Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mekar di Musim Hujan

30 Desember 2024   05:26 Diperbarui: 30 Desember 2024   05:26 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Meta AI

Suara pecahan vas bunga memecah keheningan malam di toko antik Jalan Babakan Radio. Pak Jufri tersentak bangun dari kursi rotannya. Di tengah remang cahaya yang menyelinap dari jendela, sepasang mata kuning berpendar tajam menatapnya. Si Oyen, kucing berbulu  oranye dengan corak abu-abu itu, berdiri tegang di atas meja pajangan. Ekornya lurus mengarah ke sudut gelap toko, tempat bayangan hitam baru saja melintas.

"Maling!" teriak Pak Jufri refleks. Namun sebelum ia sempat bergerak, Si Oyen melesat dengan kecepatan tak terduga. Terdengar suara gedebuk keras, disusul rintihan tertahan dan derap langkah tergesa menjauh. Ketika Pak Jufri menyalakan lampu, ia menemukan jendela belakang terbuka lebar dan tas hitam berisi beberapa barang antik tergeletak di lantai.

Pak Jufri menghela napas panjang, memandang Si Oyen yang kini telah kembali ke posisi semula di atas meja. Mata kuning itu, seperti biasa, terjaga dan waspada. Tiga bulan telah berlalu sejak kucing misterius ini muncul di depan tokonya, dan selama itu pula mata itu tak pernah terpejam barang sedetik.

"Kamu mengingatkan aku pada Minah," bisik Pak Jufri, tangannya gemetar mengusap foto usang yang terpajang di dinding. Dalam foto itu, seorang wanita paruh baya tersenyum hangat, dikelilingi taman mawar yang mekar sempurna. "Dia juga selalu waspada, selalu menjaga..."

Insiden malam itu membuat Pak Jufri tak bisa tidur kembali. Ia memutuskan untuk memulai harinya lebih awal. Kabut tipis masih menyelimuti ketika ia membuka jendela kamarnya yang berderit. Jam dinding kuno di ruang tengah berdenting lima kali, menandakan fajar belum sepenuhnya tiba di kawasan Gunung Batu . Hujan semalam menyisakan genangan-genangan kecil di halaman, memantulkan langit kelabu yang masih menyimpan awan mendung.

Pak Jufri tersenyum mengingat bagaimana semua ini bermula. Tiga bulan lalu, ia hanyalah seorang duda berusia 60 tahun yang tenggelam dalam kesedihan, hidup sebatang kara di rumah tua dengan taman yang terbengkalai dan toko yang tutup permanen. Tidak ada yang menyangka seekor kucing dengan mata yang tak pernah lelap akan mengubah segalanya.

***

Di sudut teras, seperti biasa, Si Oyen duduk dengan anggun. Kucing berbulu Oyen dengan corak abu-abu itu memiliki mata kuning yang berkilau bagaikan dua keping koin emas. Matanya tak pernah berkedip, seolah takut melewatkan setiap detail kehidupan yang berlangsung di sekitarnya. Sudah tiga bulan berlalu sejak kucing misterius itu pertama kali muncul di depan rumahnya, dan selama itu pula Pak Jufri tak pernah melihatnya tertidur.

"Masih setia menjaga rumah, Oyen?" sapa Pak Jufri , suaranya serak khas orang yang baru bangun tidur. Kucing itu menoleh, matanya yang tajam seakan menembus jiwa Pak Jufri , mengingatkannya pada tatapan Minah yang selalu penuh pengertian.

Dapur sederhana itu masih sama seperti lima tahun lalu. Pak Jufri sengaja tak mengubah apapun sejak kepergian istrinya. Kompor gas dua tungku yang emailnya sudah mengelupas, rak piring kayu yang sedikit miring, bahkan cerek air yang sudah kehilangan pegangannya – semua dibiarkan seperti saat terakhir Minah menggunakannya. Setiap sudut dapur menyimpan kenangan, seperti aroma kopi tubruk yang selalu Minah buatkan setiap pagi.

Dengan gerakan yang sudah menjadi rutinitas, Pak Jufri menyalakan kompor, memasak nasi dalam panci aluminium yang sudah menghitam. Sementara menunggu nasi matang, ia menggoreng ikan asin – menu sederhana yang menjadi favoritnya dan kini juga disukai Si Oyen. Aroma masakan mengundang Si Oyen masuk, langkah-langkah kecilnya tak bersuara di atas lantai keramik yang sudah retak di sana-sini.

"Kamu tahu, Minah dulu selalu memasak lebih untuk kucing-kucing kampung," Pak Jufri bercerita sambil mengaduk nasi. Si Oyen duduk di dekat kakinya, ekornya bergerak perlahan. "Dia punya hati yang lembut, Minah itu. Tak pernah tega melihat makhluk hidup kelaparan."

Selesai sarapan, Pak Jufri membawa secangkir kopi ke taman belakang, kebiasaan yang dulu selalu ia lakukan bersama Minah. Rumput liar setinggi lutut menguasai sebagian besar taman. Bunga-bunga yang dulu dirawat Minah dengan penuh kasih – mawar merah, melati, dan kenanga – kini layu dan hampir mati, terkalahkan oleh gulma yang tumbuh liar.

Si Oyen mengikuti langkahnya, matanya yang tak pernah lelah seolah mengajak Pak Jufri melihat sesuatu. Kucing itu berhenti di depan sebuah kardus usang yang tersembunyi di balik semak-semak. Dengan rasa penasaran, Pak Jufri membuka kardus itu dan menemukan album foto yang sudah lama ia simpan.

Debu beterbangan ketika Pak Jufri membuka halaman pertama album itu. Tangannya gemetar melihat foto pernikahan mereka dua puluh lima tahun lalu. Minah tampak cantik dalam kebaya putih, tersenyum bahagia di tengah taman yang saat itu masih terawat dengan indah. Mawar-mawar merah bermekaran di belakang mereka, dan tiga ekor kucing – putih, hitam, dan belang – duduk manis di dekat kaki Minah.

"Miau," Si Oyen mengusap kaki Pak Jufri , matanya yang kuning seolah berbicara. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, air mata Pak Jufri mengalir bebas.

"Kamu benar," bisiknya pada Si Oyen. "Minah tidak akan senang melihat tamannya seperti ini."

Keesokan paginya, Pak Jufri bangun dengan semangat yang sudah lama hilang. Ia mengambil sepeda onthel tuanya dan mengayuh ke kebun bibit bunga. Si Oyen, dengan cara yang misterius, sudah menunggu di depan rumah ketika ia kembali membawa berbagai bibit bunga dan peralatan berkebun.

Hari-hari berikutnya diisi dengan kegiatan membersihkan taman. Si Oyen setia menemani, bahkan membantu dengan caranya sendiri – mengusir burung-burung yang mencoba memakan bibit, atau duduk di samping Pak Jufri saat ia menanam bunga-bunga baru. Sesekali, mata kuningnya yang tak pernah terpejam seolah memberikan petunjuk di mana sebaiknya menanam bunga tertentu.

Minggu demi minggu berlalu, taman itu perlahan kembali hidup. Mawar merah bermekaran seperti dulu, melati menyebarkan wangi yang mengingatkan pada parfum kesukaan Minah. Kenanga tumbuh tinggi di sudut taman, daunnya menari ditiup angin sore yang sejuk. Pak Jufri menemukan kedamaian dalam setiap tanaman yang tumbuh, seolah setiap kuncup yang mekar membawa kembali sepotong kenangan indah tentang Minah.

"Minah pasti tersenyum di surga melihat ini," gumam Pak Jufri suatu sore, duduk di bangku taman yang baru ia cat ulang. Si Oyen berbaring di sampingnya, matanya yang selalu terjaga memantulkan cahaya senja.

Keindahan taman yang kembali pulih menginspirasi Pak Jufri untuk membuka kembali toko tua di depan rumah. Dulu, toko itu adalah tempat Minah menjual barang-barang antik koleksi mereka – vas Tiongkok, lampu gantung kristal, jam-jam kuno, dan berbagai pernak-pernik bersejarah. Kini, Pak Jufri menambahkan tanaman hias ke dalam koleksi toko, menciptakan perpaduan unik antara masa lalu dan kehidupan baru.

Si Oyen menjadi daya tarik tersendiri bagi toko itu. Pengunjung terpesona dengan cerita tentang kucing yang tak pernah tidur, yang selalu mengawasi toko dengan mata kuningnya yang misterius. Beberapa pelanggan percaya Si Oyen membawa keberuntungan, yang lain menganggapnya sebagai penjaga spiritual toko. Tapi bagi Pak Jufri , Si Oyen adalah pengingat bahwa hidup harus terus berjalan, bahwa kesedihan tidak boleh mengalahkan harapan.

Suatu malam, ketika hujan kembali membasahi Gunung Batu , Pak Jufri duduk di teras dengan secangkir teh jahe. Si Oyen, seperti biasa, duduk di sampingnya. Lampu toko yang temaram menciptakan bayangan-bayangan yang menari di dinding, sementara aroma melati dari taman bercampur dengan wangi tanah basah.

"Terima kasih," bisik Pak Jufri pada Si Oyen, tangannya mengusap lembut kepala kucing itu. "Kamu mengingatkan aku bahwa cinta tidak pernah mati. Ia hanya berubah bentuk, seperti bunga yang layu namun meninggalkan benih untuk kehidupan baru."

Si Oyen mengeong pelan, matanya yang tak pernah lelah menatap ke arah foto Minah yang kini dipajang dengan bangga di dinding toko. Dalam foto itu, Minah tersenyum di tengah taman mawar, seolah memberi restu pada perubahan yang terjadi.

Di yang sunyi, toko tua itu kini menjadi tempat orang-orang mencari tidak hanya tanaman dan barang antik, tapi juga kisah tentang cinta yang bertahan melampaui waktu. Setiap pengunjung yang datang akan disambut oleh Si Oyen, kucing dengan mata yang tak pernah tidur – simbol dari harapan yang tak pernah padam dan cinta yang tak pernah mati.

Pak Jufri akhirnya memahami bahwa kesedihan dan kebahagiaan bisa hadir bersama dalam kenangan, seperti hujan dan pelangi yang saling melengkapi di langit Gunung Batu . Dan Si Oyen, dengan matanya yang selalu terjaga, terus menjadi saksi bisu perjalanan seorang pria tua menemukan kembali makna hidup di antara bunga-bunga yang bermekaran dan kenangan yang tak pernah layu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun