Selain meningkatkan basis pajak, Coretax juga diharapkan mampu mengurangi praktik penghindaran pajak yang selama ini menjadi salah satu penyebab utama kebocoran penerimaan negara. Menurut laporan Global Financial Integrity (2022), Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak hingga 4% dari PDB setiap tahunnya akibat penghindaran pajak, baik melalui pelaporan yang tidak benar maupun praktik transfer pricing di perusahaan multinasional.
Dengan kemampuan untuk menganalisis data transaksi lintas batas dan mendeteksi pola penghindaran pajak secara otomatis, Coretax dapat menjadi alat yang sangat efektif untuk menekan angka tersebut.
Namun, optimisme terhadap Coretax tidak terlepas dari berbagai tantangan. Implementasi teknologi canggih seperti big data dan kecerdasan buatan memerlukan infrastruktur digital yang kuat, sumber daya manusia yang kompeten, dan dukungan regulasi yang memadai.
Sebagai contoh, India, melalui sistem Goods and Services Tax Network (GSTN), menghadapi berbagai kendala teknis dan logistik pada tahun-tahun awal peluncurannya, termasuk gangguan pada server dan kurangnya pemahaman pengguna terhadap sistem baru.
Untuk itu, pemerintah Indonesia perlu memastikan kesiapan infrastruktur teknologi serta memberikan pelatihan yang memadai kepada petugas pajak dan wajib pajak agar dapat mengoperasikan sistem ini dengan baik.
Dengan potensi besar yang dimilikinya, Coretax diharapkan tidak hanya menjadi alat administratif, tetapi juga motor penggerak reformasi perpajakan di Indonesia. Jika diimplementasikan dengan efektif, Coretax dapat membantu pemerintah mencapai target ambisiusnya, termasuk proyeksi penerimaan pajak sebesar 1.500 triliun rupiah pada tahun 2025.
Namun, keberhasilan sistem ini juga memerlukan sinergi yang kuat antara teknologi, regulasi, dan partisipasi aktif dari masyarakat serta dunia usaha. Coretax bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi juga simbol dari upaya Indonesia untuk membangun sistem perpajakan yang lebih modern, transparan, dan inklusif.
 Digitalisasi Perpajakan: Potensi dan Tantangan
Digitalisasi perpajakan melalui aplikasi Coretax merupakan langkah besar yang dirancang untuk menyelesaikan berbagai kendala mendasar dalam sistem perpajakan konvensional. Di Indonesia, tantangan seperti birokrasi yang lamban, kurangnya transparansi, serta kesulitan mendeteksi penghindaran pajak telah lama menjadi hambatan dalam mengoptimalkan penerimaan negara. Dengan memanfaatkan teknologi modern seperti big data, kecerdasan buatan (artificial intelligence), dan blockchain, Coretax bertujuan menciptakan sistem perpajakan yang lebih efisien, akurat, dan transparan. Namun, meskipun potensi yang ditawarkan sangat besar, penerapan teknologi ini di Indonesia tidak lepas dari tantangan struktural, teknis, dan kultural yang signifikan.
Dalam konteks big data, teknologi ini memungkinkan pemerintah untuk mengumpulkan dan menganalisis data secara masif dari berbagai sumber, seperti perbankan, e-commerce, hingga catatan kependudukan. Potensi ini dapat membantu pemerintah mengidentifikasi wajib pajak yang tidak terdaftar, mendeteksi ketidaksesuaian laporan pajak, serta memperluas basis pajak. Di beberapa negara maju, seperti Korea Selatan dan Estonia, penggunaan big data telah meningkatkan akurasi sistem perpajakan, menurunkan kebocoran pajak hingga 20% (OECD, 2022). Namun, di Indonesia, keberhasilan teknologi ini sangat bergantung pada kualitas data yang tersedia. Fragmentasi data yang tidak terintegrasi, inkonsistensi format, dan minimnya dokumentasi transaksi dari sektor informal menjadi kendala yang signifikan. Jika data yang dimasukkan ke dalam sistem Coretax tidak memadai atau akurat, efektivitas teknologi ini akan berkurang secara drastis.
Di sisi lain, kecerdasan buatan memiliki kemampuan untuk menganalisis pola perilaku wajib pajak berdasarkan data historis dan tren ekonomi terkini. Dengan memanfaatkan teknologi ini, pemerintah dapat memprediksi risiko penghindaran pajak dan menargetkan pengawasan yang lebih efektif kepada wajib pajak berisiko tinggi. Namun, keberhasilan implementasi kecerdasan buatan sangat bergantung pada kualitas algoritma yang digunakan dan representasi data yang adil. Di Indonesia, persoalan data yang tidak lengkap atau bias dapat berpotensi menghasilkan analisis yang keliru, seperti salah mengklasifikasikan wajib pajak kecil sebagai pelanggar. Hal ini tidak hanya merusak efektivitas sistem, tetapi juga berisiko menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan.