Mohon tunggu...
syahmardi yacob
syahmardi yacob Mohon Tunggu... Dosen - Guru Besar Manajemen Pemasaran Universitas Jambi

Prof. Dr. Syahmardi Yacob, Guru Besar Manajemen Pemasaran di Universitas Jambi, memiliki passion yang mendalam dalam dunia akademik dan penelitian, khususnya di bidang strategi pemasaran, pemasaran pariwisata, pemasaran ritel, politik pemasaran, serta pemasaran di sektor pendidikan tinggi. Selain itu, beliau juga seorang penulis aktif yang tertarik menyajikan wawasan pemasaran strategis melalui tulisan beberapa media online di grup jawa pos Kepribadian beliau yang penuh semangat dan dedikasi tercermin dalam hobinya yang beragam, seperti menulis, membaca, dan bermain tenis. Menulis menjadi sarana untuk menyampaikan ide-ide segar dan relevan di dunia pemasaran, baik dari perspektif teoritis maupun aplikatif. Gaya beliau yang fokus, informatif, dan tajam dalam menganalisis isu-isu pemasaran menjadikan tulisannya memiliki nilai tambah yang kuat, khususnya dalam memberikan pencerahan dan solusi praktis di ranah pemasaran Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Rumah atau Pangan? AHY di Ambang Keputusan Besar untuk Masa Depan Indonesia

11 November 2024   14:35 Diperbarui: 11 November 2024   14:44 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Program pembangunan nasional selalu dihadapkan pada pilihan prioritas yang tidak mudah, terutama di sektor-sektor yang menjadi fondasi kesejahteraan rakyat, seperti perumahan dan pangan. Saat ini, Indonesia menghadapi berbagai tantangan ekonomi, dari meningkatnya kebutuhan akan hunian yang layak hingga ketergantungan pada impor pangan, yang membuat ketahanan ekonomi dan sosial masyarakat menjadi rapuh terhadap guncangan global. Di tengah kondisi ini, Menteri Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), selaku Menteri Koordinator, Infrastruktur, Ekonomi, dan Kewilayahan, menghadapi salah satu dilema kebijakan terbesar: memastikan setiap rakyat Indonesia memiliki tempat tinggal yang layak, sekaligus mencapai swasembada pangan demi stabilitas dan ketahanan ekonomi negara.

Program 3 Juta Rumah dan Swasembada Pangan sama-sama bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, tetapi dengan keterbatasan anggaran negara yang ada, pemerintah harus membuat pilihan yang sulit. Di satu sisi, hunian yang terjangkau adalah kebutuhan dasar dan hak fundamental, yang apabila dipenuhi, dapat memperkuat stabilitas sosial, meningkatkan produktivitas tenaga kerja, dan merangsang sektor konstruksi serta industri terkait. Di sisi lain, ketergantungan pada impor pangan membuat Indonesia sangat rentan terhadap volatilitas pasar global, terutama pada masa krisis atau saat harga pangan dunia melonjak.

Dalam dilema ini, prioritas mana yang harus didahulukan? Apakah pemerintah harus fokus pada upaya mewujudkan rumah layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau memastikan ketahanan pangan nasional dengan mengurangi ketergantungan impor? Tantangan ini bukan hanya soal memilih mana yang lebih mendesak, tetapi juga tentang merancang strategi jangka panjang yang efektif untuk mendorong kemajuan di kedua bidang ini secara beriringan.

Urgensi Program 3 Juta Rumah

Kebutuhan akan perumahan yang terjangkau dan layak semakin mendesak di Indonesia, terutama dengan pesatnya urbanisasi yang membuat kota-kota besar menghadapi krisis hunian. Menurut proyeksi Bank Dunia, Indonesia akan mengalami urbanisasi yang meningkat secara signifikan dalam beberapa dekade mendatang, di mana sekitar 68% penduduk akan tinggal di daerah perkotaan pada tahun 2045. Kondisi ini akan meningkatkan permintaan perumahan, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung, yang sudah mengalami keterbatasan lahan dan melonjaknya harga properti. Ketidaktersediaan perumahan yang layak dan terjangkau menempatkan masyarakat berpenghasilan rendah dalam posisi yang sangat rentan, di mana mereka seringkali terpaksa tinggal di permukiman kumuh atau hunian tidak layak yang tidak mendukung kesejahteraan dan kesehatan mereka.

Program 3 Juta Rumah menjadi solusi strategis pemerintah untuk mengatasi backlog perumahan yang mencapai sekitar 11 juta unit pada 2023, sebuah angka yang menunjukkan adanya kesenjangan besar dalam pemenuhan kebutuhan hunian bagi masyarakat. Program ini menargetkan pembangunan hunian untuk kelompok berpenghasilan rendah, dengan tujuan tidak hanya menyediakan atap, tetapi juga menciptakan lingkungan yang layak huni, aman, dan mendukung kesejahteraan keluarga. Hunian yang layak memiliki dampak langsung terhadap kualitas hidup dan produktivitas tenaga kerja, karena warga yang tinggal di lingkungan yang aman dan sehat akan lebih fokus dalam pekerjaan mereka, lebih terjaga kesehatannya, serta memiliki akses yang lebih baik ke pendidikan dan fasilitas umum lainnya.

Namun, upaya besar ini menghadapi tantangan anggaran yang signifikan. Dengan keterbatasan fiskal yang ada, pemerintah perlu mempertimbangkan sumber pendanaan alternatif, seperti kolaborasi dengan sektor swasta dan skema pembiayaan inovatif, untuk memastikan bahwa target Program 3 Juta Rumah dapat tercapai. Dalam RAPBN 2024, anggaran untuk sektor infrastruktur, termasuk perumahan, memang sudah disesuaikan, tetapi penambahan anggaran mungkin masih diperlukan agar program ini dapat berjalan optimal.

Selain itu, Program 3 Juta Rumah juga menghadapi tantangan dalam hal ketersediaan lahan dan regulasi yang terkadang memperlambat proses pembangunan. Pemerintah perlu melakukan pendekatan strategis dalam pemanfaatan lahan, terutama dengan memprioritaskan pemanfaatan lahan yang berdekatan dengan akses transportasi umum dan fasilitas publik untuk menciptakan hunian terintegrasi yang dapat mendukung pergerakan dan aktivitas ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah.

Krisis Ketahanan Pangan: Kenapa Swasembada Penting?

Ketahanan pangan menjadi isu krusial bagi Indonesia, terutama dalam konteks ekonomi global yang semakin tidak stabil. Ketergantungan yang tinggi pada impor pangan, seperti beras, daging, kedelai, dan gula, membuat Indonesia rentan terhadap berbagai risiko, seperti fluktuasi harga internasional dan gangguan rantai pasokan. Ketika terjadi krisis global, seperti pandemi COVID-19 atau konflik geopolitik yang mempengaruhi negara produsen utama, harga pangan internasional melonjak drastis, dan Indonesia tidak luput dari dampaknya. Pada tahun 2022, harga pangan global melonjak sekitar 23%, terutama akibat krisis rantai pasokan dan konflik di Eropa Timur, yang menunjukkan betapa rentannya negara yang masih bergantung pada impor pangan.

Menurut data dari Kementerian Pertanian, sekitar 10% dari kebutuhan pangan nasional masih dipenuhi dari impor. Meski tampaknya angka ini relatif kecil, ketergantungan pada komoditas pokok tertentu seperti kedelai dan daging memiliki dampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi domestik, terutama di tengah kondisi ekonomi yang bergejolak. Ketergantungan ini bukan hanya masalah ketahanan pangan, tetapi juga merupakan ancaman bagi stabilitas ekonomi dan keamanan nasional. Pangan adalah kebutuhan dasar yang apabila pasokannya terganggu, dapat menyebabkan ketidakpuasan publik dan bahkan memicu kerusuhan sosial.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun