan simfoni alam yang memekakkan telinga, sementara kilat sesekali menyambar, menerangi langit yang gelap gulita. Di tengah cuaca yang tak bersahabat ini, Mar'en yang baru saja selesai mengumandangkan adzan Isya, mengayuh sepeda tuanya dengan hati-hati. Lampu jalanan yang redup membuat pandangannya terbatas, namun ia sudah hafal betul setiap lekuk jalan yang telah dilaluinya selama lima tahun terakhir dalam tugasnya sebagai muadzin.
Suaranya yang merdu telah menjadi penanda waktu sholat yang dinantikan para jamaah Masjid Al-Hikmah. Bukan hanya karena keindahan nadanya, tetapi juga karena kesungguhan dan kekhusyukan yang terpancar dari setiap lafaz yang ia lantunkan. Tak jarang, masjid-masjid lain di kota itu memintanya untuk menjadi muadzin di acara-acara besar, seperti sholat Idul Fitri atau peringatan hari-hari besar Islam.
Ketika Mar'en hampir mencapai tikungan menuju rumahnya, sebuah cahaya terang tiba-tiba membelah kegelapan, menyilaukan matanya bagaikan kilat yang menyambar dari bumi. Derum mesin mengaum bagai raungan monster besi, memecah kesunyian malam yang mencekam. Dari kejauhan, sebuah truk besar muncul bagai banteng lepas kendali, lampu depannya yang menyorot liar menari-nari di tengah hujan, berzig-zag membabi buta di atas aspal yang licin bagai cermin hitam.
Jantung Mar'en seolah berhenti berdetak. Dalam sepersekian detik yang terasa seperti selamanya, otaknya berteriak memerintahkan tubuhnya untuk menghindar. Tangannya yang gemetar mencengkeram erat setang sepeda, berusaha membanting ke arah bahu jalan. Namun, takdir seolah telah menuliskan skenario berbeda. Di hadapannya, truk itu melindas genangan air besar dengan brutal, menciptakan tirai air yang membutakan. Suara decitan ban yang bergesek dengan aspal basah mengiris telinga, berbaur dengan deru hujan yang semakin ganas.
Dunia Mar'en seketika berputar dalam pusaran kengerian. Tubuhnya terhempas ke udara, melayang bagai boneka kain yang terlempar dari mainan rusak. Ia bisa merasakan angin dingin menampar kulitnya, sebelum gravitasi menariknya kembali ke bumi dengan kejam. Sepeda tuanya yang setia pecah berkeping-keping, bagai serpihan kenangan yang berhamburan di aspal. Dalam momen-momen terakhir kesadarannya, Mar'en menangkap serpihan-serpihan realitas: teriakan-teriakan panik yang membelah malam, derap langkah kaki yang berlarian mendekat, dan raungan sirine ambulans yang meraung-raung di kejauhan bagai senandung kematian. Sebelum kegelapan pekat menelan kesadarannya sepenuhnya, satu bisikan lirih terucap dari bibirnya yang bergetar, "Laa ilaaha illallah..." Lalu senyap.
Tiga hari kemudian, Mar'en membuka mata di ruangan serba putih yang berbau antiseptik. Tubuhnya terasa remuk, namun yang lebih menyakitkan adalah kenyataan yang harus ia hadapi. Dokter, dengan raut wajah penuh empati, menjelaskan bahwa kecelakaan itu telah merusak pita suaranya secara permanen.
"Maaf, Bang Mar'en," ujar dokter dengan suara pelan. "Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi kerusakan pada pita suara Anda terlalu parah. Anda masih bisa bernafas normal, namun untuk berbicara... itu tidak mungkin lagi."
Dunia Mar'en seketika runtuh. Air mata mengalir tanpa suara di pipinya yang pucat. Selama ini, ia menganggap suaranya sebagai anugerah terindah dari Allah, sebuah amanah yang ia jaga dengan sepenuh jiwa. Kini, dalam sekejap, anugerah itu telah direnggut darinya. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam benaknya. Mengapa harus suaranya? Mengapa harus kemampuannya mengumandangkan adzan yang hilang?
Hari-hari pertama setelah keluar dari rumah sakit adalah masa tergelap dalam hidupnya. Mar'en mengurung diri di rumah, menolak bertemu siapapun. Setiap kali suara adzan berkumandang dari masjid, hatinya seperti tercabik-cabik. Suara-suara itu mengingatkannya pada kehidupan yang kini tak bisa ia jalani lagi, pada panggilan suci yang tak bisa ia kumandangkan lagi.
Jamaah Masjid Al-Hikmah tidak pernah berhenti mencarinya. Pak Ahmad, ketua takmir masjid, berkali-kali mendatangi rumahnya. Begitu juga dengan Pak Ustad Ramli, guru mengaji yang telah menjadi figur ayah baginya sejak ia pertama kali menginjakkan kaki di masjid. Namun Mar'en selalu menolak bertemu, hanya mengamati dari balik tirai jendela dengan hati yang semakin terluka.
"Mar'en, nak," suara Pak Ustad Ramli terdengar dari balik pintu suatu hari. "Kami semua merindukanmu di masjid. Kehadiranmu tidak hanya tentang suara adzan. Kau adalah bagian dari keluarga kami. Allah tidak pernah memberikan ujian melebihi kemampuan hamba-Nya."
Namun kata-kata penghiburan itu tak mampu menembus dinding kesedihan yang Mar'en bangun. Ia merasa telah kehilangan tujuan hidupnya, merasa tak layak lagi berada di rumah Allah. Setiap malam, mimpi buruk tentang kecelakaan itu menghantuinya, membuatnya terbangun dengan tubuh bermandikan keringat dingin dan dada yang sesak oleh penyesalan.
Berita bahwa sopir truk yang menabraknya ternyata dalam kondisi mabuk saat kejadian semakin memperburuk keadaan. Kemarahan dan dendam mulai menggerogoti hatinya yang sudah rapuh. Ia menulis surat pengaduan ke polisi, menuntut keadilan, namun proses hukum yang berlarut-larut hanya menambah beban pikirannya.
Hingga suatu malam yang dingin, setelah berminggu-minggu mengurung diri, Mar'en akhirnya memberanikan diri keluar rumah untuk membeli obat di apotek terdekat. Sakit kepala yang menderanya sudah tak tertahankan. Di bawah cahaya lampu jalan yang temaram, matanya menangkap sosok seorang remaja lusuh yang meringkuk di depan mushola kecil.
Remaja itu, dengan jaket kumal dan rambut berantakan, tampak sedang mengamati orang-orang yang keluar dari mushola seusai sholat Isya. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang menarik perhatian Mar'en, sesuatu yang mengingatkannya pada dirinya di masa lalu.
"Assalamualaikum," sapa remaja itu tiba-tiba ketika menyadari kehadiran Mar'en. "Maaf bang, boleh tanya sesuatu?"
Mar'en mengangguk pelan, mengeluarkan notes kecil dari sakunya -- kebiasaan baru yang terpaksa ia adopsi sejak kehilangan suaranya.
"Saya Rizki," remaja itu memperkenalkan diri dengan suara yang sedikit bergetar. "Saya... sebenarnya saya ingin tahu lebih banyak tentang Islam. Sudah seminggu saya mengamati mushola ini, tapi tidak berani masuk. Saya tidak tahu caranya sholat, tidak bisa mengaji. Orang tua saya tidak pernah mengajari."
Mar'en tertegun. Tangannya yang sedikit gemetar menulis di notes: "Kenapa tertarik dengan Islam?"
Rizki terdiam sejenak. Dalam keremangan malam, matanya yang nanar menerawang jauh, seolah menembus kabut kenangan yang gelap. Suaranya bergetar ketika ia mulai bercerita, "Saya sudah lama hidup di jalanan, Bang. Tidur di emperan toko, makan dari sisa warung... dan ya, mencuri." Ia menghela napas berat. "Demi sepiring nasi, saya rela berkelahi sampai babak belur. Demi selembar baju, saya berani merampas tas orang. Hidup saya seperti binatang buas yang hanya tahu bertahan hidup."
Ia berhenti sejenak, menelan ludah yang terasa pahit. "Tapi sebulan lalu, Allah mengirim seseorang yang mengubah hidup saya." Suaranya melembut, sementara matanya mulai berkaca-kaca. "Waktu itu hujan deras. Perut saya keroncongan. Saya lihat ada bapak tua keluar dari masjid, sepertinya baru sholat Ashar. Dompetnya menyembul dari saku... sasaran empuk." Rizki mengusap matanya yang mulai basah.
"Saya jambret dompet itu dan lari sekencang-kencangnya. Tapi yang terjadi selanjutnya..." Suaranya tercekat. "Bapak itu berteriak, bukan marah, tapi memanggil saya 'Nak'. Dia bilang, 'Nak, kalau memang butuh uang, ambillah. Tapi izinkan Bapak mendoakan kamu ya.' Saya berhenti berlari. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ada yang memanggil saya 'Nak', bukan 'pencuri' atau 'anak jalanan'."
