Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Guru Teladan

23 November 2024   12:35 Diperbarui: 23 November 2024   19:00 52
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan kertas ulangan. Sumber foto: Freepik

Sore itu, seperti biasa, ruang kelas Pak Dimas tidak langsung kosong setelah bel pulang berbunyi. Sekelompok siswa selalu tinggal untuk sesi tambahan -- yang dia sebut "Club Matematika". Di sesi ini, mereka bebas bertanya apa saja, dan Pak Dimas akan menjelaskan dengan sabar, seringkali diselingi cerita-cerita motivasi atau lelucon yang membuat matematika terasa lebih bersahabat.

"Pak," suara Deni memecah keheningan saat sesi hampir berakhir. "Bapak kok bisa ya bikin matematika jadi gak seseram dulu?"

Pak Dimas tersenyum. Pertanyaan ini mengingatkannya pada masa lalu -- masa yang membuat dadanya sesak setiap kali mengingatnya. "Karena Bapak tahu rasanya takut pada matematika," jawabnya diplomatis.

Namun malam itu, sendirian di apartemennya yang sederhana, Pak Dimas membuka laci meja kerjanya. Di dalamnya tersimpan sebuah foto usang -- foto seorang remaja dengan rambut berantakan dan seragam yang tidak rapi, berdiri dengan angkuh di depan gedung SMA Nasional yang sama. Di belakang foto itu tertulis: "Dimas, kelas XI IPA 1, 2004 - Dikeluarkan."

Matanya berkaca-kaca mengingat masa itu. Lima belas tahun yang lalu, dia adalah mimpi buruk setiap guru matematika. Selalu tidur di kelas, tidak mengerjakan PR, dan yang terparah -- ketahuan mencontek saat ujian semester. Setelah berbagai peringatan, akhirnya dia dikeluarkan dari sekolah.

Tapi itu bukan akhir ceritanya. Justru pengalaman dikeluarkan itulah yang membuka matanya. Dia ingat bagaimana ibunya menangis, bagaimana ayahnya hanya diam dengan wajah kecewa. Dia ingat bagaimana rasanya menjadi "anak gagal" yang harus pindah ke sekolah di pinggiran kota.

Di sekolah barunya, seorang guru matematika bernama Pak Hendra melihat sesuatu yang berbeda dalam dirinya. "Kamu bukannya bodoh, Dimas. Kamu hanya belum menemukan cara belajar yang tepat untukmu," kata Pak Hendra waktu itu. Setiap pulang sekolah, Pak Hendra meluangkan waktu untuk mengajarinya, tidak hanya matematika, tapi juga arti penting pendidikan dan kesempatan kedua.

Berkat Pak Hendra, Dimas mulai jatuh cinta pada matematika. Nilainya perlahan membaik. Dia bahkan berhasil masuk fakultas matematika di universitas negeri dan lulus dengan predikat cum laude. Tapi ada satu mimpi yang terus menghantuinya -- kembali ke SMA Nasional, kali ini sebagai guru.

Dan di sinilah dia sekarang, lima belas tahun kemudian, berdiri di depan kelas yang sama tempat dia dulu pernah gagal. Setiap pagi, dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjadi guru seperti Pak Hendra -- guru yang melihat potensi dalam diri setiap siswa, bahkan yang paling nakal sekalipun.

Keesokan harinya, dalam rapat guru bulanan, Kepala Sekolah mengumumkan bahwa Pak Dimas terpilih menjadi guru teladan tingkat provinsi. Para guru bertepuk tangan, beberapa bahkan sampai berdiri memberikan standing ovation. Tapi tidak ada yang tahu bahwa di balik senyum rendah hatinya, Pak Dimas sedang menahan air mata.

Setelah rapat, dia berjalan ke perpustakaan sekolah. Di sudut ruangan, dia menemukan buku tahunan angkatan 2004. Dengan tangan bergetar, dia membuka halaman yang sudah sangat dihafalnya -- halaman yang memuat fotonya, dengan catatan kecil di bawahnya: "Dikeluarkan pada semester genap."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun