Defisit APBN Indonesia yang mencapai Rp153,7 triliun hingga Agustus 2024 menandakan adanya tantangan fiskal signifikan. Dalam konteks ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyuarakan kekhawatirannya karena ketidakpastian ekonomi global semakin meningkatkan tekanan pada keuangan negara. Pertumbuhan ekonomi global yang melambat, terutama dari Tiongkok, dan kebijakan moneter ketat di Amerika Serikat memperparah situasi.
Menurut IMF (2024), kebijakan moneter ketat dan perlambatan ekonomi di negara-negara besar, seperti AS dan Tiongkok, berdampak pada negara berkembang karena peningkatan risiko arus modal keluar dan pelemahan nilai tukar. Di tengah kondisi ini, analisis dampak defisit APBN bagi sektor bisnis di Indonesia sangat relevan serta menjadi basis bagi pelaku usaha dan industri untuk menyusun strategi mitigasi.
Dampak Defisit APBN bagi Dunia Usaha
1. Tekanan Likuiditas dan Kenaikan Suku Bunga
Defisit APBN mengharuskan pemerintah untuk meningkatkan penerbitan surat utang, yang mendorong kenaikan suku bunga domestik. Menurut sebuah studi oleh Blanchard et al. (2020) dalam American Economic Review, kenaikan suku bunga pemerintah dapat mendorong peningkatan suku bunga pada pasar perbankan dan obligasi korporasi, yang pada akhirnya menambah beban biaya pinjaman bagi sektor swasta. Di Indonesia, peningkatan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) adalah respons untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah dan mengontrol inflasi, yang berdampak langsung pada biaya pinjaman bagi pelaku usaha, khususnya UMKM yang bergantung pada pinjaman bank.
Data BI (2024) menunjukkan bahwa suku bunga acuan telah mengalami kenaikan 50 basis poin sejak awal tahun, dengan tren yang diperkirakan masih akan berlanjut. Kenaikan suku bunga ini berpotensi mengurangi kemampuan perusahaan untuk ekspansi atau bahkan mempertahankan operasional sehari-hari akibat biaya pembiayaan yang meningkat.
2. Risiko Depresiasi Rupiah
Peningkatan defisit APBN bersamaan dengan ketatnya kebijakan moneter AS menciptakan risiko pelemahan rupiah. Ketika arus modal keluar meningkat, rupiah tertekan, dan ini berdampak langsung pada biaya impor. Sektor manufaktur dan industri, yang sangat bergantung pada bahan baku impor, merasakan dampak pelemahan rupiah pada margin keuntungan mereka.
Sebuah penelitian dalam Journal of International Economics oleh Gopinath dan Stein (2018) menunjukkan bahwa depresiasi mata uang di negara berkembang sering kali berujung pada inflasi yang tinggi karena ketergantungan pada barang impor. Dalam konteks Indonesia, inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan harga barang impor dapat menekan daya beli masyarakat, mengurangi permintaan, dan akhirnya menekan penjualan.
3. Inflasi dan Penurunan Daya Beli Konsumen
Kenaikan harga barang impor akibat depresiasi rupiah akan berdampak pada inflasi domestik. Inflasi yang tinggi dapat mengurangi daya beli masyarakat. Sektor yang mengandalkan konsumsi domestik, seperti ritel dan perdagangan, akan mengalami penurunan permintaan akibat konsumen yang cenderung menahan pengeluaran.
Berdasarkan data BPS (2024), inflasi Indonesia hingga Agustus telah mencapai 4,7%, meningkat dibanding tahun sebelumnya yang berada di sekitar 3,5%. Kenaikan ini sebagian besar disebabkan oleh harga barang impor yang lebih mahal dan kenaikan harga pangan. Sebuah studi dari Economic Modelling oleh Fanelli et al. (2022) menemukan bahwa inflasi berdampak langsung pada perilaku konsumen, yang cenderung mengurangi pembelian produk-produk tidak esensial selama periode inflasi tinggi.
4. Potensi Peningkatan Pajak atau Pungutan Tambahan
Untuk menutupi defisit, pemerintah mungkin mempertimbangkan kebijakan pajak baru atau peningkatan tarif pajak yang ada. Peningkatan pajak akan menambah beban operasional bisnis, terutama di sektor-sektor yang sudah menghadapi tantangan biaya produksi yang tinggi.
Studi oleh Anderson dan Winters (2019) dalam Journal of Economic Perspectives menyebutkan bahwa peningkatan pajak korporasi dapat mengurangi daya saing perusahaan, terutama dalam industri yang padat modal. Dengan meningkatnya tekanan fiskal, bisnis di Indonesia harus mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan beban pajak tambahan yang akan mempengaruhi profitabilitas mereka.
5. Pengurangan Anggaran untuk Subsidi dan Insentif
Ketika defisit meningkat, pemerintah sering kali melakukan pengurangan anggaran pada sektor-sektor tertentu, termasuk subsidi dan insentif bisnis. Ini akan berdampak pada sektor-sektor yang selama ini sangat bergantung pada subsidi, seperti sektor pertanian dan energi terbarukan. Tanpa dukungan pemerintah, biaya produksi meningkat dan bisnis harus mencari cara untuk meningkatkan efisiensi atau menanggung biaya tambahan.
Strategi Mitigasi bagi Pelaku Usaha di Tahun 2025
Dalam menghadapi tantangan ini, pelaku usaha perlu mengadopsi strategi mitigasi sebagai berikut:
- Diversifikasi Pasar dan Sumber Bahan Baku
Untuk mengurangi ketergantungan pada impor, perusahaan perlu mempertimbangkan sumber bahan baku lokal atau diversifikasi pasar. Studi dari Choi dan Yan (2021) dalam Journal of Operations Management menunjukkan bahwa perusahaan yang melakukan diversifikasi rantai pasok memiliki ketahanan yang lebih baik terhadap fluktuasi harga global. Mengadopsi strategi ini juga membantu mengurangi eksposur terhadap fluktuasi nilai tukar.
- Efisiensi Operasional dan Pengelolaan Arus Kas yang Lebih Ketat
Menjaga arus kas yang sehat sangat penting dalam kondisi suku bunga tinggi. Digitalisasi dan otomatisasi dalam proses operasional dapat membantu perusahaan mengurangi biaya dan meningkatkan produktivitas. Menurut McKinsey (2023), digitalisasi operasional dapat meningkatkan efisiensi hingga 30%, yang menjadi solusi bagi perusahaan dalam menekan biaya.
- Pengelolaan Risiko Nilai Tukar melalui Hedging
Perusahaan yang sangat bergantung pada impor dapat mempertimbangkan strategi hedging untuk melindungi dari risiko nilai tukar. Instrumen seperti kontrak forward dan opsi mata uang dapat membantu menjaga stabilitas biaya dan melindungi margin keuntungan.
- Memanfaatkan Insentif yang Masih Tersedia
Meski ruang fiskal menyempit, pemerintah tetap berkomitmen pada insentif di sektor-sektor prioritas. Pelaku usaha dapat menjelajahi peluang insentif pemerintah, terutama di bidang teknologi informasi, agrikultur, dan energi terbarukan, untuk meringankan beban biaya.
- Kolaborasi Antar-Bisnis dan Diversifikasi Sumber Pembiayaan
Kolaborasi antar-bisnis, terutama dalam pengadaan bahan baku atau logistik, dapat membantu mengurangi biaya. Diversifikasi sumber pembiayaan, seperti melalui obligasi atau kemitraan dengan investor, juga memberikan fleksibilitas tambahan dalam kondisi finansial yang menantang.
 Kesimpulan
Defisit APBN yang mencapai Rp153,7 triliun menunjukkan adanya tantangan besar dalam pengelolaan fiskal Indonesia, yang berpotensi memberikan dampak serius pada dunia usaha. Situasi ini diperburuk oleh perlambatan ekonomi global dan pengetatan kebijakan moneter di negara-negara maju. Dampaknya dapat dirasakan dalam bentuk peningkatan suku bunga, depresiasi rupiah, inflasi, dan penurunan daya beli, yang akan mempengaruhi seluruh sektor bisnis, mulai dari manufaktur hingga ritel.
Namun, pelaku usaha dapat menghadapi tantangan ini dengan mengadopsi strategi mitigasi yang tepat, seperti diversifikasi pasar, efisiensi operasional, pengelolaan arus kas yang lebih ketat, serta memanfaatkan peluang insentif pemerintah. Dukungan dari pemerintah dalam menjaga stabilitas ekonomi dan memberikan insentif kepada sektor-sektor strategis akan sangat membantu dunia usaha untuk tetap kompetitif dan bertahan dalam kondisi yang tidak pasti. Pada akhirnya, ketahanan sektor bisnis dalam menghadapi tantangan fiskal ini akan menjadi kunci bagi stabilitas ekonomi Indonesia di tahun 2025 dan seterusnya.
Sumber rujukan
Blanchard, O., Leandro, A., & Zettelmeyer, J. (2020). Redesigning the EU Fiscal Rules: From Rules to Standards. American Economic Review, 110(4), 1195-1236. doi:10.1257/aer.2020
Gopinath, G., & Stein, J. C. (2018). Banking, Trade, and the Making of a Dominant Currency. Journal of International Economics, 115, 56-78. doi:10.1016/j.jinteco.2018.10.002
Fanelli, L., Grigoli, F., & Maliszewski, W. (2022). Inflation and Consumer Behavior in Developing Economies. Economic Modelling, 112, 1-12. doi:10.1016/j.econmod.2021.01.018
Anderson, K., & Winters, L. A. (2019). The Impact of Tax Policies on Global Competitiveness and Economic Growth. Journal of Economic Perspectives, 33(2), 121-145. doi:10.1257/jep.33.2.121
Choi, T., & Yan, T. (2021). Supply Chain Diversification in Response to Global Economic Shocks: A Strategic Approach. Journal of Operations Management, 67, 89-105. doi:10.1016/j.jom.2021.05.001
International Monetary Fund (IMF). (2024). Global Economic Outlook: Challenges for Emerging Markets. Retrieved from https://www.imf.org
McKinsey & Company. (2023). Digital Transformation in Operations: Increasing Efficiency and Productivity by 30%. McKinsey Insights. Retrieved from https://www.mckinsey.com
Bank Indonesia (BI). (2024). Economic and Monetary Report: Interest Rate and Inflation Trends in Indonesia. Bank Indonesia Reports. Retrieved from https://www.bi.go.id
Badan Pusat Statistik (BPS). (2024). Indonesian Inflation Report August 2024. Badan Pusat Statistik. Retrieved from https://www.bps.go.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H