Dengan gerakan yang sudah menjadi rutinitas, Pak Jufri menyalakan kompor, memasak nasi dalam panci aluminium yang sudah menghitam. Sementara menunggu nasi matang, ia menggoreng ikan asin – menu sederhana yang menjadi favoritnya dan kini juga disukai Si Oyen. Aroma masakan mengundang Si Oyen masuk, langkah-langkah kecilnya tak bersuara di atas lantai keramik yang sudah retak di sana-sini.
"Kamu tahu, Minah dulu selalu memasak lebih untuk kucing-kucing kampung," Pak Jufri bercerita sambil mengaduk nasi. Si Oyen duduk di dekat kakinya, ekornya bergerak perlahan. "Dia punya hati yang lembut, Minah itu. Tak pernah tega melihat makhluk hidup kelaparan."
Selesai sarapan, Pak Jufri membawa secangkir kopi ke taman belakang, kebiasaan yang dulu selalu ia lakukan bersama Minah. Rumput liar setinggi lutut menguasai sebagian besar taman. Bunga-bunga yang dulu dirawat Minah dengan penuh kasih – mawar merah, melati, dan kenanga – kini layu dan hampir mati, terkalahkan oleh gulma yang tumbuh liar.
Si Oyen mengikuti langkahnya, matanya yang tak pernah lelah seolah mengajak Pak Jufri melihat sesuatu. Kucing itu berhenti di depan sebuah kardus usang yang tersembunyi di balik semak-semak. Dengan rasa penasaran, Pak Jufri membuka kardus itu dan menemukan album foto yang sudah lama ia simpan.
Debu beterbangan ketika Pak Jufri membuka halaman pertama album itu. Tangannya gemetar melihat foto pernikahan mereka dua puluh lima tahun lalu. Minah tampak cantik dalam kebaya putih, tersenyum bahagia di tengah taman yang saat itu masih terawat dengan indah. Mawar-mawar merah bermekaran di belakang mereka, dan tiga ekor kucing – putih, hitam, dan belang – duduk manis di dekat kaki Minah.
"Miau," Si Oyen mengusap kaki Pak Jufri , matanya yang kuning seolah berbicara. Untuk pertama kalinya dalam lima tahun, air mata Pak Jufri mengalir bebas.
"Kamu benar," bisiknya pada Si Oyen. "Minah tidak akan senang melihat tamannya seperti ini."
Keesokan paginya, Pak Jufri bangun dengan semangat yang sudah lama hilang. Ia mengambil sepeda onthel tuanya dan mengayuh ke kebun bibit bunga. Si Oyen, dengan cara yang misterius, sudah menunggu di depan rumah ketika ia kembali membawa berbagai bibit bunga dan peralatan berkebun.
Hari-hari berikutnya diisi dengan kegiatan membersihkan taman. Si Oyen setia menemani, bahkan membantu dengan caranya sendiri – mengusir burung-burung yang mencoba memakan bibit, atau duduk di samping Pak Jufri saat ia menanam bunga-bunga baru. Sesekali, mata kuningnya yang tak pernah terpejam seolah memberikan petunjuk di mana sebaiknya menanam bunga tertentu.
Minggu demi minggu berlalu, taman itu perlahan kembali hidup. Mawar merah bermekaran seperti dulu, melati menyebarkan wangi yang mengingatkan pada parfum kesukaan Minah. Kenanga tumbuh tinggi di sudut taman, daunnya menari ditiup angin sore yang sejuk. Pak Jufri menemukan kedamaian dalam setiap tanaman yang tumbuh, seolah setiap kuncup yang mekar membawa kembali sepotong kenangan indah tentang Minah.
"Minah pasti tersenyum di surga melihat ini," gumam Pak Jufri suatu sore, duduk di bangku taman yang baru ia cat ulang. Si Oyen berbaring di sampingnya, matanya yang selalu terjaga memantulkan cahaya senja.