Mohon tunggu...
syahmardi yacob
syahmardi yacob Mohon Tunggu... Dosen - Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Prof. Dr. Syahmardi Yacob, Guru Besar Manajemen Pemasaran di Universitas Jambi, memiliki passion yang mendalam dalam dunia akademik dan penelitian, khususnya di bidang strategi pemasaran, pemasaran pariwisata, pemasaran ritel, politik pemasaran, serta pemasaran di sektor pendidikan tinggi. Selain itu, beliau juga seorang penulis aktif yang tertarik menyajikan wawasan pemasaran strategis melalui tulisan beberapa media online di grup jawa pos Kepribadian beliau yang penuh semangat dan dedikasi tercermin dalam hobinya yang beragam, seperti menulis, membaca, dan bermain tenis. Menulis menjadi sarana untuk menyampaikan ide-ide segar dan relevan di dunia pemasaran, baik dari perspektif teoritis maupun aplikatif. Gaya beliau yang fokus, informatif, dan tajam dalam menganalisis isu-isu pemasaran menjadikan tulisannya memiliki nilai tambah yang kuat, khususnya dalam memberikan pencerahan dan solusi praktis di ranah pemasaran Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Gen-Z Merangkai Keteraturan dan Mengejar Impian

2 Desember 2024   08:58 Diperbarui: 2 Desember 2024   09:55 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setiap generasi memiliki karakteristik, tantangan, dan keistimewaannya masing-masing, tidak terkecuali Generasi Z, atau yang sering disebut sebagai Gen Z. Generasi ini mencakup individu yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, sebuah rentang waktu yang menempatkan mereka dalam era perkembangan teknologi dan digitalisasi yang pesat. 

Menurut data dari Pusat Studi Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kemdikbud, Gen Z di Indonesia mencakup sekitar 27,94% dari total populasi, menjadikan mereka kelompok demografis terbesar di negeri ini.

Sebagai generasi yang tumbuh dengan akses ke internet, media sosial, dan teknologi canggih sejak usia dini, Gen Z menjadi simbol modernitas dan inovasi. Namun, di balik citra tersebut, mereka menghadapi tantangan kompleks dalam menyelaraskan antara tuntutan dunia nyata yang serba terstruktur dengan impian besar yang sering kali tidak terikat oleh batasan konvensional.

 Kehidupan mereka menjadi cerminan dari dinamika zaman: penuh peluang, tetapi juga dipenuhi tekanan untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi sosial dan ekonomi.

Tumbuh di era digital yang serba cepat memberikan mereka banyak keunggulan dalam adaptasi teknologi dan informasi. Namun, tantangan yang mereka hadapi bukanlah hal yang sederhana. Menemukan keseimbangan antara keteraturan hidup yang diharapkan oleh masyarakat dan mengejar aspirasi pribadi menjadi dilema yang terus-menerus mereka hadapi. Bagaimana generasi ini menjawab tantangan tersebut akan menentukan kontribusi mereka bagi masa depan bangsa dan dunia.

Keteraturan dalam Dunia yang Berubah Cepat

Tekanan untuk mencapai stabilitas melalui jalur tradisional seperti pendidikan formal dan pekerjaan tetap tetap menjadi norma di masyarakat. Orang tua dan masyarakat sering kali mendorong generasi muda, termasuk Gen Z, untuk mengikuti pola hidup yang sudah terbukti membawa stabilitas bagi generasi sebelumnya. 

Namun, tantangan zaman telah mengubah dinamika ini, membuat jalur tradisional tidak selalu relevan atau memadai untuk menjamin kesuksesan.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 9,9 juta pemuda Indonesia berusia 15 hingga 24 tahun—sekitar 22,25% dari kelompok usia tersebut—tergolong dalam kategori NEET (Not in Employment, Education, or Training). Mereka adalah kelompok yang tidak bekerja, tidak bersekolah, dan tidak mengikuti pelatihan apa pun, yang menggambarkan kegagalan sistem tradisional dalam memenuhi kebutuhan mereka. 

Angka ini menunjukkan bahwa hampir satu dari empat pemuda Indonesia tidak terlibat dalam kegiatan produktif, sebuah ironi di tengah upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk mendukung pembangunan negara.

Fenomena ini mencerminkan tantangan besar yang dihadapi oleh Gen Z dalam mengejar stabilitas melalui jalur konvensional. Meskipun pendidikan formal tetap menjadi alat penting untuk mobilitas sosial, terdapat kesenjangan antara keterampilan yang diajarkan dalam pendidikan formal dan kebutuhan nyata pasar kerja. 

Menurut laporan McKinsey Global Institute, 60% pekerja di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, membutuhkan pelatihan ulang keterampilan (reskilling) agar tetap relevan di dunia kerja yang berubah cepat akibat otomatisasi dan digitalisasi.

Selain itu, keterbatasan akses terhadap pelatihan dan pendidikan berkualitas memperparah situasi ini, terutama bagi mereka yang berasal dari latar belakang ekonomi rendah. Keterbatasan ini bukan hanya soal akses fisik, tetapi juga mencakup kesenjangan digital. 

Berdasarkan laporan World Bank pada tahun 2022, hanya sekitar 58% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses internet yang memadai, sehingga membatasi peluang Gen Z untuk mengakses sumber daya pembelajaran dan pelatihan secara online.

Angka-angka ini memperkuat argumen bahwa pendekatan konvensional terhadap stabilitas sudah tidak memadai dalam menghadapi tantangan zaman. Diperlukan inovasi dalam sistem pendidikan, pelatihan vokasi, dan kebijakan ketenagakerjaan untuk memberikan Gen Z peluang yang lebih baik. Tanpa perubahan ini, ketidaksesuaian antara keterampilan dan kebutuhan pasar kerja akan terus memperburuk angka NEET, menambah beban sosial dan ekonomi bagi negara di masa mendatang.

Impian yang Terbentur Realitas

Gen Z dikenal sebagai generasi yang penuh dengan idealisme, ambisi, dan mimpi besar. Sebagai digital natives, mereka tumbuh dengan berbagai inspirasi global yang membentuk keinginan mereka untuk menjadi inovator, pengusaha, atau aktivis yang berdampak. Namun, meskipun potensi dan cita-cita mereka besar, banyak dari mereka yang harus menghadapi kenyataan pahit: realitas ekonomi dan sosial yang sering kali tidak mendukung pencapaian impian mereka.

Salah satu hambatan utama adalah ketidaksesuaian antara keterampilan yang dimiliki oleh Gen Z dan kebutuhan nyata di pasar kerja. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, dalam salah satu pernyataannya, mengakui bahwa banyak Gen Z yang menganggur karena ketidaksesuaian ini. Hal ini tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2023 yang mencatat tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia sebesar 7,88% pada kelompok usia 15-24 tahun, jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata nasional sebesar 5,45%.

Ketidaksesuaian ini sering kali berakar pada sistem pendidikan yang masih berorientasi pada teori dan kurang memberikan keterampilan praktis yang dibutuhkan di dunia kerja. Sebuah survei oleh McKinsey pada tahun 2021 menemukan bahwa 40% pengusaha di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mengidentifikasi kesenjangan keterampilan sebagai tantangan besar dalam merekrut tenaga kerja muda. 

Hal ini diperburuk oleh perubahan cepat dalam teknologi dan ekonomi global, yang menciptakan permintaan tinggi terhadap keterampilan di bidang digital, seperti coding, analisis data, dan pemasaran digital—area yang sering kali belum terakomodasi dalam kurikulum pendidikan formal.

Di sisi lain, realitas ekonomi seperti tingginya biaya hidup dan ketidakpastian pekerjaan menambah tekanan bagi Gen Z untuk segera mencapai stabilitas finansial. Banyak dari mereka yang merasa perlu mengambil pekerjaan di luar bidang yang mereka minati untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sehingga menghambat mereka dalam mengejar impian. Hal ini diperparah oleh dampak pandemi COVID-19, yang telah mengubah lanskap ketenagakerjaan secara drastis, menciptakan lebih banyak pekerjaan yang bersifat sementara atau informal, yang sering kali tidak memberikan keamanan finansial jangka panjang.

Selain faktor ekonomi, tekanan sosial juga menjadi penghalang. Dalam budaya yang masih mengutamakan kesuksesan konvensional seperti memiliki pekerjaan tetap dan gelar pendidikan tinggi, mereka yang memilih jalur berbeda sering kali menghadapi stigma. Hal ini dapat mengurangi motivasi dan membuat mereka merasa terisolasi dalam mengejar impian yang mungkin dianggap tidak realistis oleh masyarakat.

Meskipun demikian, peluang tetap ada. Kebangkitan ekonomi digital di Indonesia, misalnya, menawarkan jalan bagi Gen Z untuk mengeksplorasi minat mereka melalui kewirausahaan digital dan pekerjaan berbasis teknologi. 

Data dari Google, Temasek, dan Bain & Company pada tahun 2023 menunjukkan bahwa ekonomi digital Indonesia diperkirakan tumbuh hingga USD 130 miliar pada tahun 2025, membuka berbagai peluang di bidang e-commerce, teknologi keuangan, dan konten digital. Dukungan dari pemerintah dan sektor swasta, seperti program pelatihan digital dan hibah kewirausahaan, dapat membantu Gen Z menjembatani kesenjangan keterampilan dan mewujudkan impian mereka.

Dengan langkah-langkah strategis untuk memperbaiki sistem pendidikan, mempermudah akses ke pelatihan keterampilan, dan menghilangkan stigma terhadap jalur karier alternatif, Gen Z memiliki peluang besar untuk mengatasi rintangan ini. Realitas mungkin keras, tetapi dengan dukungan yang tepat, mereka dapat mengubah idealisme menjadi tindakan nyata yang berdampak.

Tantangan Kesehatan Mental

Tekanan untuk memenuhi ekspektasi sosial dan pribadi menjadi tantangan yang signifikan bagi Gen Z, dan dampaknya terhadap kesehatan mental semakin terlihat. Dalam survei oleh McKinsey Health Institute di Amerika Serikat, 18% Gen Z melaporkan memiliki kondisi mental yang buruk atau sangat buruk, angka yang lebih tinggi dibandingkan generasi sebelumnya. Hal ini menggarisbawahi kerentanan unik yang dihadapi generasi ini dalam menghadapi tuntutan zaman yang serba cepat.

Meskipun data spesifik untuk Indonesia terbatas, tren serupa kemungkinan besar terjadi. Tekanan untuk tampil "sempurna" di era media sosial, di mana kehidupan sering kali dipamerkan melalui lensa estetika yang ideal, menciptakan standar yang sulit dicapai. 

Sebuah survei oleh We Are Social dan Hootsuite pada tahun 2023 menemukan bahwa pengguna media sosial di Indonesia menghabiskan rata-rata 3 jam 18 menit per hari di platform digital, menjadikan mereka salah satu pengguna media sosial paling aktif di dunia. Aktivitas ini dapat memicu perbandingan sosial yang berlebihan, meningkatkan rasa cemas, dan menurunkan rasa percaya diri.

Selain itu, tantangan ekonomi juga turut berkontribusi pada kesehatan mental Gen Z. Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, tingkat pengangguran terbuka di kelompok usia 15-24 tahun mencapai 7,88%, jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok usia lainnya. Ketidakpastian ekonomi ini dapat memicu stres yang berkepanjangan, terutama di kalangan individu muda yang merasa tertekan untuk segera mencapai stabilitas finansial.

Dalam konteks pendidikan, tekanan untuk mencapai prestasi akademik yang tinggi juga menjadi faktor penting. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh UNICEF pada tahun 2022, 45% remaja Indonesia melaporkan mengalami tekanan untuk berhasil di sekolah, yang dapat menyebabkan kecemasan dan kelelahan mental. 

Banyak dari mereka merasa bahwa nilai akademik adalah indikator utama kesuksesan mereka, sehingga mengabaikan aspek lain dari kehidupan yang sama pentingnya, seperti kesehatan emosional dan hubungan sosial.

Kendala akses terhadap layanan kesehatan mental juga menjadi masalah yang memperburuk situasi. Laporan dari WHO pada tahun 2021 menunjukkan bahwa Indonesia hanya memiliki 0,18 psikolog per 100.000 penduduk, jauh di bawah standar global. Akibatnya, banyak Gen Z yang tidak memiliki akses memadai untuk mendapatkan dukungan yang mereka butuhkan, baik karena stigma sosial maupun keterbatasan layanan.

Namun, di tengah tantangan ini, ada peluang untuk perubahan. Kesadaran akan pentingnya kesehatan mental di kalangan Gen Z mulai meningkat. Sebuah survei yang dilakukan oleh Katadata Insight Center pada tahun 2023 menemukan bahwa lebih dari 60% Gen Z di Indonesia menyadari pentingnya kesehatan mental dan terbuka untuk mencari bantuan profesional. Hal ini menunjukkan potensi perbaikan melalui edukasi dan penyediaan layanan yang lebih mudah diakses.

Langkah-langkah strategis dapat dilakukan untuk mendukung kesehatan mental Gen Z, termasuk integrasi pendidikan kesehatan mental di sekolah, perluasan layanan konseling digital, dan penghapusan stigma terhadap gangguan mental. Dengan pendekatan yang lebih holistik dan akses yang lebih baik, Gen Z dapat menghadapi tekanan zaman dengan lebih tangguh, membuka jalan untuk kehidupan yang lebih sehat dan produktif.

Menemukan Keseimbangan

Menemukan keseimbangan antara keteraturan yang diharapkan oleh masyarakat dan impian pribadi menjadi kunci bagi Gen Z untuk menghadapi tantangan zaman. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah melalui reformasi pendidikan. 

Kurikulum yang lebih responsif terhadap kebutuhan industri dan perkembangan zaman harus menjadi prioritas. Sistem pendidikan yang tidak hanya berfokus pada pencapaian akademik tetapi juga mendorong keterampilan praktis, seperti kewirausahaan, kreativitas, dan pemecahan masalah, dapat membantu Gen Z mempersiapkan diri untuk pasar kerja yang dinamis.

 Hal ini penting, mengingat teknologi dan globalisasi telah mengubah lanskap ekonomi secara signifikan, menciptakan kebutuhan akan keterampilan yang berbeda dari era sebelumnya.

Selain itu, kesehatan mental juga menjadi fondasi penting dalam mendukung keseimbangan hidup Gen Z. Meningkatkan akses terhadap layanan kesehatan mental dan menghapus stigma seputar gangguan mental adalah langkah yang sangat dibutuhkan. Data dari DDI (Dunia Digital Indonesia) menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya kesehatan mental semakin tinggi di kalangan Gen Z. 

Hal ini mencerminkan peluang besar untuk menciptakan intervensi yang lebih efektif, seperti menyediakan layanan konseling berbasis digital, pelatihan manajemen stres, serta program pendidikan kesehatan mental di sekolah dan universitas. Dengan menciptakan lingkungan yang mendukung, Gen Z dapat memiliki ruang untuk bertumbuh tanpa tekanan yang berlebihan.

Peluang kewirausahaan juga menjadi jalur strategis untuk membantu Gen Z mewujudkan impian mereka sambil menciptakan dampak ekonomi. Dalam dunia yang semakin terhubung secara digital, peluang untuk menciptakan bisnis baru, baik di bidang teknologi, ekonomi kreatif, maupun sektor lainnya, terus berkembang. 

Program pelatihan kewirausahaan, akses terhadap pendanaan, dan kebijakan yang mendukung inovasi dapat menjadi katalisator bagi Gen Z untuk mengambil risiko yang diperhitungkan dan menjadikan ide mereka sebagai kenyataan. Ekosistem yang inklusif dan suportif tidak hanya akan mendorong kreativitas mereka, tetapi juga berkontribusi pada penciptaan lapangan kerja baru yang relevan dengan kebutuhan zaman.

Dengan kombinasi reformasi pendidikan, dukungan kesehatan mental, dan pemberdayaan kewirausahaan, Gen Z dapat diberdayakan untuk mengatasi tantangan yang mereka hadapi. Upaya ini tidak hanya akan membantu mereka mencapai keseimbangan antara keteraturan dan impian, tetapi juga menjadikan mereka agen perubahan yang mampu memberikan dampak positif bagi masyarakat dan dunia di masa depan.

Kesimpulan

Gen Z berada di persimpangan antara keteraturan yang diharapkan oleh masyarakat dan impian pribadi yang mereka kejar. Sebagai generasi yang tumbuh di tengah percepatan teknologi dan perubahan global, mereka menghadapi tantangan yang belum pernah dihadapi generasi sebelumnya. Namun, di balik tekanan yang ada, Gen Z juga memiliki potensi besar untuk membawa perubahan yang signifikan jika diberdayakan dengan pendekatan yang tepat.

Dukungan dalam bidang pendidikan menjadi fondasi utama untuk membantu mereka menavigasi jalan menuju masa depan yang lebih baik. Pendidikan yang adaptif, relevan dengan kebutuhan zaman, dan mendorong kreativitas serta inovasi dapat membuka peluang bagi mereka untuk berkembang secara maksimal.

 Selain itu, perhatian terhadap kesehatan mental menjadi aspek yang tak terpisahkan dalam membentuk generasi yang tangguh dan mampu menghadapi tekanan hidup modern. Akses yang lebih luas terhadap layanan kesehatan mental serta penghapusan stigma akan memberikan ruang bagi Gen Z untuk merawat kesejahteraan emosional mereka.

Di sisi lain, peluang ekonomi, terutama di sektor-sektor yang berkembang seperti teknologi dan kewirausahaan, perlu terus diperluas untuk memberikan mereka ruang berkreasi sekaligus mendukung stabilitas finansial. Dengan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, lembaga pendidikan, dan masyarakat, ekosistem yang inklusif dapat terwujud, memungkinkan Gen Z untuk mengaktualisasikan potensi mereka tanpa terjebak dalam batasan konvensional.

Pada akhirnya, perjalanan Gen Z untuk menyeimbangkan keteraturan dan impian mereka tidak hanya penting bagi diri mereka sendiri tetapi juga bagi masa depan bangsa. 

Dengan bimbingan, sumber daya, dan lingkungan yang mendukung, generasi ini dapat menjadi penggerak utama dalam menciptakan Indonesia yang lebih maju, inklusif, dan berdaya saing di kancah global. Tantangan yang mereka hadapi hari ini adalah batu loncatan menuju pencapaian yang lebih besar di masa depan.

Sumber Rujukan

Badan Pusat Statistik. (2023). Tingkat Pengangguran Terbuka berdasarkan Kelompok Umur di Indonesia. Diakses dari https://bps.go.id

Binus University. (2022). Gen Z dan Tantangan Kesehatan Mental: Benarkah Mereka Kurang Tangguh?. Diakses dari https://binus.ac.id

Google, Temasek, & Bain & Company. (2023). e-Conomy SEA Report 2023: Southeast Asia’s Digital Economy Growth. Diakses dari https://google.com/economySEA

Kompas. (2023). 9,9 Juta Pemuda Indonesia Tidak Bekerja atau Sekolah: Tantangan Generasi Muda di Tengah Ketidakpastian. Diakses dari https://kompas.com

Kumparan. (2023). Menaker Akui Banyak Gen Z Menganggur karena Tidak Sesuai dengan Pasar Kerja. Diakses dari https://kumparan.com

McKinsey & Company. (2021). The Future of Work in Southeast Asia. Diakses dari https://mckinsey.com

McKinsey Health Institute. (2021). Mental Health and Well-being in the Workplace. Diakses dari https://mckinsey.com

Pusat Studi Kebijakan Pendidikan (PSKP) Kemdikbud. (2023). Gen Z Dominan: Apa Maknanya bagi Pendidikan Kita?. Diakses dari https://pskp.kemdikbud.go.id

UNICEF. (2022). Teen Mental Health in Southeast Asia: Pressure, Expectations, and Resilience. Diakses dari https://unicef.org

World Bank. (2022). Digital Access in Indonesia: Bridging the Gap. Diakses dari https://worldbank.org

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun