Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Guru Teladan

23 November 2024   12:35 Diperbarui: 23 November 2024   19:00 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan kertas ulangan. Sumber foto: Freepik

 

Pagi itu, embun masih menggantung di dedaunan ketika Pak Dimas melangkahkan kakinya memasuki gerbang SMA Nasional. Sepatu pantofelnya yang mengkilap berketuk pelan di atas paving block, sementara angin semilir memainkan ujung dasinya yang berwarna biru tua. Di usianya yang baru menginjak 35 tahun, dia adalah guru matematika termuda di sekolah ini.

Lorong-lorong sekolah masih sepi. Hanya ada beberapa siswa yang datang lebih awal, membungkuk hormat sambil mengucapkan "Selamat pagi, Pak!" dengan senyum tulus. Pak Dimas membalas dengan senyuman hangat yang menjadi ciri khasnya -- senyum yang membuat matanya menyipit dan menampilkan lesung pipi dalamnya.

"Selamat pagi, anak-anak," balasnya ramah. Dalam hati, dia masih sering takjub bagaimana kini dia bisa berdiri di sisi ini -- sisi seorang pendidik yang dihormati.

Di ruang guru, dia meletakkan tas kerjanya dan mengeluarkan setumpuk kertas ulangan yang sudah dikoreksinya semalaman. Setiap lembar telah dia bubuhi tidak hanya dengan nilai, tetapi juga catatan-catatan motivasi personal untuk setiap siswanya. "Kamu sudah lebih baik dari minggu lalu, pertahankan!", "Jangan menyerah, datanglah ke ruanganku jika butuh bantuan", dan berbagai kata-kata penyemangat lainnya.

Bel berbunyi tepat pukul 7 pagi. Pak Dimas mengambil buku-bukunya dan berjalan menuju kelas XI 2. Sepanjang koridor, dia menyempatkan diri menyapa setiap siswa yang berpapasan dengannya. Ada Andi yang kemarin masih kesulitan dengan integral, ada Sari yang akhirnya berhasil memahami limit setelah tiga kali les tambahan, dan ada pula Rafi yang dulu selalu tidur di kelas tapi kini mulai menunjukkan kemajuan.

Ketika Pak Dimas memasuki kelas, suasana yang tadinya riuh langsung berubah tertib. Bukan karena takut, tetapi karena rasa hormat. Para siswa telah mengenal baik sosok guru yang selalu datang dengan semangat dan metode mengajar yang membuat matematika terasa lebih mudah dicerna.

"Selamat pagi, anak-anak!" sapanya ceria.

"Selamat pagi, Pak!" jawab mereka serempak.

"Baik, sebelum kita mulai, saya ingin membagikan hasil ulangan minggu lalu. Tapi ingat, nilai ini hanya angka. Yang lebih penting adalah prosesnya dan kemauan kalian untuk terus belajar."

Satu per satu nama dipanggil. Setiap siswa maju ke depan, dan Pak Dimas tidak hanya menyerahkan kertas ulangan, tetapi juga membisikkan kata-kata motivasi personal untuk masing-masing. Untuk Deni yang nilainya masih di bawah KKM, dia berbisik, "Temui saya sepulang sekolah, kita bahas soal-soal yang masih kamu bingung." Deni mengangguk dengan mata berbinar -- jauh berbeda dari tatapan takut yang biasa ditunjukkan siswa saat mendapat nilai rendah.

Sore itu, seperti biasa, ruang kelas Pak Dimas tidak langsung kosong setelah bel pulang berbunyi. Sekelompok siswa selalu tinggal untuk sesi tambahan -- yang dia sebut "Club Matematika". Di sesi ini, mereka bebas bertanya apa saja, dan Pak Dimas akan menjelaskan dengan sabar, seringkali diselingi cerita-cerita motivasi atau lelucon yang membuat matematika terasa lebih bersahabat.

"Pak," suara Deni memecah keheningan saat sesi hampir berakhir. "Bapak kok bisa ya bikin matematika jadi gak seseram dulu?"

Pak Dimas tersenyum. Pertanyaan ini mengingatkannya pada masa lalu -- masa yang membuat dadanya sesak setiap kali mengingatnya. "Karena Bapak tahu rasanya takut pada matematika," jawabnya diplomatis.

Namun malam itu, sendirian di apartemennya yang sederhana, Pak Dimas membuka laci meja kerjanya. Di dalamnya tersimpan sebuah foto usang -- foto seorang remaja dengan rambut berantakan dan seragam yang tidak rapi, berdiri dengan angkuh di depan gedung SMA Nasional yang sama. Di belakang foto itu tertulis: "Dimas, kelas XI IPA 1, 2004 - Dikeluarkan."

Matanya berkaca-kaca mengingat masa itu. Lima belas tahun yang lalu, dia adalah mimpi buruk setiap guru matematika. Selalu tidur di kelas, tidak mengerjakan PR, dan yang terparah -- ketahuan mencontek saat ujian semester. Setelah berbagai peringatan, akhirnya dia dikeluarkan dari sekolah.

Tapi itu bukan akhir ceritanya. Justru pengalaman dikeluarkan itulah yang membuka matanya. Dia ingat bagaimana ibunya menangis, bagaimana ayahnya hanya diam dengan wajah kecewa. Dia ingat bagaimana rasanya menjadi "anak gagal" yang harus pindah ke sekolah di pinggiran kota.

Di sekolah barunya, seorang guru matematika bernama Pak Hendra melihat sesuatu yang berbeda dalam dirinya. "Kamu bukannya bodoh, Dimas. Kamu hanya belum menemukan cara belajar yang tepat untukmu," kata Pak Hendra waktu itu. Setiap pulang sekolah, Pak Hendra meluangkan waktu untuk mengajarinya, tidak hanya matematika, tapi juga arti penting pendidikan dan kesempatan kedua.

Berkat Pak Hendra, Dimas mulai jatuh cinta pada matematika. Nilainya perlahan membaik. Dia bahkan berhasil masuk fakultas matematika di universitas negeri dan lulus dengan predikat cum laude. Tapi ada satu mimpi yang terus menghantuinya -- kembali ke SMA Nasional, kali ini sebagai guru.

Dan di sinilah dia sekarang, lima belas tahun kemudian, berdiri di depan kelas yang sama tempat dia dulu pernah gagal. Setiap pagi, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi guru seperti Pak Hendra -- guru yang melihat potensi dalam diri setiap siswa, bahkan yang paling nakal sekalipun.

Keesokan harinya, dalam rapat guru bulanan, Kepala Sekolah mengumumkan bahwa Pak Dimas terpilih menjadi guru teladan tingkat provinsi. Para guru bertepuk tangan, beberapa bahkan sampai berdiri memberikan standing ovation. Tapi tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum rendah hatinya, Pak Dimas sedang menahan air mata.

Setelah rapat, dia berjalan ke perpustakaan sekolah. Di sudut ruangan, dia menemukan buku tahunan angkatan 2004. Dengan tangan bergetar, dia membuka halaman yang sudah sangat dihafalnya -- halaman yang memuat fotonya, dengan catatan kecil di bawahnya: "Dikeluarkan pada semester genap."

"Pak Dimas?" sebuah suara mengejutkannya. Deni berdiri di belakangnya dengan wajah bingung. "Bapak... ada di buku tahunan ini?"

Sejenak Pak Dimas terdiam. Mungkin ini saatnya untuk berbagi cerita yang selama ini dia simpan. "Ya, Deni. Lima belas tahun yang lalu, Bapak adalah siswa di sekolah ini. Siswa yang dikeluarkan karena terlalu nakal dan tidak pernah memperhatikan pelajaran matematika."

Mata Deni membulat tidak percaya. "Tapi... tapi Bapak kan guru matematika terbaik yang pernah saya kenal!"

Pak Dimas tersenyum. "Justru karena itulah Bapak kembali ke sini. Untuk membuktikan bahwa setiap orang bisa berubah, setiap orang berhak mendapat kesempatan kedua. Dan yang paling penting, untuk membantu siswa-siswa sepertimu menemukan potensi terbaik dalam diri kalian."

Deni terdiam, matanya berkaca-kaca. "Makanya Bapak selalu sabar mengajari saya? Padahal saya sering tidak mengerti-mengerti..."

"Karena Bapak tahu rasanya berada di posisimu, Deni. Dan percayalah, jika Bapak bisa berubah, kamu juga pasti bisa."

Sejak hari itu, kisah Pak Dimas menjadi legenda di SMA Nasional. Cerita tentang siswa nakal yang kembali sebagai guru teladan, membawa pesan bahwa tidak ada kata terlambat untuk berubah, dan bahwa setiap orang pantas mendapat kesempatan kedua.

Dan setiap kali Pak Dimas berdiri di depan kelas, mengajar dengan penuh semangat dan kesabaran, dia tidak hanya mengajarkan matematika. Dia mengajarkan tentang harapan, tentang perubahan, dan tentang kekuatan untuk bangkit dari kegagalan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun