Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pilihan Hati

16 November 2024   16:50 Diperbarui: 16 November 2024   17:12 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sinar matahari siang menembus kaca jendela yang berdebu di ruang guru. Bu Ami menghela napas panjang sembari memandangi amplop cokelat di tangannya. Jemarinya yang letih setelah mengajar sejak pagi bergetar pelan, seolah turut merasakan beratnya keputusan yang tertuang dalam surat pengunduran diri itu. Tiga tahun mengabdi di sekolah terpencil di pelosok ini telah mengukir begitu banyak kenangan - manis dan pahit bercampur menjadi satu.

Matanya menerawang ke luar jendela, memandang deretan bukit hijau yang mengelilingi sekolah. Dulu, pemandangan ini selalu memberinya ketenangan. Namun kini, setiap kali memandangnya, yang terlintas adalah betapa jauhnya ia dari kehidupan yang lebih layak, dari fasilitas yang memadai, dari masa depan yang lebih cerah untuk anak-anaknya.

Ruang guru siang itu terasa lebih pengap dari biasanya. Kipas angin tua di sudut ruangan berderit keras, seolah memprotes beban tugasnya mendinginkan ruangan yang semakin memanas. Hanya ada Pak Hendri yang sedang memeriksa tumpukan buku tugas siswa dan Bu Siti yang sibuk menyusun rencana pembelajaran. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing, mungkin juga bergulat dengan dilema yang sama.

"Bu Ami, sudah siap untuk rapat evaluasi nanti?" tanya Bu Siti, mencoba mencairkan suasana. Nadanya lembut, tapi Bu Ami bisa menangkap kekhawatiran dalam suaranya. Sebagai sesama guru yang telah mengabdi lebih dari lima tahun di sekolah ini, Bu Siti paham betul pergulatan batin yang dialami rekannya.

Bu Ami tersenyum tipis, senyum yang tidak mencapai matanya. "Sudah, Bu. Tapi... ada yang perlu saya sampaikan ke Pak Kepala Sekolah sebelumnya." Suaranya terdengar parau, menahan emosi yang bergejolak.

Pak Hendri mengalihkan pandangannya dari tumpukan buku. Kacamatanya yang berembun menambah kesan lelah di wajahnya. Ia tahu persis apa yang akan disampaikan rekannya itu. Sudah menjadi rahasia umum bahwa hidup di daerah terpencil dengan gaji yang pas-pasan bukanlah hal yang mudah. Setiap bulan adalah pertarungan dengan biaya hidup yang terus meningkat, sementara tunjangan khusus yang dijanjikan tak kunjung memadai.

Jarum jam berdetak lambat menuju pukul dua siang. Setiap detiknya terasa seperti menghitung mundur menuju sebuah perpisahan yang tak terelakkan. Bu Ami bangkit dari kursinya, mengumpulkan segenap keberanian yang tersisa. Langkahnya berat menuju ruang kepala sekolah, setiap tapaknya menyimpan keraguan dan penyesalan.

"Permisi, Pak Bambang." Suaranya bergetar ketika mengetuk pintu.

"Silakan masuk, Bu Ami. Ada yang bisa saya bantu?" Pak Bambang, dengan rambutnya yang mulai memutih, menyambut dengan senyum kebapakan yang selalu menjadi ciri khasnya.

Ruang kepala sekolah itu sederhana namun tertata rapi. Sebuah kipas angin kecil mendengung pelan, berjuang melawan hawa panas yang menerobos masuk. Di dinding, deretan foto-foto kenangan dan piagam penghargaan berjajar rapi, menjadi saksi bisu perjalanan sekolah ini dalam mencerdaskan anak-anak di pelosok negeri.

Bu Ami menarik kursi di hadapan meja kepala sekolah. Tangannya yang gemetar memegang amplop cokelat itu semakin erat, seolah menggenggam seluruh masa depannya. "Pak... saya... saya ingin mengajukan pengunduran diri." Kata-kata itu akhirnya meluncur, membawa serta sebagian beban di hatinya.

Pak Bambang terdiam sejenak. Matanya yang bijak menerawang ke luar jendela, memandang anak-anak yang bermain dengan riang di halaman sekolah. Tawa mereka yang polos menembus kaca jendela, menciptakan kontras yang menyayat dengan suasana berat di dalam ruangan. "Saya sudah menduga hal ini akan terjadi," ujarnya pelan, suaranya sarat pengertian.

"Maafkan saya, Pak." Air mata yang sedari tadi ditahan Bu Ami mulai menggenang. "Tapi dengan kondisi seperti ini... tunjangan yang minim, fasilitas yang terbatas, dan kebutuhan anak-anak saya yang semakin besar..." Suaranya tercekat, tenggelam dalam isakan tertahan.

Pak Bambang membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebuah foto usang. Warnanya telah memudar, namun senyum-senyum dalam foto itu masih memancarkan harapan yang sama. "Ini foto angkatan pertama lulusan sekolah ini, 15 tahun yang lalu. Dari 12 siswa di foto ini, 5 di antaranya sekarang sudah menjadi sarjana. Salah satunya bahkan menjadi dokter yang sekarang mengabdi di puskesmas kecamatan."

Hati Bu Ami terenyuh. Bayangan wajah Deni, salah satu murid terbaiknya, berkelebat dalam benaknya. Anak itu harus berjalan kaki 3 kilometer setiap hari untuk ke sekolah, namun semangatnya tak pernah surut. Setiap pagi, matanya berbinar penuh harap saat menyerap ilmu, seolah pendidikan adalah harta karun yang tak ternilai.

"Saya tahu ini berat, Bu Ami," lanjut Pak Bambang, suaranya penuh empati. "Pengabdian kita di sini memang bukan tentang materi semata. Ini tentang masa depan mereka, tentang harapan yang kita tanam di setiap pembelajaran."

Bu Ami terisak pelan. "Tapi bagaimana dengan kebutuhan keluarga saya, Pak? Anak-anak saya juga butuh masa depan yang cerah."

"Saya mengerti." Pak Bambang mengangguk. "Minggu depan akan ada pertemuan dengan Dinas Pendidikan. Saya sudah mengajukan proposal untuk peningkatan tunjangan guru di daerah terpencil. Dan mulai semester depan, kita akan mendapat bantuan untuk program digitalisasi."

Ruangan itu hening sejenak. Dari luar, suara tawa riang anak-anak masih terdengar, berpadu dengan kicauan burung dan desir angin yang membelai dedaunan. Bu Ami memandang amplop di tangannya, merasakan beban keputusannya yang semakin berat.

Perlahan, dengan tangan yang masih gemetar, ia merobek amplop itu menjadi dua. Suara robekan kertas memecah keheningan, seolah menjadi simbol dari sebuah keputusan yang tak terbatalkan. "Saya... saya akan bertahan, Pak. Demi anak-anak itu, demi masa depan mereka."

Senyum hangat merekah di wajah Pak Bambang. Matanya berkaca-kaca, menyiratkan rasa syukur dan haru. "Terima kasih, Bu Ami. Mari kita berjuang bersama untuk pendidikan yang lebih baik di daerah ini."

Ketika Bu Ami melangkah keluar dari ruang kepala sekolah, sinar matahari sore menerobos masuk melalui jendela, menciptakan bias cahaya keemasan yang hangat. Hatinya, meski masih membawa beban, terasa lebih ringan. Di halaman sekolah, Deni dan teman-temannya masih bermain, tawa mereka mengalun riang membawa harapan.

Langkahnya mantap menuju ruang guru, tempat Pak Hendri dan Bu Siti menunggu dengan cemas. Senyum tipis tersungging di bibirnya - bukan lagi senyum yang dipaksakan, melainkan senyum yang lahir dari keyakinan baru. Ya, mungkin pengabdian ini tidak mudah, mungkin jalannya masih panjang dan berliku, tapi setidaknya ia tahu bahwa setiap langkahnya memiliki makna. Setiap huruf yang ia ajarkan, setiap angka yang ia jelaskan, adalah batu bata yang membangun masa depan anak-anak ini. Dan itu, baginya, adalah hadiah yang tak ternilai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun