Bu Aminah mengusap setetes air mata yang jatuh di pipinya. "Kadang saya berpikir, mungkin saya tidak akan pernah tahu siapa orangtua kandung saya. Tapi Tuhan telah memberikan saya sosok ibu yang jauh lebih berharga -- yang mengajarkan saya arti kasih sayang sejati dan pentingnya berbagi dengan sesama. Karena itulah saya kembali ke sini, untuk meneruskan warisan cinta dan pendidikan yang telah beliau tanamkan."
Kelima siswa itu terdiam, terhanyut dalam kisah yang begitu menyentuh. Di luar, langit semakin gelap, tapi cahaya dari lampu perpustakaan seolah menjadi saksi bisu sebuah warisan kasih sayang yang terus hidup dalam dinding-dinding sekolah mereka.
Bu Aminah menunjuk sebuah ruangan di foto lain. "Lihat ruangan ini? Sekarang jadi lab kimia kita. Tapi dulu ini perpustakaan kecil tempat kami belajar. Ibu Kartini selalu menekankan pentingnya pendidikan. Beliau yakin bahwa buku dan ilmu adalah kunci untuk mengubah nasib."
Sisi mengusap matanya yang mulai basah. "Lalu bagaimana ceritanya tempat ini bisa jadi sekolah, Bu?"
"Tahun 1980, ketika kondisi panti asuhan mulai sulit, Ibu Kartini memutuskan untuk mengubahnya menjadi sekolah. Beliau percaya dengan begitu, tempat ini bisa terus memberikan pendidikan kepada lebih banyak anak." Bu Aminah tersenyum mengenang. "Saya yang waktu itu baru lulus kuliah, diminta beliau untuk ikut mengajar di sini."
"Dan sekarang Ibu jadi kepala sekolahnya," Arif menambahkan dengan takjub.
Bu Aminah mengangguk. "Tapi prinsip dasarnya tidak berubah. Dulu sebagai panti asuhan, tempat ini memberi rumah bagi yang tidak punya rumah. Sekarang sebagai sekolah, kita memberi kesempatan pendidikan bagi semua anak, terutama yang kurang mampu. Itu sebabnya kita punya banyak program beasiswa."
Dinda melirik jam dinding yang menunjukkan pukul enam sore. Langit di luar sudah mulai gelap, tapi tidak ada yang beranjak dari tempat duduknya. Mereka terpaku pada cerita Bu Aminah dan foto-foto yang membawa mereka ke masa lalu.
"Kalian tahu," Bu Aminah melanjutkan sambil memandang keluar jendela, "setiap pagi saat masuk ke sekolah ini, saya masih bisa merasakan hangatnya pelukan Ibu Kartini. Di setiap sudut gedung ini, masih tersimpan kenangan tentang anak-anak panti yang bermain, belajar, dan bermimpi. Dan saya berharap, setiap siswa yang belajar di sini bisa merasakan kehangatan yang sama."
Lima remaja itu pulang dengan perasaan berbeda malam itu. Proyek sejarah sekolah mereka tidak lagi sekadar tugas untuk dikumpulkan. Mereka telah menemukan kisah yang lebih dalam -- kisah tentang cinta, pengabdian, dan harapan yang terpahat di setiap dinding SMK Swadaya.
Dan setiap kali mereka melintasi koridor sekolah, mereka akan mengingat bahwa di tempat yang sama, puluhan tahun lalu, mimpi-mimpi kecil telah ditanam dan dipelihara dengan penuh kasih, hingga tumbuh menjadi pohon besar yang kini menaungi ribuan mimpi baru.