Mohon tunggu...
Syahrial
Syahrial Mohon Tunggu... Guru - Guru Madya

Belajar dari menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pilihan Hati

16 November 2024   16:50 Diperbarui: 16 November 2024   17:12 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bu Ami menarik kursi di hadapan meja kepala sekolah. Tangannya yang gemetar memegang amplop cokelat itu semakin erat, seolah menggenggam seluruh masa depannya. "Pak... saya... saya ingin mengajukan pengunduran diri." Kata-kata itu akhirnya meluncur, membawa serta sebagian beban di hatinya.

Pak Bambang terdiam sejenak. Matanya yang bijak menerawang ke luar jendela, memandang anak-anak yang bermain dengan riang di halaman sekolah. Tawa mereka yang polos menembus kaca jendela, menciptakan kontras yang menyayat dengan suasana berat di dalam ruangan. "Saya sudah menduga hal ini akan terjadi," ujarnya pelan, suaranya sarat pengertian.

"Maafkan saya, Pak." Air mata yang sedari tadi ditahan Bu Ami mulai menggenang. "Tapi dengan kondisi seperti ini... tunjangan yang minim, fasilitas yang terbatas, dan kebutuhan anak-anak saya yang semakin besar..." Suaranya tercekat, tenggelam dalam isakan tertahan.

Pak Bambang membuka laci mejanya dan mengeluarkan sebuah foto usang. Warnanya telah memudar, namun senyum-senyum dalam foto itu masih memancarkan harapan yang sama. "Ini foto angkatan pertama lulusan sekolah ini, 15 tahun yang lalu. Dari 12 siswa di foto ini, 5 di antaranya sekarang sudah menjadi sarjana. Salah satunya bahkan menjadi dokter yang sekarang mengabdi di puskesmas kecamatan."

Hati Bu Ami terenyuh. Bayangan wajah Deni, salah satu murid terbaiknya, berkelebat dalam benaknya. Anak itu harus berjalan kaki 3 kilometer setiap hari untuk ke sekolah, namun semangatnya tak pernah surut. Setiap pagi, matanya berbinar penuh harap saat menyerap ilmu, seolah pendidikan adalah harta karun yang tak ternilai.

"Saya tahu ini berat, Bu Ami," lanjut Pak Bambang, suaranya penuh empati. "Pengabdian kita di sini memang bukan tentang materi semata. Ini tentang masa depan mereka, tentang harapan yang kita tanam di setiap pembelajaran."

Bu Ami terisak pelan. "Tapi bagaimana dengan kebutuhan keluarga saya, Pak? Anak-anak saya juga butuh masa depan yang cerah."

"Saya mengerti." Pak Bambang mengangguk. "Minggu depan akan ada pertemuan dengan Dinas Pendidikan. Saya sudah mengajukan proposal untuk peningkatan tunjangan guru di daerah terpencil. Dan mulai semester depan, kita akan mendapat bantuan untuk program digitalisasi."

Ruangan itu hening sejenak. Dari luar, suara tawa riang anak-anak masih terdengar, berpadu dengan kicauan burung dan desir angin yang membelai dedaunan. Bu Ami memandang amplop di tangannya, merasakan beban keputusannya yang semakin berat.

Perlahan, dengan tangan yang masih gemetar, ia merobek amplop itu menjadi dua. Suara robekan kertas memecah keheningan, seolah menjadi simbol dari sebuah keputusan yang tak terbatalkan. "Saya... saya akan bertahan, Pak. Demi anak-anak itu, demi masa depan mereka."

Senyum hangat merekah di wajah Pak Bambang. Matanya berkaca-kaca, menyiratkan rasa syukur dan haru. "Terima kasih, Bu Ami. Mari kita berjuang bersama untuk pendidikan yang lebih baik di daerah ini."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun