Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Jejak Masa Lalu

24 November 2024   12:38 Diperbarui: 24 November 2024   12:39 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan album lama. Sumber foto: freepik

 

Senja mulai merambat di jendela-jendela tinggi SMK Swadaya saat lima remaja masih berkutat dengan tumpukan arsip tua di ruang perpustakaan. Debu beterbangan setiap kali mereka membuka halaman-halaman yang menguning, membuat Sisi beberapa kali bersin. Di sudut meja, laptop Reza menyala menampilkan dokumen setengah jadi untuk tugas sejarah sekolah mereka.

"Guys, aku nemuin foto-foto lama!" seru Dinda sambil mengangkat sebuah album tebal berdebu. Aroma kertas tua menguar saat dia membuka halaman pertama. Teman-temannya segera mendekat, penasaran.

"Ini gedung sekolah kita? Kok sepertinya berbeda ya?" gumam Arif sambil menunjuk sebuah foto hitam putih yang memperlihatkan bangunan yang mirip tapi lebih sederhana dari sekolah mereka sekarang.

Keheningan perpustakaan dipecahkan oleh suara langkah kaki. Bu Aminah, kepala sekolah mereka yang terkenal tegas namun bijaksana, berdiri di ambang pintu dengan senyum hangatnya yang khas.

"Masih mengerjakan proyek sejarah sekolah?" tanyanya lembut.

Lima pasang mata berbinar menatapnya. "Iya, Bu! Kami menemukan banyak foto dan dokumen lama. Tapi kami bingung, kok di foto-foto tahun 60-an ini gedung sekolah kita terlihat berbeda?" tanya Dinda.

Bu Aminah melangkah mendekat, matanya menerawang menatap foto-foto lama itu. Ada kilatan nostalgia di sana yang tidak luput dari pengamatan para siswa.

"Karena dulu ini bukan sekolah," jawabnya pelan. "Dulu gedung ini adalah Panti Asuhan Swadaya."

Lima remaja itu saling berpandangan, terkejut dengan informasi baru ini. "Panti asuhan?" ulang mereka hampir bersamaan.

Bu Aminah mengambil tempat duduk di antara mereka. Tangannya yang mulai berkeriput membalik halaman-halaman album dengan hati-hati. "Ya, sebelum menjadi SMK Swadaya yang prestisius seperti sekarang, gedung ini adalah rumah bagi puluhan anak-anak yang tidak memiliki keluarga."

Dia berhenti pada sebuah foto yang menampilkan sekelompok anak dengan berbagai usia, berdiri di depan gedung. Di tengah mereka, seorang wanita paruh baya tersenyum lembut.

"Ini Ibu Kartini, pengasuh utama panti asuhan ini," jari Bu Aminah menunjuk sosok wanita itu. Suaranya sedikit bergetar. "Beliau mengabdikan seluruh hidupnya untuk anak-anak di sini."

Reza yang sejak tadi diam mulai menangkap sesuatu. "Bu Aminah... Ibu sepertinya sangat mengenal tempat ini..."

Senyum Bu Aminah melembut. Matanya berkaca-kaca saat menatap foto itu lebih lama. "Karena saya salah satu dari mereka," jawabnya pelan. "Saya dibesarkan di panti asuhan ini."

Pengakuan itu membuat kelima siswa terdiam. Bu Aminah, kepala sekolah mereka yang selalu tampil berwibawa dan dihormati seluruh warga sekolah, ternyata memiliki masa lalu yang tidak pernah mereka duga.

 "Saya dibawa ke sini saat usia empat tahun," lanjutnya sambil memejamkan mata, seolah bayangan masa lalu itu kembali terhampar jelas di depannya. "Saya masih ingat hari itu -- hujan deras di luar, dan saya menggigil dalam balutan selimut tipis. Seorang polisi wanita menggendong saya, setelah menemukan saya terlantar di stasiun kereta. Tidak ada yang tahu siapa orangtua saya, atau dari mana saya berasal."

Bu Aminah menarik napas panjang, tangannya tanpa sadar mengusap permukaan foto yang sudah menguning itu. "Tapi Ibu Kartini... beliau tidak pernah memperlakukan saya seperti anak terlantar. Masih terekam jelas dalam ingatan saya, bagaimana di malam pertama itu, beliau duduk di tepi tempat tidur saya, mengusap kepala saya dengan lembut sambil menyanyikan lagu nina bobo. 'Mulai hari ini, ini rumahmu, Aminah kecil,' begitu katanya."

Matanya mulai berkaca-kaca. "Setiap pagi, beliau akan membangunkan kami satu per satu, memastikan kami sarapan sebelum berangkat sekolah. Di malam hari, beliau selalu menyempatkan diri mendengarkan cerita kami tentang apa saja yang terjadi di sekolah. Ketika saya sakit, beliau yang merawat dengan telaten. Saat nilai-nilai saya bagus, beliau yang pertama kali memeluk dan mengucapkan selamat."

"Ibu Kartini dan panti asuhan ini memberikan saya tidak hanya tempat berteduh, tapi juga pendidikan dan kasih sayang yang mengubah hidup saya. Beliau mengajari kami bahwa keterbatasan bukan alasan untuk tidak bermimpi. Setiap malam minggu, kami duduk melingkar di ruang tengah, dan beliau akan bertanya satu per satu tentang cita-cita kami. 'Anak-anakku semua bisa jadi apa saja,' begitu beliau selalu bilang, 'asalkan mau berusaha dan tidak pernah menyerah.'"

"Saya ingat di ulang tahun saya yang kesepuluh, ketika anak-anak lain mendapat hadiah mainan atau baju baru, Ibu Kartini memberikan saya sebuah buku cerita dan kacamata baca. Beliau tahu mata saya mulai bermasalah karena terlalu sering membaca dengan cahaya temaram. 'Aminah,' kata beliau waktu itu, 'Ibu tidak bisa memberimu harta, tapi Ibu bisa memberimu alat untuk mendapatkan harta yang lebih berharga -- ilmu.'"

Suara Bu Aminah sedikit bergetar saat melanjutkan. "Dan beliau benar. Berkat dorongan dan dukungannya, saya bisa masuk SMP negeri terbaik di kota ini dengan beasiswa. Lalu SMK, hingga akhirnya kuliah di fakultas pendidikan. Setiap pencapaian kecil saya, beliau rayakan seolah itu adalah prestasi terbesar di dunia. Dan setiap kali saya jatuh atau hampir menyerah, pelukan hangatnya selalu menjadi tempat pulang yang menenangkan."

Bu Aminah mengusap setetes air mata yang jatuh di pipinya. "Kadang saya berpikir, mungkin saya tidak akan pernah tahu siapa orangtua kandung saya. Tapi Tuhan telah memberikan saya sosok ibu yang jauh lebih berharga -- yang mengajarkan saya arti kasih sayang sejati dan pentingnya berbagi dengan sesama. Karena itulah saya kembali ke sini, untuk meneruskan warisan cinta dan pendidikan yang telah beliau tanamkan."

Kelima siswa itu terdiam, terhanyut dalam kisah yang begitu menyentuh. Di luar, langit semakin gelap, tapi cahaya dari lampu perpustakaan seolah menjadi saksi bisu sebuah warisan kasih sayang yang terus hidup dalam dinding-dinding sekolah mereka.

Bu Aminah menunjuk sebuah ruangan di foto lain. "Lihat ruangan ini? Sekarang jadi lab kimia kita. Tapi dulu ini perpustakaan kecil tempat kami belajar. Ibu Kartini selalu menekankan pentingnya pendidikan. Beliau yakin bahwa buku dan ilmu adalah kunci untuk mengubah nasib."

Sisi mengusap matanya yang mulai basah. "Lalu bagaimana ceritanya tempat ini bisa jadi sekolah, Bu?"

"Tahun 1980, ketika kondisi panti asuhan mulai sulit, Ibu Kartini memutuskan untuk mengubahnya menjadi sekolah. Beliau percaya dengan begitu, tempat ini bisa terus memberikan pendidikan kepada lebih banyak anak." Bu Aminah tersenyum mengenang. "Saya yang waktu itu baru lulus kuliah, diminta beliau untuk ikut mengajar di sini."

"Dan sekarang Ibu jadi kepala sekolahnya," Arif menambahkan dengan takjub.

Bu Aminah mengangguk. "Tapi prinsip dasarnya tidak berubah. Dulu sebagai panti asuhan, tempat ini memberi rumah bagi yang tidak punya rumah. Sekarang sebagai sekolah, kita memberi kesempatan pendidikan bagi semua anak, terutama yang kurang mampu. Itu sebabnya kita punya banyak program beasiswa."

Dinda melirik jam dinding yang menunjukkan pukul enam sore. Langit di luar sudah mulai gelap, tapi tidak ada yang beranjak dari tempat duduknya. Mereka terpaku pada cerita Bu Aminah dan foto-foto yang membawa mereka ke masa lalu.

"Kalian tahu," Bu Aminah melanjutkan sambil memandang keluar jendela, "setiap pagi saat masuk ke sekolah ini, saya masih bisa merasakan hangatnya pelukan Ibu Kartini. Di setiap sudut gedung ini, masih tersimpan kenangan tentang anak-anak panti yang bermain, belajar, dan bermimpi. Dan saya berharap, setiap siswa yang belajar di sini bisa merasakan kehangatan yang sama."

Lima remaja itu pulang dengan perasaan berbeda malam itu. Proyek sejarah sekolah mereka tidak lagi sekadar tugas untuk dikumpulkan. Mereka telah menemukan kisah yang lebih dalam -- kisah tentang cinta, pengabdian, dan harapan yang terpahat di setiap dinding SMK Swadaya.

Dan setiap kali mereka melintasi koridor sekolah, mereka akan mengingat bahwa di tempat yang sama, puluhan tahun lalu, mimpi-mimpi kecil telah ditanam dan dipelihara dengan penuh kasih, hingga tumbuh menjadi pohon besar yang kini menaungi ribuan mimpi baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun