Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Titian Harapan

25 Desember 2024   10:48 Diperbarui: 25 Desember 2024   10:48 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Subhan tersentak bangun dari tidurnya ketika merasakan guncangan hebat. Gempa bumi dahsyat mengguncang Bawean dini hari itu. Ia segera melompat dari tempat tidur, mencari perlindungan di bawah meja. Suara reruntuhan dan teriakan panik terdengar dari segala penjuru.

"Ayah! Ibu!" teriak Subhan panik. Ia baru teringat orangtuanya yang tidur di kamar sebelah. Dengan susah payah ia merangkak keluar dari kamarnya yang berantakan. Pemandangan yang dilihatnya sungguh mengerikan. Rumahnya telah hancur, atap dan dinding runtuh menimpa perabotan. 

Subhan menemukan ayahnya - Pak Hasan terbaring tak bergerak tertimpa reruntuhan. Ia menyingkirkan puing-puing dengan tangan kosong, berharap menemukan tanda-tanda kehidupan. Namun tubuh ayahnya sudah kaku dan dingin. Tangis Subhan pecah, ia memeluk jasad ayahnya erat.

Suara rintihan lirih terdengar dari sisi lain ruangan. Subhan bergegas menghampiri dan menemukan ibunya - Bu Siti terluka parah. Darah segar mengalir dari kepalanya. Dengan hati-hati Subhan mengangkat tubuh ibunya, membawanya keluar dari reruntuhan rumah.

Pemandangan di luar tak kalah mengerikan. Rumah-rumah tetangganya rata dengan tanah, orang-orang berlarian mencari pertolongan. Subhan membawa ibunya ke posko pengungsian terdekat. Ia membaringkan Bu Siti di tenda darurat, berharap tim medis segera menolongnya.

Namun takdir berkata lain. Luka Bu Siti terlalu parah, ia tak tertolong. Subhan hanya bisa menangis pilu saat melihat tubuh ibunya terbujur kaku di depannya. Dalam sehari, ia kehilangan ayah dan ibunya. Hidupnya hancur lebur bersama gempa yang mengguncang Bawean.

Subhan merasa dunianya runtuh. Kesedihan dan kehilangan menyelimutinya bagai selimut tebal. Ia merasa kesulitan bernafas, seolah dihimpit beban berton-ton. Bagaimana ia harus melanjutkan hidup setelah kehilangan orang-orang yang dicintainya? Mengapa takdir begitu kejam padanya?

Saat mengurus pemakaman orangtuanya, Subhan hanya bisa menatap kosong. Air matanya telah kering, hatinya kebas tak mampu lagi merasakan. Ia ingin menangis, ingin berteriak, namun tak ada suara yang keluar. Subhan merasa hampa, seolah sebagian jiwanya ikut terkubur bersama jasad orangtuanya.

Teman-teman dan kerabat Subhan datang melayat, mengucapkan duka cita. Namun ucapan belasungkawa itu bagai angin lalu di telinga Subhan. Ia tak mampu merespon, hanya mengangguk kecil dengan tatapan kosong. Subhan tahu mereka bermaksud baik, namun kesedihannya terlalu dalam untuk diobati kata-kata.

Malam-malam setelah pemakaman dilaluinya dengan tangisan pilu. Subhan meringkuk di sudut kamar pengungsian, terisak hingga dadanya sesak. Ia ingin memejamkan mata dan berharap semua ini hanya mimpi buruk. Namun setiap kali membuka mata, kenyataan pahit itu kembali menamparnya. Subhan merasa tak punya daya untuk bangkit, tak punya semangat untuk melanjutkan hidup.

***

Berminggu-minggu setelah gempa, Subhan masih terpuruk dalam duka. Ia menolak bertemu dengan orang-orang, mengurung diri di tenda pengungsian. Makan dan minum pun enggan, tidur tak nyenyak dihantui mimpi buruk. Subhan merasa hidupnya tak lagi berarti, seolah ia ikut mati bersama orangtuanya.

Amir, sahabatnya sejak kecil, tak tahan melihat Subhan terus menerus larut dalam kesedihan. Ia datang mengunjungi Subhan di pengungsian, membawakan makanan dan pakaian bersih. Namun Subhan hanya menatap kosong, enggan merespon kebaikan sahabatnya.

"An, aku tahu kamu sedih. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan begini. Ayah ibumu pasti ingin kamu bangkit dan lanjutkan hidup," ujar Amir lembut.

Subhan hanya terdiam, air mata kembali mengalir di pipinya yang cekung. Ia ingin percaya ucapan Amir, namun rasa kehilangan itu terlalu berat untuk dilupakan.

"Dengar, An. Hidup harus terus berlanjut. Kamu harus kuat, demi ayah ibumu di atas sana. Mereka pasti sedih melihatmu terpuruk begini," Amir kembali membujuk.

Perlahan, ucapan Amir menyentuh hati Subhan yang beku. Ia mulai menyadari bahwa orang tuanya tak ingin ia larut dalam kesedihan selamanya. Mereka pasti ingin melihatnya bangkit dan meraih mimpi-mimpinya.

Subhan pun mulai membuka diri. Ia kembali berinteraksi dengan orang-orang di pengungsian, berbagi cerita dan kesedihan. Ia menyadari bahwa tak hanya dirinya yang menderita, banyak orang lain yang juga kehilangan keluarga dan tempat tinggal. Mereka saling menguatkan, saling memberi semangat untuk bangkit.

Perlahan tapi pasti, Subhan mulai menemukan kembali semangat hidupnya. Ia mulai terlibat dalam kegiatan di pengungsian, membantu mereka yang membutuhkan. Ia juga rajin mengikuti sesi konseling yang diadakan oleh tim trauma healing, belajar menerima dan merelakan kepergian orangtuanya.

"Ayah, Ibu, maafkan Subhan yang sempat putus asa. Subhan janji akan bangkit dan raih mimpi-mimpi kita. Subhan akan buat Ayah Ibu bangga di atas sana," bisik Subhan lirih.

Keesokan harinya, Subhan membereskan barang-barangnya di tenda pengungsian. Ia telah membulatkan tekad untuk pindah ke Gresik, memulai hidup baru. Dengan bantuan Amir dan teman-teman barunya, Subhan berhasil mendapat pekerjaan dan tempat tinggal sederhana.

Meski hatinya masih kerap dihantui kesedihan, Subhan bertekad untuk terus melangkah maju. Ia tahu perjalanannya masih panjang dan berliku, namun ia yakin mampu melaluinya. Kehilangan orangtuanya memang menyakitkan, namun ia tak ingin kehilangan juga semangat hidupnya.

Di tengah kesibukan barunya, Subhan kerap menyempatkan diri mengunjungi makam orangtuanya. Ia akan duduk berjam-jam di sana, bercerita tentang perkembangan hidupnya, seolah Pak Hasan dan Bu Siti masih ada di sisinya. Meski mereka telah tiada, Subhan yakin cinta dan doa mereka akan selalu menyertai langkahnya.

"Ayah, Ibu, doakan Subhan ya. Subhan akan berusaha jadi anak yang berbakti dan membanggakan kalian. Subhan sayang Ayah dan Ibu, selalu," bisik Subhan sambil mengusap nisan orangtuanya.

Dengan hati yang perlahan mulai sembuh, Subhan melangkah menuju masa depan yang baru. Ia siap menghadapi segala tantangan dan rintangan, demi meraih mimpi dan membahagiakan orangtua yang telah lebih dulu berpulang. Subhan tahu, selama ia memiliki tekad dan semangat, tak ada kesulitan yang tak bisa ia taklukkan.

***

Di tengah usahanya membangun hidup baru, Subhan kerap merasa hampa dan kehilangan arah. Ia masih belum menemukan tujuan dan makna hidupnya setelah ditinggal orangtua. Rutinitas pekerjaan dan kesibukan sehari-hari hanya memberikan pengalihan sementara, namun tak mampu mengisi kekosongan jiwanya.

Suatu hari, saat sedang duduk di alun-alun Gresik, Subhan bertemu dengan Pak Saripi, seorang pria paruh baya yang bijaksana. Melihat Subhan yang murung, Pak Saripi menyapanya dan mengajaknya berbincang.

"Nak, sepertinya ada yang mengganggu pikiranmu. Mau berbagi cerita dengan Bapak?" tanya Pak Saripi ramah.

Awalnya Subhan ragu, namun entah mengapa ia merasa nyaman dengan kehadiran Pak Saripi. Ia pun mencurahkan segala kesedihan dan kegundahan hatinya, tentang kehilangan orangtua dan keterasingannya dalam hidup.

Pak Saripi mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk penuh pengertian. Setelah Subhan selesai bercerita, Pak Saripi tersenyum bijak.

"Nak Subhan, kehilangan memang menyakitkan. Tapi ingatlah, selama kita masih hidup, masih ada kesempatan untuk menemukan makna dan tujuan baru," ujar Pak Saripi.

"Tapi saya bingung harus mulai dari mana, Pak. Hidup saya terasa hampa dan tak berarti," keluh Subhan.

"Mulailah dengan memaknai setiap momen dalam hidupmu, sekecil apapun itu. Temukan kebahagiaanmu dalam hal-hal sederhana. Lalu, carilah cara untuk bermanfaat bagi orang lain. Dengan berbagi kebaikan, hidupmu akan terasa lebih bermakna," jelas Pak Saripi.

Ucapan Pak Saripi bagai secercah cahaya dalam kegelapan hidup Subhan. Ia mulai menyadari bahwa hidupnya masih berharga dan layak diperjuangkan. Perlahan, Subhan mulai menerapkan nasihat Pak Saripi dalam kesehariannya.

Ia mulai lebih menghargai momen-momen kecil, seperti hangatnya sinar mentari pagi atau tawa riang anak-anak di taman. Ia juga mulai aktif mengikuti kegiatan sosial di lingkungannya, membantu mereka yang kesusahan.

Subhan menemukan kepuasan dan kebahagiaan saat melihat senyum tulus orang-orang yang ditolongnya. Ia merasa hidupnya kini lebih berarti, karena mampu memberikan manfaat bagi sesama.

Pertemanannya dengan Amir dan teman-teman barunya di pengungsian juga semakin erat. Mereka kerap mengadakan perkumpulan, saling berbagi cerita dan dukungan. Subhan menyadari bahwa ia tak sendiri dalam menghadapi kesulitan hidup, masih banyak orang yang peduli dan menyayanginya.

Perlahan namun pasti, Subhan mulai menemukan kembali semangat dan tujuan hidupnya. Ia tak lagi merasa hampa, karena hatinya telah terisi oleh cinta dan kepedulian pada sesama. Subhan menyadari bahwa hidup memang penuh tantangan, namun selama ia memiliki hati yang bersyukur dan berbagi, ia akan mampu melewati semuanya.

"Ayah, Ibu, kini Subhan mengerti. Hidup itu tidak hanya tentang diri sendiri, tapi juga tentang berbagi dan bermanfaat untuk orang lain. Subhan akan terus berusaha menjadi manusia yang lebih baik, manusia yang bisa Ayah Ibu banggakan," gumam Subhan di depan foto orangtuanya.

Dengan semangat baru yang membara, Subhan melangkah lebih mantap menuju masa depan. Ia tahu perjalanannya masih panjang, tapi ia siap menghadapinya dengan hati yang penuh syukur dan cinta. Subhan yakin, selama ia terus berusaha dan berbuat kebaikan, ia akan menemukan kebahagiaannya sendiri.

***

Bertahun-tahun berlalu sejak gempa yang mengubah hidup Subhan. Kini, ia telah tumbuh menjadi pria dewasa yang matang dan bijaksana. Kesedihan dan kehilangan masa lalu telah mengajarkannya arti ketabahan dan keikhlasan.

Subhan kini aktif dalam berbagai kegiatan sosial, mendedikasikan hidupnya untuk membantu sesama yang mengalami kesulitan. Ia bahkan mendirikan yayasan yang bergerak di bidang pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, khususnya bagi anak-anak yatim dan keluarga kurang mampu.

Melalui yayasannya, Subhan berharap bisa memberikan harapan dan masa depan yang lebih baik bagi mereka yang membutuhkan. Ia ingin menjadi pelita yang menerangi jalan mereka, seperti Pak Saripi yang pernah menerangi jalannya.

Subhan juga telah menemukan pendamping hidup yang setia dan penyayang, seorang wanita bernama Aisyah. Bersama, mereka membangun keluarga kecil yang harmonis dan bahagia. Subhan bertekad untuk menjadi ayah yang penuh cinta dan pemimpin keluarga yang bijaksana, seperti Pak Hasan yang sangat dirindukannya.

Di setiap langkahnya, Subhan selalu mengingat nasihat dan kasih sayang orangtuanya. Ia yakin, Pak Hasan dan Bu Siti pasti tersenyum bangga melihatnya kini dari surga. Subhan telah berhasil menemukan makna dan tujuan hidupnya, meski harus melalui jalan yang berliku dan penuh duka.

Dengan hati yang penuh syukur, Subhan melangkah ke masa depan. Ia siap menghadapi segala tantangan dan rintangan, karena ia tahu, selama ia berpegang pada kebaikan dan cinta, ia akan mampu melewati semuanya. Subhan yakin, hidupnya adalah anugerah terindah yang harus ia syukuri dan maknai sebaik mungkin.

"Terima kasih Ayah, Ibu, atas semua cinta dan pengorbanan kalian. Subhan berjanji akan terus menjadi putra yang berbakti dan manusia yang bermanfaat. Subhan akan terus melangkah maju, demi membahagiakan kalian di surga sana," ucap Subhan dalam doanya.

Dengan senyum penuh kedamaian, Subhan melangkah ke lembaran baru kehidupannya. Ia siap menyongsong fajar yang cerah, dengan hati yang penuh harapan dan cinta. Subhan tahu, selama ia tetap berpegang pada kebaikan, masa depannya akan seindah mentari pagi yang selalu ia impikan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun