Slamet hanya bisa menundukkan kepala. Tawarannya sangat membantu, tetapi masih ada empat juta yang harus mereka cari. Di tengah kebingungan dan keputusasaan, Bu Ratna mengeluarkan kalimat yang membuat Slamet terkejut.
"Ada tawaran kerja di Bandung," ujar Bu Ratna pelan, namun tegas. "Suami saya membutuhkan sopir pribadi. Lima juta per bulan. Tapi syaratnya… Anda harus pindah ke Bandung."
Tawaran itu menggoda. Lima juta sebulan—jumlah yang sangat besar. Namun, itu berarti meninggalkan segala yang telah mereka perjuangkan selama bertahun-tahun: rumah yang sudah setengah lunas, kehidupan yang perlahan mulai stabil, dan semua yang mereka kenal di Parakan Muncang.Â
"Tidak, Bu," jawab Slamet tegas, meski hatinya ragu. "Saya akan cari jalan lain."
Dan, seperti itulah Slamet memutuskan. Tidak ada yang bisa memaksa dia meninggalkan rumah ini. Tidak ada yang bisa membuatnya meninggalkan tanah yang telah ia capai dengan penuh perjuangan. Tidak peduli betapa sulitnya, ia akan berjuang dengan cara yang lain.
Slamet mulai bekerja lebih keras dari sebelumnya. Setelah shift malamnya sebagai tukang parkir di mal, ia melanjutkan bekerja sebagai kuli bangunan di proyek perumahan baru. Pagi hingga sore ia bekerja di kantor, sore hingga malam di mal, dan dini hari hingga subuh di proyek bangunan. Tubuhnya mulai lelah, bahkan mulai terasa seperti ia bukan lagi manusia. Namun tekadnya untuk mengumpulkan lima juta itu tak pernah surut. Setiap tetes keringat yang jatuh di tanah, setiap sendi tubuh yang terasa patah, hanya menambah semangatnya untuk satu tujuan: Dani harus sembuh. Mereka harus bisa melunasi biaya rumah sakit tanpa harus kehilangan segalanya.
"Met, jangan memaksakan diri," Tati sering kali memohon, matanya penuh kecemasan melihat lingkaran hitam di bawah mata Slamet yang semakin dalam. "Aku khawatir kamu jatuh sakit."
Tapi Slamet tak peduli. Hanya ada satu hal yang ada di pikirannya: Dani harus sembuh. Semuanya untuk Dani. Rumah ini, hidup mereka, dan semua yang mereka miliki, semuanya ada di ujung tanduk. Dan Slamet tahu, ia harus berkorban lebih. Ia harus bekerja lebih keras. Tidak ada pilihan lain.
Hari demi hari, tubuh Slamet semakin lelah, namun ia terus berjalan. Bahkan ketika pandangannya mulai kabur karena kelelahan, ia tetap berusaha. Ia tahu, dalam perjuangan ini, satu-satunya yang tidak boleh menyerah adalah dirinya. Jika ia menyerah, siapa yang akan melawan demi Dani? Siapa yang akan mengumpulkan uang itu? Â
Slamet merasa seperti sedang berjalan di jalan setapak yang penuh rintangan, tanpa ujung yang jelas. Tapi ia tidak akan berhenti. Ia tidak bisa berhenti.
Kembali ke malam kebakaran...