Ingatannya kembali melayang pada hari itu, ketika ia menerima uang itu. Dani, dengan napasnya yang sesak, berkata dengan wajah pucat, “Slamet, aku nggak bisa bertahan lama... Tolong bayar biaya rumah sakit. Aku… aku cuma minta satu kesempatan lagi.”
Slamet mengangguk, berjanji akan mengusahakan apa pun. Dan kini, amplop yang ada di tangan Slamet adalah satu-satunya cara untuk memenuhi janji itu, untuk memberi Dani harapan hidup yang sudah hampir terkikis.
Api semakin melahap rumah itu, menghisap segala yang ada tanpa ampun. Di tengah deru kebakaran yang semakin dahsyat, Slamet mencapai pintu kamar kerja. Ia membuka laci dengan tangan gemetar, hampir putus asa. Namun, saat ia meraih amplop cokelat yang telah menjadi simbol harapan itu, sebuah ledakan keras mengguncang dinding rumah.
Slamet terhuyung, hampir terjatuh. Asap semakin pekat, dan api sudah semakin dekat, siap menghanguskan segalanya. Tapi, dengan napas yang sesak dan tubuh yang hampir runtuh, ia memegang erat amplop itu. Ia tahu, ini adalah pertempuran terakhirnya. Jika ia keluar hidup-hidup, ia akan membawa secercah harapan. Jika tidak, setidaknya ia telah melakukan yang terbaik untuk sahabatnya.
"Dan… ini untukmu," bisiknya dengan suara lemah, namun tekadnya masih menyala dalam dada yang penuh rasa sakit.
Dengan segenap tenaga yang tersisa, Slamet berlari, menembus api dan asap, berjuang melawan waktu yang terus berjalan. Ia tahu, meski apinya mulai merenggut tubuhnya, harapan itu takkan pernah padam.
Tiga bulan sebelumnya...
"Met, aku ke rumah sakit. Dani demam tinggi."
Surat pendek itu, yang datang seperti sebuah petir di siang hari, mengubah arah hidup mereka dalam sekejap. Hanya beberapa kata, namun bagi Slamet, itu seperti dunia yang runtuh di depan matanya. Tati, istrinya, tidak pernah menulis surat seperti itu sebelumnya. Rasanya, semuanya tiba-tiba terhenti.
Di rumah sakit, dokter berkata dengan nada serius, "Dani kena DBD. Harus dirawat inap segera." Kalimat itu menusuk dada Slamet seperti pisau yang tajam. Lima juta rupiah—itu yang diminta sebagai uang muka rawat inap. Lima juta yang mereka tidak punya.
Bu Ratna, tetangga mereka yang selalu baik hati, datang menawarkan bantuan. "Saya bisa pinjamkan satu juta," katanya dengan lembut, mata penuh empati. "Tapi bagaimana dengan sisanya?"