Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Panggilan yang Terlupakan

8 Januari 2025   00:01 Diperbarui: 7 Januari 2025   20:14 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: solusipeduli.org

"Saya jambret dompet itu dan lari sekencang-kencangnya. Tapi yang terjadi selanjutnya..." Suaranya tercekat. "Bapak itu berteriak, bukan marah, tapi memanggil saya 'Nak'. Dia bilang, 'Nak, kalau memang butuh uang, ambillah. Tapi izinkan Bapak mendoakan kamu ya.' Saya berhenti berlari. Untuk pertama kalinya dalam hidup, ada yang memanggil saya 'Nak', bukan 'pencuri' atau 'anak jalanan'."

Air mata kini mengalir di pipi Rizki yang kotor. "Bapak itu mendekat, tersenyum seperti malaikat. Dia peluk saya, Bang. Peluk saya yang bau dan kotor ini. Katanya, 'Allah masih sayang sama kamu, Nak. Bapak dapat ketenangan dari sholat, dan kamu juga bisa dapat itu. Pintu masjid selalu terbuka untuk siapa saja.' Sejak itu..." Rizki tak mampu melanjutkan kata-katanya.

Mar'en merasakan dadanya sesak oleh emosi yang membuncah. Air mata hangat mengalir tanpa permisi di pipinya. Tangannya yang gemetar menulis di notes dengan tergesa-gesa: "Allah memang Maha Pengasih. Dulu saya juga sepertimu. Tersesat, hilang arah. Tapi Islam menyelamatkan saya." Ia berhenti sejenak, menghapus air matanya, lalu menulis lagi dengan lebih mantap: "Mau ikut saya? Ada seseorang yang bisa membantumu menemukan jalan pulang ke rumah Allah."

Di bawah temaram lampu jalan, dua anak manusia yang terluka itu bertemu pandang. Dalam keheningan malam, mereka merasakan hangatnya kasih Allah yang tak pernah memandang siapa yang datang bertobat kepada-Nya.

Rizki awalnya ragu, tetapi melihat ketulusan di mata Mar'en, ia akhirnya mengangguk. Mereka berjalan bersama menuju rumah Pak Ustad Ramli yang tak jauh dari situ. Sepanjang jalan, Mar'en mulai menyadari bahwa mungkin inilah jawaban Allah atas kebimbangannya selama ini.

Meski hari sudah larut, Pak Ustad Ramli menyambut mereka dengan kehangatan yang familiar. Mar'en menjelaskan situasinya melalui tulisan, sementara Rizki duduk dengan canggung di sudut ruang tamu yang sederhana namun nyaman.

"Alhamdulillah," kata Pak Ustad setelah membaca penjelasan Mar'en. "Allah selalu memiliki cara yang tak terduga untuk mempertemukan hamba-hamba-Nya." Ia kemudian berpaling pada Rizki dengan senyum kebapakan. "Nak, kau tahu? Mar'en ini dulu adalah muadzin terbaik di masjid kami. Sekarang, meski tidak bisa bersuara, hatinya masih dipenuhi cahaya untuk membimbing orang lain."

Pak Ustad menatap Mar'en dengan mata berkaca-kaca. "Akhirnya kau menemukan jalanmu kembali, anakku. Kau tahu, sejak kepergianmu, banyak anak-anak yang merindukan cara mengajarmu yang penuh kesabaran. Allah tidak mengambil suaramu, Ia hanya menggantinya dengan cara yang berbeda untuk berdakwah."

Sejak malam itu, kehidupan Mar'en mulai menemukan arah baru. Ia mulai mengajar Rizki dengan bantuan Pak Ustad Ramli, belajar bahasa isyarat, dan menggunakan papan tulis kecil untuk berkomunikasi. Perlahan tapi pasti, berita tentang "guru mengaji yang mengajar dengan hati" mulai tersebar di komunitas. Semakin banyak anak-anak yang datang untuk belajar, termasuk beberapa anak berkebutuhan khusus yang sebelumnya kesulitan mendapat guru mengaji.

Kehadiran mereka membawa warna baru dalam hidup Mar'en. Ia menemukan bahwa meski suaranya telah hilang, ia masih bisa menyentuh hati orang lain melalui tulisan dan gestur. Bahkan, keterbatasannya justru membuatnya lebih peka terhadap kebutuhan murid-muridnya yang istimewa.

Suatu hari, setelah sesi mengaji, Rizki dan teman-temannya memberikan kejutan yang tak terlupakan. Mereka telah berlatih mengumandangkan adzan, meniru gaya Mar'en yang mereka ingat dari rekaman-rekaman lama. "Ini hadiah untuk Kak Mar'en," kata Rizki dengan mata berbinar. "Kami akan meneruskan suara Kakak di masjid ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun