Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Di Balik Senyuman Ibu Guru

1 Desember 2024   19:53 Diperbarui: 1 Desember 2024   20:06 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: sumsel.kemenag.go.id

Pagi itu, seperti biasa, kelas X-3 kembali bersemangat menyambut pelajaran Bahasa Indonesia. Namun, hari itu berbeda. Ada yang tidak biasa dalam suasana kelas. Ibu Dinda, guru Bahasa Indonesia yang dikenal selalu ceria dan sabar, tampak sedikit berbeda. Ekspresinya lebih tegang dari biasanya, dan suara lembutnya terasa sedikit lebih keras ketika memberi penjelasan.

"Buka buku kalian, halaman lima puluh!" perintah Ibu Dinda dengan suara yang sedikit terdengar lelah.

Beberapa siswa saling memandang, menyadari perubahan yang mencolok pada Ibu Dinda. Ada yang melirik dengan khawatir, ada pula yang mulai berbisik di belakang. Seperti biasanya, kelas dipenuhi tawa riang, namun hari itu ada yang terasa hampa. 

"Kenapa sih ibu guru kok cepet marah-marah?" bisik Siti kepada teman sebelahnya, sembari menatap Ibu Dinda dengan raut wajah bingung. Biasanya, Ibu Dinda sangat sabar menjelaskan materi, meski harus mengulanginya berkali-kali. 

"Iya, tadi juga pas nanya, jawabannya kayak orang lagi kesal gitu," balas Andi pelan, dengan ekspresi yang sama. Mereka berdua tidak mengerti mengapa suasana menjadi begitu kaku. 

Siti merasa tidak nyaman melihat sikap Ibu Dinda yang berbeda. Ada yang aneh, meski tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Ibu Dinda, yang biasanya selalu penuh energi dan humor, kini tampak cemas. Tatapan matanya kosong, tidak seperti biasanya yang selalu berbinar penuh semangat. Siti merasa ada sesuatu yang tersembunyi di balik sikap itu, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar tugas atau pelajaran.

"Ibu, kok hari ini kelihatan beda?" pikir Siti dalam hati. Ia sudah cukup lama mengenal Ibu Dinda, bahkan sering berbincang di luar jam pelajaran. Ibu Dinda adalah sosok yang selalu bisa membuat suasana kelas lebih hidup. Namun, hari ini, semuanya terasa seperti diliputi kabut yang tebal.

Usai pelajaran, Ibu Dinda kembali duduk di meja guru dengan mata yang menatap kosong ke papan tulis. Di depannya, tumpukan berkas administrasi yang belum tersentuh, tugas-tugas yang harus dipersiapkan untuk minggu depan, serta laporan yang harus segera dikirimkan. Setiap hari, rutinitas ini seolah tak pernah berhenti. Pekerjaan rumah yang harus diurus, tugas-tugas yang belum selesai, dan perasaan tertekan karena tanggung jawab yang semakin menumpuk.

Hari itu, Ibu Dinda benar-benar merasa lelah. Sudah seminggu penuh ia harus menyelesaikan laporan kegiatan sekolah yang tak kunjung usai, belum lagi tugas rumah yang menanti untuk dibereskan. Mungkin, inilah saatnya ia merasa hampir jatuh. 

Siti memperhatikan dari kejauhan. Ia memutuskan untuk tidak pergi seperti biasanya, tapi tetap duduk di belakang kelas. Ada yang mengganggu pikirannya, seolah ingin mengungkapkan sesuatu yang belum jelas. Sesuatu yang mungkin bisa membantu Ibu Dinda.

"Ibu, boleh saya bantu?" tanya Siti dengan hati-hati, saat melihat Ibu Dinda yang masih terdiam dengan tatapan kosong.

Ibu Dinda terkejut, sejenak matanya yang lelah menatap Siti. "Kamu nggak usah repot-repot, Siti. Cuma sedikit capek saja," jawabnya dengan senyum tipis yang tak sepenuhnya bisa menutupi kelelahan di wajahnya.

Namun, Siti bisa melihat lewat mata Ibu Dinda yang berkaca-kaca. Ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kelelahan fisik. Siti merasa perlu untuk berbicara lebih banyak.

"Begini, Siti," akhirnya Ibu Dinda membuka suara, meski dengan nada yang sedikit patah. "Sebenarnya bukan hanya soal tugas dan pekerjaan yang nggak ada habisnya. Aku juga... aku merasa kelelahan, Siti. Banyak hal yang harus aku tangani, dan kadang aku merasa nggak dihargai. Kamu tahu kan, kalau di rumah aku juga harus mengurus keluarga? Belum lagi masalah administrasi sekolah yang tak ada habisnya. Kadang, rasanya ingin berhenti sejenak, tapi... nggak bisa."

Siti mendengarkan dengan seksama. Ia merasa terenyuh. Ia tahu bahwa Ibu Dinda bukan hanya seorang guru yang mengajar di sekolah, tetapi juga seorang ibu, istri, dan wanita yang menghadapi tekanan kehidupan sehari-hari. Siti merasakan empati yang dalam. Tanpa banyak kata, ia menggenggam tangan Ibu Dinda.

"Kamu tahu, Siti, di sekolah ini aku memang merasa dihargai sebagai guru, tapi banyak hal yang tak bisa aku bagi dengan siapa pun. Kadang, rasanya semua beban itu ada di pundakku. Ketika aku merasa tak mampu mengontrol diri, aku bisa jadi lebih cepat marah atau emosional, padahal itu bukan berarti aku tidak sabar atau nggak peduli. Itu hanya karena aku sudah terlalu lelah, Siti."

Siti mengangguk dengan pelan, matanya menyiratkan rasa pengertian yang mendalam. "Ibu juga manusia, kan? Kalau capek, ya harus istirahat. Semua orang pasti juga butuh waktu buat diri sendiri," ujar Siti dengan lembut.

Ibu Dinda terdiam, dan tatapannya yang tadinya kosong kini mulai tampak lebih hangat. Ada rasa lega yang mulai meresap, meskipun tubuhnya masih lelah. "Terima kasih, Siti. Kamu benar, kadang aku terlalu keras pada diriku sendiri. Mungkin aku lupa bahwa aku juga butuh istirahat, butuh dukungan dari orang lain."

Hari itu, setelah sekolah berakhir, Siti berencana untuk melakukan sesuatu. Ia ingin memberikan dukungan kepada Ibu Dinda dengan cara yang sederhana. Ia tahu, kadang-kadang hal-hal kecil bisa membuat perbedaan besar.

Suatu pagi, seminggu setelah percakapan itu, Siti datang lebih awal ke sekolah. Ia membawa sebungkus nasi goreng hangat yang masih beruap, hasil dari sarapan paginya. Tanpa banyak bicara, Siti meletakkan nasi goreng itu di meja Ibu Dinda.

"Ibu, sarapan dulu ya. Aku lihat Ibu pasti belum sempat sarapan kan?" kata Siti dengan senyum.

Ibu Dinda terkejut, namun matanya yang lelah itu perlahan menunjukkan senyum yang hangat. "Terima kasih, Siti. Kamu baik sekali. Memang, aku hampir lupa untuk makan pagi tadi."

Mereka berdua duduk bersama, menikmati sarapan sederhana itu. Ibu Dinda merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, hal-hal kecil seperti ini yang sering kali terlupakan dalam kesibukan sehari-hari. Dalam keheningan itu, mereka berbicara tentang banyak hal, dari pekerjaan rumah sampai harapan-harapan kecil yang terkubur dalam kelelahan.

Di kelas X-3, suasana kembali ceria. Ibu Dinda kembali memberikan materi dengan semangat, meskipun tubuhnya masih lelah. Namun, ia merasa lebih dihargai, lebih didukung. Dan itulah yang dibutuhkan seorang guru: dukungan, apresiasi, dan sedikit waktu untuk beristirahat. Meski tidak banyak orang yang memahami betapa berat beban yang dipikulnya, Ibu Dinda mulai menyadari bahwa sedikit perhatian, bahkan dari seorang murid seperti Siti, bisa membuat perbedaan yang sangat berarti.

Sejak itu, Siti bertekad untuk selalu membantu Ibu Dinda. Ia tahu, kadang-kadang, yang dibutuhkan seseorang bukan hanya kata-kata semangat, tetapi juga tindakan nyata yang menunjukkan kepedulian. Sebab, di balik senyum seorang guru, ada banyak hal yang tak terlihat oleh murid-muridnya. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun