"Sama seperti suamiku dulu," Kak Dayang tiba-tiba menyahut sambil membawa nampan berisi pesanan. "Tiap ketahuan, tiap janji. Sampai saya bosan menghitung berapa kali dia mengucap janji."
Semua mata tertuju pada Kak Dayang. Meski sudah bertahun-tahun menjadi pelanggan, mereka jarang mendengar Kak Dayang bercerita tentang masa lalunya.
"Memangnya dulu suami Kak Dayang bagaimana?" tanya Bu Lisa penasaran.
Kak Dayang menarik kursi plastik dan bergabung dengan mereka. Warung sedang sepi, jadi ia bisa santai sejenak. "Dulu saya ini selingkuhannya suami orang," ucapnya santai.
"HAH?!" Empat perempuan itu berteriak bersamaan.
"Iya, saya dulu SPG kosmetik. Kenal sama dia karena dia sering beli kosmetik untuk istrinya. Lama-lama jadi dekat. Saya masih muda, lugu, termakan rayuan. Ya begitulah..." Kak Dayang tersenyum getir.
"Terus gimana ceritanya Kak Dayang bisa sadar?" tanya Bu Dewi.
"Suatu hari, istrinya datang ke counter tempat saya kerja. Tidak marah-marah, tidak membuat keributan. Dia cuma bilang, 'Mbak, kalau Mbak memang cinta sama suami saya, tolong jaga dia baik-baik ya. Saya sudah capek.'"Â
Kak Dayang menyeruput kopinya sebelum melanjutkan. "Saat itu saya seperti ditampar. Istrinya begitu tegar, begitu dewasa. Sementara saya? Apa yang bisa saya banggakan selain jadi perusak rumah tangga orang?"
"Terus Kak Dayang langsung putus sama suaminya?" tanya Mbak Nining.
"Tidak semudah itu. Tapi kejadian itu membuat saya berpikir. Saya mulai memperhatikan bagaimana dia memperlakukan saya, bagaimana dia selalu punya alasan untuk tidak meninggalkan istrinya. Sampai akhirnya saya sadar, saya hanya dijadikan pelarian."