Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Memori Pulau Leebong

13 Desember 2024   17:04 Diperbarui: 13 Desember 2024   17:32 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dimas dan Sandra duduk di tepi pantai, memandang ke arah laut yang membentang luas di hadapan mereka. Matahari senja mewarnai langit dengan gradasi oranye dan merah yang memukau. Namun, keindahan alam yang menakjubkan itu seakan tak mampu mengalihkan perhatian mereka dari masalah yang tengah mereka hadapi.

Sudah beberapa bulan ini hubungan mereka dirundung badai. Perselisihan dan kesalahpahaman seakan menjadi makanan sehari-hari. Mereka merasa lelah dan terjebak dalam pusaran emosi yang tak berkesudahan.

"Apa kita masih bisa bertahan?" tanya Sandra lirih, matanya berkaca-kaca.

Dimas terdiam sesaat, pandangannya menerawang jauh ke horizon. Ia menghela napas panjang sebelum menjawab, "Aku tidak tahu, Sandra. Rasanya semua semakin sulit."

Keheningan menyelimuti mereka, hanya deru ombak yang terdengar bersahutan. Seakan mencari pegangan, Sandra menggenggam tangan Dimas erat. Kehangatan sentuhan itu mengingatkan mereka pada momen-momen indah yang pernah mereka lalui bersama.

"Kamu ingat pertemuan pertama kita di Pulau Leebong?" tanya Sandra tiba-tiba.

Dimas menoleh, senyum samar terukir di wajahnya. "Tentu saja. Mana mungkin aku melupakannya."

***

Lima tahun yang lalu. Matahari bersinar terik di langit biru tanpa awan, seakan bersemangat menyambut kedatangan para wisatawan ke Pulau Leebong. Sinarnya yang menyilaukan menciptakan bayangan panjang di atas hamparan pasir putih yang membentang sejauh mata memandang. Pasir itu seakan berkilauan, memantulkan cahaya matahari seperti ribuan permata kecil yang bertaburan. Deburan ombak yang lembut menggulung di tepi pantai, menciptakan irama yang menenangkan jiwa. Angin sepoi-sepoi membelai wajah, membawa aroma khas laut yang menyegarkan.

Dua rombongan wisatawan, satu dari Jakarta dan satu lagi dari Bandung, tiba di dermaga kayu yang kokoh. Mereka melangkah dengan penuh semangat, siap untuk menjelajahi keindahan pulau eksotis yang luasnya mencapai 37 hektar. Tawa dan canda terdengar di antara mereka, seakan tidak sabar untuk segera menikmati pesona alam yang ditawarkan Pulau Leebong. Beberapa menggenggam kamera, siap mengabadikan setiap momen menakjubkan yang akan mereka temui. Tas-tas besar tersandang di punggung, berisi perlengkapan untuk menjelajah pulau. Dengan langkah ringan, mereka bergerak maju, siap untuk memulai petualangan tak terlupakan di Pulau Leebong.

Dimas, seorang pemuda berambut ikal dengan mata cokelat yang teduh, memutuskan untuk menyendiri sejenak dari rombongan Jakarta. Ia merasa penat dengan hiruk-pikuk kehidupan kota yang tak pernah berhenti. Keramaian, kemacetan, dan tuntutan pekerjaan seakan menguras energinya hingga ke titik terendah. Pulau Leebong, dengan segala ketenangan dan keindahannya, menjadi tempat pelarian yang sempurna bagi Dimas. Ia ingin menemukan kembali kedamaian dan keseimbangan dalam dirinya, jauh dari kebisingan dan tekanan yang selama ini menghimpitnya.

Dengan langkah gontai, seakan beban dunia berada di pundaknya, Dimas menyusuri tepi pantai yang sepi. Pasir putih yang lembut terasa menyenangkan di bawah telapak kakinya yang telanjang. Ombak yang datang dan pergi seakan menyapa, membelai kakinya dengan sentuhan yang menyejukkan. Dimas memejamkan mata, menikmati sensasi alam yang menenangkan. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan udara segar memenuhi paru-parunya. Setiap langkah yang ia ambil seakan menjauhkannya dari segala kelelahan dan kepenatan. Di tepian pantai Pulau Leebong, Dimas menemukan kedamaian yang selama ini ia rindukan.

 Sandra, seorang gadis berparas ayu dengan rambut hitam panjang yang tergerai indah, memutuskan untuk memisahkan diri dari rombongan Bandung. Ia adalah seorang penyelam handal yang selalu terpesona oleh keindahan dunia bawah laut. Baginya, berada di bawah permukaan air yang tenang adalah tempat di mana ia menemukan kedamaian sejati. Sandra merasa bersemangat untuk menjelajahi perairan dangkal yang jernih di sekitar Pulau Leebong, berharap menemukan pemandangan memukau yang tersembunyi di dalamnya.

Dengan penuh antusias, Sandra mengenakan peralatan selam yang telah ia persiapkan. Ia melangkah ke dalam air, merasakan dinginnya air laut yang menyegarkan di kulitnya. Setiap langkah membawanya semakin jauh dari daratan, menuju perairan dangkal yang jernih. Saat kepalanya menyelam di bawah permukaan, dunia baru yang menakjubkan terbentang di hadapannya. Terumbu karang yang berwarna-warni seakan menyambut kedatangannya, dihiasi oleh ikan-ikan tropis yang berenang dengan anggun. Sandra merasa seakan memasuki dimensi lain, di mana ketenangan dan keindahan tak terbatas menyelimutinya. Di bawah permukaan laut yang tenang, Sandra menemukan kedamaian yang ia cari, jauh dari hiruk-pikuk dunia di atas sana.

Takdir seakan bermain ketika Dimas, yang tengah melamun, tidak menyadari sebuah lubang di pasir. Kakinya terperosok, membuatnya jatuh tersungkur dengan wajah mencium pasir. Ia meringis kesakitan, merutuki nasib sialnya.

Di saat yang sama, Sandra muncul dari dalam air tidak jauh dari tempat Dimas terjatuh. Ia terkejut melihat seorang pemuda yang tergeletak di pasir. Tanpa pikir panjang, Sandra bergegas menghampirinya.

"Astaga, kamu baik-baik saja?" tanya Sandra, berlutut di samping Dimas.

Dimas mendongak, pandangannya bertemu dengan mata indah Sandra yang memancarkan kekhawatiran. Rasa sakit di kakinya seketika terlupakan, digantikan oleh debaran jantung yang menggila.

"A-aku... aku tidak apa-apa," jawab Dimas terbata, berusaha bangkit.

Sandra membantunya berdiri, lengannya melingkari pinggang Dimas untuk menopangnya. Sentuhan itu mengalirkan aliran listrik tak kasat mata di antara mereka.

"Sebaiknya kita obati kakimu dulu," ucap Sandra lembut, memapah Dimas menuju tempat yang lebih teduh.

Di bawah naungan pohon kelapa, Sandra dengan telaten membersihkan luka di kaki Dimas. Ia menggunakan air kelapa muda sebagai antiseptik alami. Setiap sentuhan jemarinya seakan menyembuhkan luka fisik dan mengobati jiwa yang terluka.

"Terima kasih," ucap Dimas tulus, menatap Sandra dengan sorot mata penuh kekaguman.

"Sama-sama. Aku Sandra, dari rombongan Bandung," balas Sandra, tersenyum manis.

"Aku Dimas, dari Jakarta. Tidak kusangka, pertemuan kita akan sedramatis ini," canda Dimas, mencairkan suasana.

Mereka berdua tertawa lepas, seakan beban di pundak masing-masing terangkat. Di tengah tawa mereka, tersimpan sebuah perasaan aneh yang mengikat hati.

***

"Waktu itu, aku langsung terpesona olehmu," ucap Dimas jujur.

Sandra tersenyum, rona merah menghiasi pipinya. "Aku juga merasakan ada sesuatu yang istimewa di antara kita."

Mereka kembali tenggelam dalam kenangan manis itu. Bagaimana mereka menghabiskan waktu bersama di Pulau Leebong, menjelajahi keindahan alamnya, dan berbagi cerita tentang mimpi dan harapan masing-masing. Setiap momen terasa begitu sempurna, seakan takdir telah merencanakan pertemuan mereka sejak awal.

"Kita pernah begitu bahagia," gumam Sandra. "Apa yang terjadi dengan kita sekarang?"

Dimas menggenggam tangan Sandra lebih erat. "Mungkin kita lupa bahwa kebahagiaan adalah pilihan. Kita harus memilih untuk bahagia setiap hari, terlepas dari apa pun yang terjadi."

Sandra tertegun mendengar ucapan Dimas. Ia tersadar bahwa selama ini mereka terlalu larut dalam masalah dan melupakan esensi dari kebahagiaan sejati.

"Kamu benar," ucap Sandra. "Kita harus belajar untuk bersyukur atas apa yang kita miliki dan memilih untuk bahagia, seperti saat kita pertama kali bertemu di Pulau Leebong."

Mereka saling bertatapan, seakan menemukan kembali cahaya yang sempat redup dalam hubungan mereka. Dan di sana, di tengah kesunyian dan deburan ombak, mereka berjanji untuk selalu memilih kebahagiaan dalam setiap langkah mereka.

"Aku masih mencintaimu, Dimas," bisik Sandra.

"Aku juga masih mencintaimu, Sandra," balas Dimas.

Mereka pun berpelukan erat, air mata mengalir di pipi mereka. Kenangan akan pertemuan pertama yang begitu romantis di Pulau Leebong seakan menjadi obat penyembuh bagi hati mereka yang terluka. Mereka sadar, cinta yang mereka miliki terlalu berharga untuk dilepaskan begitu saja.

 Dalam dekapan hangat itu, Dimas dan Sandra menemukan kembali kekuatan cinta yang sempat terkubur dalam tumpukan masalah. Pelukan itu seakan menjadi perekat yang menyatukan kembali hati mereka yang sempat terpecah. Mereka sadar, bahwa cinta sejati bukanlah perjalanan yang selalu mulus, melainkan sebuah petualangan yang penuh dengan lika-liku dan rintangan. Namun, dengan komitmen dan tekad yang kuat, mereka yakin mampu melewati setiap badai yang menghadang.

Dimas membelai lembut rambut Sandra, seakan ingin menyampaikan bahwa ia akan selalu ada di sisinya, dalam suka maupun duka. Sandra membenamkan wajahnya di dada Dimas, meresapi kehangatan dan rasa aman yang selalu ia dapatkan dalam pelukan kekasihnya. Mereka berjanji untuk belajar dari kesalahan masa lalu, untuk tidak lagi membiarkan ego dan keangkuhan menguasai hati mereka.

Saling memaafkan menjadi kunci utama dalam memperbaiki hubungan mereka. Mereka menyadari bahwa tak ada manusia yang sempurna, dan kesalahan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup. Dengan saling memaafkan, mereka membuka pintu hati untuk cinta yang lebih besar dan lebih kuat. Mereka akan belajar untuk lebih menghargai dan memahami satu sama lain, untuk menerima kekurangan dan merayakan kelebihan masing-masing.

Dimas dan Sandra juga bertekad untuk membangun kembali cinta yang sempat goyah. Mereka akan merawat cinta mereka dengan kesabaran, ketulusan, dan pengertian. Setiap hari akan menjadi kesempatan untuk saling menunjukkan kasih sayang, untuk mengungkapkan rasa cinta dengan perbuatan, bukan hanya dengan kata-kata. Mereka akan menciptakan kenangan-kenangan indah baru, yang akan semakin memperkuat ikatan cinta mereka.

Namun, yang terpenting dari segalanya adalah pilihan untuk bahagia setiap hari. Dimas dan Sandra menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya, melainkan sebuah pilihan yang harus mereka buat setiap hari. Mereka akan memilih untuk bersyukur atas kehadiran satu sama lain, untuk melihat keindahan dalam setiap momen yang mereka lalui bersama. Mereka akan memilih untuk tersenyum dalam menghadapi tantangan, untuk tertawa dalam melewati rintangan.

Dalam dekapan hangat itu, Dimas dan Sandra menemukan kembali makna cinta sejati. Cinta yang tidak hanya menuntut, tetapi juga memberi. Cinta yang tidak hanya mengambil, tetapi juga berbagi. Cinta yang tidak hanya membahagiakan diri sendiri, tetapi juga membahagiakan orang yang dicintai. Dan dengan cinta yang demikian, mereka yakin mampu menghadapi apa pun yang ada di hadapan mereka, selama mereka selalu memilih untuk bahagia bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun