"SLAMET! KELUAR KAU!"
Suara Pak Karyo memanggil dengan penuh kepanikan, namun teriakan itu terdengar semakin jauh, semakin sayup-sayup, seiring api yang semakin beringas. Di dalam rumah yang kini menjadi lautan api, Slamet telah berhasil mencapai meja kerjanya. Dengan tangan yang gemetar karena rasa takut dan kelelahan, ia meraih amplop cokelat itu—amplop yang menjadi harapan terakhirnya, yang menandakan perjuangannya untuk Dani dan keluarganya.
Namun, saat ia berbalik, jalan keluar sudah tertutup. Api menjilat dinding dengan cepat, menari di udara seperti makhluk ganas yang haus darah. Hati Slamet tercekat, dan dalam keputusasaannya, ia memejamkan mata, meremas amplop itu erat di dadanya, seolah ia bisa merasakan setiap tetes keringat yang telah terkumpul di dalamnya.
"Ya Allah... ampuni hamba..." bisiknya lirih, suara terhimpit oleh deru api yang menderu, oleh derap langkah-langkah tak pasti yang hampir menyeretnya ke dalam jurang kehancuran.Â
Tiba-tiba, sebuah tangan menariknya dengan kekuatan yang tak terduga, hampir membuatnya terjatuh. Pak Karyo, wajahnya hitam oleh jelaga dan tubuhnya penuh debu, muncul di hadapannya dengan tatapan penuh tekad. Tanpa kata-kata lagi, Pak Karyo memapahnya keluar dari kobaran api yang kian membesar, menyelamatkannya dengan tenaga yang seakan tak terbatas, meski dia sendiri hampir tak mampu bernapas.
Begitu mereka sampai di halaman, Tati—istrinya—terjatuh melihat kondisi suaminya. Ia menjerit keras, suara serak yang penuh ketakutan, "Met! Ya Allah, Met!" Tati langsung memeluk Slamet, air matanya tumpah seperti hujan yang tak henti-henti.Â
Slamet terbatuk, tubuhnya terasa hangus, namun ia masih sempat tersenyum, meski senyum itu begitu lemah dan penuh kepedihan. "Amplopnya... selamat, Bu," katanya dengan suara parau, menunjukkan amplop cokelat yang kini telah gosong di salah satu ujungnya, seperti sisa-sisa harapan yang terpanggang api.
Tati menatap amplop itu dengan wajah penuh kebingungan dan tangis. "Bodoh!" Tangisnya semakin keras. "Aku tidak butuh uang itu! Aku butuh kamu! Dani butuh ayahnya!" Jeritan hatinya tercampur dengan tangisan yang seakan tak berujung.
Slamet terdiam. Setiap kata Tati menampar hatinya. Di sekeliling mereka, tetangga-tetangga berkumpul, sebagian ada yang berbisik, sebagian ada yang mengusap air mata. Mobil pemadam kebakaran akhirnya tiba, dan semprotan air mulai meredakan kobaran api di rumah mereka yang kini hanya menyisakan kerangka hancur. Bu Ratna, tetangga mereka yang selalu penuh perhatian, mendekat dan merangkul Tati yang masih terisak, berusaha menenangkan.
"Met," suara Bu Ratna lembut, seakan mencoba menembus ketegangan yang menggantung. "Tawaran kerja di Bandung masih berlaku. Kami semua mendukungmu."Â
Slamet memandang rumahnya yang kini terbakar habis, rumah yang selama ini ia perjuangkan dengan seluruh jiwa raganya. Rumah yang ia bangun dengan darah, keringat, dan air mata. Rumah yang membuatnya rela bekerja tanpa henti, tanpa peduli betapa tubuhnya sudah hampir remuk. Rumah yang sekarang tinggal kenangan.Â