Program Swasembada Pangan bertujuan untuk menjadikan Indonesia mandiri dalam pemenuhan kebutuhan pangan pokok, yang pada gilirannya akan memperkuat kemandirian ekonomi nasional. Dengan swasembada pangan, Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada harga pangan global dan memastikan bahwa kebutuhan pangan masyarakat tetap terpenuhi, meski terjadi krisis di negara lain. Namun, mencapai swasembada pangan membutuhkan lebih dari sekadar peningkatan produksi. Diperlukan upaya yang menyeluruh untuk meningkatkan produktivitas lahan, memperluas area pertanian, dan memperkuat rantai pasok pangan domestik.
Untuk mewujudkan ini, modernisasi teknologi pertanian menjadi faktor kunci. Teknologi seperti precision agriculture, penggunaan sensor untuk mengukur kebutuhan nutrisi tanaman, serta mekanisasi proses pertanian dapat meningkatkan hasil panen dan efisiensi lahan. Menurut kajian FAO, modernisasi teknologi dapat meningkatkan hasil panen hingga 30%, yang berarti Indonesia dapat meningkatkan produksi pangan dengan lebih sedikit lahan, mengatasi tantangan keterbatasan lahan akibat konversi lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian.
Untuk mendukung program swasembada pangan, diperlukan investasi besar dalam sektor pertanian. Berdasarkan laporan FAO, untuk mencapai ketahanan pangan yang berkelanjutan, setiap negara perlu meningkatkan investasinya di sektor pertanian sebesar 20-30% per tahun. Di Indonesia, investasi ini harus mencakup berbagai aspek, mulai dari infrastruktur irigasi, pengembangan bibit unggul, hingga pelatihan petani dalam praktik pertanian yang lebih efisien dan berkelanjutan. Anggaran besar yang dialokasikan secara tepat pada sektor pertanian dapat meningkatkan kapasitas produksi dalam negeri, meminimalkan kebutuhan impor, serta menciptakan lapangan kerja baru bagi masyarakat pedesaan.
Selain itu, pengembangan infrastruktur pertanian yang memadai menjadi faktor penting lainnya. Sistem irigasi yang baik, akses jalan ke lahan pertanian, dan fasilitas penyimpanan pasca-panen dapat mengurangi tingkat kerugian produksi hingga 15-20%, yang sering kali terjadi akibat kurangnya infrastruktur penyimpanan dan distribusi yang efisien. Peran pemerintah sangat vital dalam membangun dan memperkuat infrastruktur ini, mengingat bahwa sebagian besar petani di Indonesia adalah petani kecil yang tidak memiliki modal besar untuk berinvestasi dalam infrastruktur mereka sendiri.
Mengingat skala dan tantangan besar dalam mencapai swasembada pangan, komitmen anggaran yang besar dari pemerintah diperlukan untuk mendukung berbagai program ini. Namun, untuk mengurangi beban pemerintah, kolaborasi dengan sektor swasta juga dapat menjadi solusi. Melalui skema kerja sama publik-swasta (Public-Private Partnership/PPP), sektor swasta dapat berperan dalam investasi teknologi, penelitian pertanian, dan pengembangan fasilitas penyimpanan. Negara-negara lain seperti Brasil dan Vietnam telah menunjukkan bagaimana kolaborasi ini bisa meningkatkan produktivitas pertanian dan menurunkan ketergantungan pada impor.
Kesuksesan Program Swasembada Pangan tidak hanya bergantung pada satu atau dua kebijakan, tetapi memerlukan pendekatan yang terintegrasi dan berkesinambungan. Dengan modernisasi teknologi, peningkatan investasi, dan pembangunan infrastruktur yang memadai, Indonesia dapat menuju kemandirian pangan yang tidak hanya memastikan ketersediaan pangan di dalam negeri, tetapi juga memperkuat stabilitas ekonomi dan sosial.
Keterbatasan Anggaran dan Tantangan Prioritas
Menghadapi dilema ini, Menteri AHY harus mempertimbangkan dampak jangka pendek dan panjang dari setiap pilihan yang diambil. Alokasi anggaran untuk Program 3 Juta Rumah dan Swasembada Pangan akan memengaruhi aspek mendasar dari kesejahteraan masyarakat. Di satu sisi, alokasi untuk perumahan dan infrastruktur memiliki dampak langsung terhadap ekonomi domestik melalui efek berantai atau multiplier effect. Menurut laporan World Bank, investasi pada sektor perumahan dan infrastruktur dapat meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) melalui peningkatan aktivitas di sektor konstruksi, manufaktur bahan bangunan, dan menciptakan lapangan kerja, terutama di perkotaan. Dalam konteks Indonesia, di mana urbanisasi terjadi dengan cepat, penyediaan perumahan yang memadai menjadi urgensi utama untuk menjaga stabilitas sosial dan ekonomi.
Namun, sektor perumahan yang kuat memerlukan anggaran besar, dan ini bisa mengurangi alokasi untuk sektor pangan. Dengan memilih untuk memprioritaskan Program 3 Juta Rumah, backlog perumahan—yang menurut BPS mencapai sekitar 11 juta unit pada 2023—dapat dikurangi secara signifikan. Hal ini akan meningkatkan kualitas hidup warga, mengurangi kawasan permukiman kumuh, dan menyediakan rumah layak untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Efek dari program ini juga akan menciptakan lapangan kerja baru di sektor konstruksi, yang dapat meningkatkan daya beli masyarakat dan mendukung pemulihan ekonomi. Namun, risiko dari pendekatan ini adalah ketergantungan yang masih tinggi pada impor pangan, yang berpotensi mengancam stabilitas ekonomi dan keamanan pangan ketika terjadi gejolak harga di pasar global.
Di sisi lain, jika Menteri AHY memprioritaskan Swasembada Pangan, Indonesia akan lebih tangguh menghadapi fluktuasi harga pangan dan krisis global yang kerap terjadi. Swasembada pangan memperkuat ketahanan ekonomi, karena negara tidak lagi terlalu bergantung pada impor komoditas utama. Ketahanan pangan domestik juga berpotensi mengurangi pengeluaran untuk impor dan menciptakan lapangan kerja di pedesaan, sehingga membantu menurunkan tingkat kemiskinan. Dalam laporan FAO, investasi dalam sektor pertanian terbukti mampu menciptakan lapangan kerja di daerah pedesaan, mendukung pertumbuhan ekonomi lokal, dan meningkatkan kesejahteraan petani kecil. Di samping itu, modernisasi dan inovasi pertanian dapat meningkatkan produktivitas lahan dan membuat sektor ini lebih menarik bagi generasi muda.
Namun, pilihan ini memiliki konsekuensi terhadap pencapaian target Program 3 Juta Rumah. Prioritas pada swasembada pangan bisa membuat target perumahan tertunda atau hanya sebagian yang dapat terealisasi. Ketika kebutuhan perumahan terus meningkat seiring pertumbuhan populasi, keterlambatan dalam penyediaan hunian layak bisa meningkatkan jumlah warga yang tinggal di permukiman kumuh dan memperburuk masalah sosial di perkotaan.