Senja mulai turun di kota kecil itu. Dari jendela kamar losmenku di lantai tiga, aku bisa melihat bagaimana cahaya keemasan membungkus kota dalam gradasi yang menakjubkan. Menara-menara masjid menjulang di antara rumah-rumah, seolah menjadi penanda bahwa di bawah sana, kehidupan mengalir dalam irama yang berbeda dari hiruk-pikuk Jakarta yang kutinggalkan.
Namaku Aria, mahasiswa semester tujuh yang memutuskan untuk menghabiskan liburan semester dengan cara yang tidak biasa. Alih-alih pulang ke rumah atau berlibur ke tempat-tempat populer, aku memilih menyepi di losmen sederhana ini. Bukan karena aku sedang patah hati atau mencari pencerahan spiritual—setidaknya, begitu yang kukira awalnya.
Dari ketinggian ini, kota membentang seperti diorama kehidupan yang bergerak. Di sisi kiri, Perumahan Green Valley Heights menjulang dengan gaya mediterania-nya yang seragam. Lexus putih dan BMW hitam berjejer di garasi-garasi dengan pintu otomatis. Taman-taman mininya terawat sempurna dengan rumput jepang dan pond ikan koi. Setiap pukul empat sore, sprinkler otomatis menyemprot rerumputan, sementara pembantu-pembantu rumah tangga menyapu dedaunan yang jatuh di halaman.
Di sisi kanan, kampung merayap naik kontur bukit dengan gang-gang sempit berkelok. Rumah-rumah berdinding setengah bata setengah papan saling menempel seperti sarang lebah. Jemuran warna-warni melintang di atas gang, berkibar diterpa angin sore. Anak-anak berseluncur dengan kardus bekas di tanah yang miring, sementara ibu-ibu mengobrol di depan warung sederhana yang terkenal dengan gorengan hangatnya. Aroma tempe mendoan dan bakwan jagung mengambang di udara, bercampur dengan asap tipis dari tungku arang di sudut-sudut gang.
Kedua dunia ini dibelah oleh jalan raya yang baru diperlebar tahun lalu. Trotoarnya yang lebar di sisi perumahan elite nyaris kosong, sementara di sisi kampung dipenuhi pedagang kaki lima—dari penjual cilok hingga tukang tambal ban. Seolah jalan raya ini bukan sekadar pemisah wilayah, tapi juga pembatas dua realitas yang berjalan beriringan tanpa pernah benar-benar bertemu.
Suara azan Maghrib mulai berkumandang, pertama dari masjid besar di kompleks perumahan, kemudian bersahut-sahutan dengan mushola-mushola kecil di perkampungan. Ada sesuatu yang membuatku tertegun. Di bawah sana, di sebuah mushola yang atapnya sudah agak melengkung, aku melihat seorang pemuda menggiring anak-anak masuk dengan sabar.
"Itu Ustad Harun ," suara Bu Siti, pemilik losmen, mengejutkanku. Ia meletakkan secangkir teh hangat di meja dekat jendela. "Mahasiswa S2 yang mengajar mengaji gratis. Setiap hari naik turun bukit mengantarkan makanan untuk biaya kuliahnya."
Aku mengangguk pelan, mataku masih mengikuti sosok yang kini sedang membagikan Al-Quran pada anak-anak. Ada yang berbeda dari cara ia berinteraksi dengan murid-muridnya. Setiap anak disambut dengan senyuman yang sama hangatnya, tak peduli mereka datang dengan sendal jepit atau sepatu mahal.
Hari-hari berikutnya, aku menemukan diriku semakin tertarik mengamati kehidupan di sekitar mushola itu. Setiap sore, Ustad Harun tiba dengan motor bututnya yang berderum keras. Jaket kurir masih melekat di tubuhnya ketika ia mulai menyiapkan mushola. Anak-anak berdatangan—ada yang masih berseragam sekolah, ada yang sudah berganti baju rumah, bahkan ada yang masih dengan seragam SD yang sudah lusuh.
Pukul empat sore, deru halus Mercedes GLS hitam mengusik ketenangan di depan mushola. Roda-roda besarnya berhenti di atas genangan air hujan, mencipratkan sedikit lumpur ke tembok mushola yang sudah mengelupas catnya. Raziq, bocah 12 tahun dengan kaus Polo Ralph Lauren dan sepatu Nike Air Jordan turun dengan wajah tertekuk. Ransel Supreme-nya ia seret di tanah, seolah memprotes. Di belakangnya, sang ibu anggun dalam balutan gamis Zara cream dan hijab Hermès turun dengan lebih hati-hati, berusaha menghindari genangan dengan wedges-nya yang mahal.