Langit Jakarta menggelap lebih cepat sore itu. Awan-awan kelabu bergulung-gulung menyelimuti cakrawala, seolah menjadi pertanda akan datangnya badai yang tak terelakkan. Di ruang briefing Bandara Soekarno-Hatta, Kapten Firdaus menatap layar radar cuaca dengan dahi berkerut. Tangannya yang kokoh menggenggam erat surat peringatan dari maskapai yang baru diterimanya pagi tadi.
"Kapten, lima belas menit lagi boarding dimulai," suara co-pilot muda di sampingnya memecah keheningan.
Firdaus mengangguk pelan, jemarinya yang sedikit gemetar melipat surat itu dengan hati-hati. Kertas putih dengan kop surat resmi maskapai itu terasa begitu berat di tangannya. Ia memasukkan surat tersebut ke dalam saku seragam pilotnya yang biru tua, tepat di atas jantungnya yang berdebar tak karuan. Lima belas tahun mengudara telah mengukir berbagai kenangan di langit -- dari menerbangkan pesawat kecil untuk pelatihan hingga mengendalikan Boeing dan Airbus lintas benua. Namun kali ini, beban yang ia rasakan jauh lebih berat dari turbulensi terburuk yang pernah ia hadapi.
Matanya menerawang ke luar jendela ruang briefing, menatap pesawat-pesawat yang berjejer rapi di apron. Ia masih ingat jelas bagaimana dulu, setiap kali melihat pemandangan ini, hatinya akan berdesir penuh semangat. Kini, pemandangan yang sama membuatnya tercekik oleh kecemasan. Bukan karena awan gelap yang menggulung di kejauhan -- cuaca buruk sudah menjadi sahabat setiap pilot. Yang membuat dadanya sesak adalah kenyataan pahit yang tertulis dalam surat itu: maskapai berencana melakukan pengurangan jumlah pilot secara besar-besaran.
"Restrukturisasi organisasi untuk efisiensi operasional," begitu bunyi surat itu, menggunakan bahasa korporat yang dingin untuk menggambarkan nasib puluhan keluarga yang terancam kehilangan mata pencaharian. Firdaus mengusap wajahnya yang lelah, membayangkan wajah Zahra, istrinya, yang selalu setia mendukung karirnya sejak masih menjadi co-pilot. Bagaimana ia harus menjelaskan pada ketiga anaknya -- Aisyah yang baru masuk SMA, Ahmad yang akan ujian SMP, dan si kecil Fatima yang masih SD -- bahwa ayah mereka mungkin akan kehilangan pekerjaan?
Cicilan rumah masih tersisa tujuh tahun. Tabungan untuk pendidikan anak-anak baru terkumpul separuh jalan. Di usianya yang sudah menginjak 45 tahun, mencari pekerjaan baru sebagai pilot terasa seperti mimpi di siang bolong. Maskapai-maskapai lain juga sedang melakukan hal yang sama: memangkas biaya operasional dengan mengurangi karyawan. Dunia penerbangan sedang tidak bersahabat.
"Bismillahirrahmanirrahim," bisiknya lirih, mengusap wajahnya yang mulai menua. Di usianya yang menginjak 45 tahun, mencari pekerjaan baru bukanlah hal mudah. Apalagi dengan tiga anak yang masih sekolah dan cicilan rumah yang belum lunas.
Langkahnya mantap memasuki kokpit Boeing 737-800 yang akan membawanya ke Balikpapan. Ritual pre-flight check dilakukan dengan teliti seperti biasa. Namun kali ini, setiap doa yang dipanjatkannya terasa lebih dalam, lebih mendesak.
"Tower, Garuda 504 ready for push back," suaranya tenang melalui radio, menyembunyikan badai yang berkecamuk dalam hatinya.
Pesawat mulai bergerak perlahan meninggalkan gate, roda-rodanya berputar halus di atas permukaan taxiway yang basah oleh gerimis. Firdaus merasakan getaran familiar saat kedua mesin CFM56 mulai menderu, mengirimkan gelombang resonansi yang merambat ke seluruh rangka pesawat. Getaran yang sudah menjadi bagian dari hidupnya selama belasan tahun.