Air mata kini mengalir di pipi Rizki yang kotor. "Bapak itu mendekat, tersenyum seperti malaikat. Dia peluk saya, Bang. Peluk saya yang bau dan kotor ini. Katanya, 'Allah masih sayang sama kamu, Nak. Bapak dapat ketenangan dari sholat, dan kamu juga bisa dapat itu. Pintu masjid selalu terbuka untuk siapa saja.' Sejak itu..." Rizki tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Mar'en merasakan dadanya sesak oleh emosi yang membuncah. Air mata hangat mengalir tanpa permisi di pipinya. Tangannya yang gemetar menulis di notes dengan tergesa-gesa: "Allah memang Maha Pengasih. Dulu saya juga sepertimu. Tersesat, hilang arah. Tapi Islam menyelamatkan saya." Ia berhenti sejenak, menghapus air matanya, lalu menulis lagi dengan lebih mantap: "Mau ikut saya? Ada seseorang yang bisa membantumu menemukan jalan pulang ke rumah Allah."
Di bawah temaram lampu jalan, dua anak manusia yang terluka itu bertemu pandang. Dalam keheningan malam, mereka merasakan hangatnya kasih Allah yang tak pernah memandang siapa yang datang bertobat kepada-Nya.
Rizki awalnya ragu, tetapi melihat ketulusan di mata Mar'en, ia akhirnya mengangguk. Mereka berjalan bersama menuju rumah Pak Ustad Ramli yang tak jauh dari situ. Sepanjang jalan, Mar'en mulai menyadari bahwa mungkin inilah jawaban Allah atas kebimbangannya selama ini.
Meski hari sudah larut, Pak Ustad Ramli menyambut mereka dengan kehangatan yang familiar. Mar'en menjelaskan situasinya melalui tulisan, sementara Rizki duduk dengan canggung di sudut ruang tamu yang sederhana namun nyaman.
"Alhamdulillah," kata Pak Ustad setelah membaca penjelasan Mar'en. "Allah selalu memiliki cara yang tak terduga untuk mempertemukan hamba-hamba-Nya." Ia kemudian berpaling pada Rizki dengan senyum kebapakan. "Nak, kau tahu? Mar'en ini dulu adalah muadzin terbaik di masjid kami. Sekarang, meski tidak bisa bersuara, hatinya masih dipenuhi cahaya untuk membimbing orang lain."
Pak Ustad menatap Mar'en dengan mata berkaca-kaca. "Akhirnya kau menemukan jalanmu kembali, anakku. Kau tahu, sejak kepergianmu, banyak anak-anak yang merindukan cara mengajarmu yang penuh kesabaran. Allah tidak mengambil suaramu, Ia hanya menggantinya dengan cara yang berbeda untuk berdakwah."
Sejak malam itu, kehidupan Mar'en mulai menemukan arah baru. Ia mulai mengajar Rizki dengan bantuan Pak Ustad Ramli, belajar bahasa isyarat, dan menggunakan papan tulis kecil untuk berkomunikasi. Perlahan tapi pasti, berita tentang "guru mengaji yang mengajar dengan hati" mulai tersebar di komunitas. Semakin banyak anak-anak yang datang untuk belajar, termasuk beberapa anak berkebutuhan khusus yang sebelumnya kesulitan mendapat guru mengaji.
Kehadiran mereka membawa warna baru dalam hidup Mar'en. Ia menemukan bahwa meski suaranya telah hilang, ia masih bisa menyentuh hati orang lain melalui tulisan dan gestur. Bahkan, keterbatasannya justru membuatnya lebih peka terhadap kebutuhan murid-muridnya yang istimewa.
Suatu hari, setelah sesi mengaji, Rizki dan teman-temannya memberikan kejutan yang tak terlupakan. Mereka telah berlatih mengumandangkan adzan, meniru gaya Mar'en yang mereka ingat dari rekaman-rekaman lama. "Ini hadiah untuk Kak Mar'en," kata Rizki dengan mata berbinar. "Kami akan meneruskan suara Kakak di masjid ini."
Air mata Mar'en mengalir deras mendengar adzan yang dikumandangkan murid-muridnya. Dalam diamnya, ia bersyukur kepada Allah yang telah membukakan mata hatinya. Ia menyadari bahwa kehilangan suaranya bukanlah akhir dari segalanya, melainkan awal dari sebuah perjalanan baru yang lebih bermakna. Allah telah memberinya cara yang berbeda untuk melayani umat, cara yang bahkan lebih dalam dampaknya dari sekadar menjadi seorang muadzin.
Melalui murid-muridnya, suara adzan yang ia rindukan akan terus berkumandang, membawa pesan tentang kekuatan hati yang melampaui keterbatasan fisik. Mar'en akhirnya memahami bahwa panggilan sejatinya tidak pernah hilang -- ia hanya berubah bentuk, dari suara yang memenuhi langit menjadi cahaya yang menerangi hati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H