Swasembada pangan dan energi merupakan dua isu strategis yang menentukan kedaulatan dan stabilitas ekonomi Indonesia.Â
Ketergantungan pada impor, baik untuk pangan maupun energi, menciptakan kerentanan ekonomi dalam menghadapi dinamika global yang penuh ketidakpastian.Â
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, produksi beras nasional diperkirakan mencapai sekitar 30,34 juta ton, mendekati kebutuhan nasional, tetapi dengan margin surplus yang sangat tipis.Â
Selain itu, ketergantungan pada impor pangan lain seperti gandum dan gula masih sangat tinggi; data BPS menunjukkan bahwa sepanjang Januari-September 2024, impor gula mencapai 3,66 juta ton senilai US$2,15 miliar.Â
Ketergantungan ini memperlihatkan bahwa masih ada tantangan besar dalam mewujudkan ketahanan pangan secara mandiri, terutama dalam kondisi pasar global yang bergejolak.
Di sisi energi, ketergantungan pada bahan bakar fosil impor juga sangat signifikan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat bahwa pada semester pertama tahun 2024, impor minyak mencapai US$18,01 miliar, yang berdampak besar pada defisit transaksi berjalan Indonesia.Â
Ketergantungan ini tidak hanya membebani anggaran nasional tetapi juga menciptakan risiko inflasi yang tinggi akibat fluktuasi harga energi global. Berdasarkan potensi energi terbarukan Indonesia, seperti tenaga surya yang mencapai 207,8 gigawatt (GW) dan tenaga angin sebesar 60,6 GW, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengurangi ketergantungan ini. Namun, data Kementerian ESDM pada 2024 menunjukkan bahwa kapasitas terpasang energi terbarukan baru mencapai sekitar 66,6% dari target tahunan, mencerminkan masih rendahnya pemanfaatan energi alternatif ini.
Pemerintahan Presiden Prabowo menghadapi tantangan besar dalam lima tahun ke depan untuk membangun kemandirian di kedua sektor ini. Pencapaian swasembada pangan tidak hanya akan meningkatkan ketahanan ekonomi, tetapi juga mengurangi ketergantungan Indonesia pada fluktuasi harga internasional dan risiko inflasi pangan.Â
Di sisi lain, swasembada energi akan menurunkan beban anggaran akibat impor minyak dan bahan bakar lainnya serta mengurangi defisit transaksi berjalan. Dengan latar belakang ini, artikel ini akan membahas secara mendalam pentingnya swasembada pangan dan energi, tantangan yang dihadapi, serta rekomendasi kebijakan yang diperlukan untuk mencapai kemandirian ekonomi yang berkelanjutan.
Tantangan dalam Mewujudkan Swasembada Energi
Indonesia masih sangat bergantung pada impor bahan bakar fosil, khususnya minyak mentah, yang menjadi tantangan besar dalam mewujudkan swasembada energi.Â
Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada semester pertama tahun 2024, nilai impor minyak mentah mencapai US$18,01 miliar, mengalami kenaikan sekitar 8,22% dibanding periode yang sama pada tahun 2023.Â
Kenaikan impor ini menunjukkan besarnya ketergantungan pada energi fosil, yang membuat Indonesia sangat rentan terhadap fluktuasi harga minyak global. Kondisi ini berdampak langsung pada kenaikan harga barang-barang di dalam negeri, meningkatkan inflasi, serta memperburuk defisit neraca perdagangan.
Selain itu, defisit neraca berjalan Indonesia sebagian besar disebabkan oleh tingginya ketergantungan pada energi impor. Laporan Bank Indonesia mencatat bahwa defisit transaksi berjalan pada kuartal kedua 2024 tercatat sebesar 1,5% dari PDB, dengan komponen energi menjadi salah satu penyumbang terbesar.Â
Hal ini menimbulkan risiko ekonomi yang signifikan, mengingat perubahan harga minyak global dapat berdampak besar pada stabilitas harga dalam negeri.
Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi besar dalam sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya, angin, dan biomassa. Berdasarkan data dari Kementerian ESDM, potensi tenaga surya di Indonesia mencapai sekitar 207,8 gigawatt (GW), sementara potensi tenaga angin diperkirakan sebesar 60,6 GW.Â
Pada semester pertama tahun 2024, kapasitas energi baru terbarukan bertambah sebesar 217,73 MW, mencapai 66,6% dari target tahunan 326,91 MW. Namun, realisasi ini masih sangat rendah dibandingkan total kebutuhan energi nasional. Hingga saat ini, energi terbarukan hanya menyumbang sekitar 12% terhadap total pasokan energi nasional, jauh di bawah target yang telah ditetapkan pemerintah.
Untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, pemerintah perlu mempercepat transisi ke energi terbarukan melalui berbagai langkah strategis.Â
Di antaranya adalah penggalakan investasi di sektor energi terbarukan melalui insentif fiskal, peraturan yang mendukung, serta kolaborasi dengan sektor swasta dan internasional.Â
Selain itu, perbaikan infrastruktur energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya dan angin, serta pengembangan jaringan distribusi yang efisien juga menjadi prioritas. Pemerintah dapat mempertimbangkan skema pendanaan inovatif, seperti pembiayaan hijau atau green financing, untuk menarik lebih banyak investor dalam pembangunan proyek energi terbarukan.
Dengan mempercepat transisi ke energi terbarukan, Indonesia tidak hanya dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil impor tetapi juga meningkatkan ketahanan energi nasional. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas ekonomi jangka panjang, mengurangi risiko inflasi energi, serta memposisikan Indonesia sebagai pemimpin dalam pengembangan energi terbarukan di kawasan Asia Tenggara.
Konflik Sumber Daya antara Pangan dan Energi
Pencapaian swasembada pangan dan energi menuntut pemanfaatan sumber daya, terutama lahan, secara intensif dan bijak. Kedua sektor ini, meskipun sama-sama krusial bagi kedaulatan dan stabilitas ekonomi, sering kali berbenturan dalam hal alokasi lahan.Â
Kebijakan pemerintah yang menargetkan peningkatan mandatori biodiesel dari 35% (B35) menjadi 40% (B40) pada tahun 2025 menunjukkan bahwa kebutuhan akan bahan baku energi, khususnya minyak sawit mentah (CPO), terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), peningkatan ini akan membutuhkan sekitar 16 juta kiloliter biodiesel, yang berarti membutuhkan tambahan sekitar 1,7 juta ton CPO. Hal ini menuntut adanya perluasan lahan kelapa sawit untuk memenuhi permintaan tersebut.
Namun, di sisi lain, sektor pangan juga menghadapi tantangan serupa dalam menjaga stabilitas pasokan untuk kebutuhan domestik yang terus meningkat. Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, membutuhkan lahan pertanian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan komoditas strategis seperti beras, jagung, dan kedelai.Â
Menurut laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024, luas lahan sawah berkurang sekitar 2,3% dibandingkan tahun sebelumnya, terutama disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi kawasan industri, perumahan, atau perkebunan komersial. Kondisi ini mengancam kapasitas produksi pangan nasional di tengah peningkatan konsumsi domestik, khususnya beras, yang menjadi komoditas utama bagi ketahanan pangan nasional.
Dampak Konflik Lahan bagi Sektor Pangan dan Energi
Kebutuhan lahan yang semakin tinggi untuk biofuel dapat berdampak pada pasokan pangan. Produksi biofuel, khususnya biodiesel dari minyak sawit, membutuhkan lahan yang cukup besar. Setiap peningkatan target mandatori biodiesel berarti penambahan area untuk perkebunan kelapa sawit.Â
Jika alokasi lahan tidak dikelola dengan bijak, lahan yang semula digunakan untuk produksi pangan bisa saja dialihkan untuk produksi bahan baku energi. Hal ini akan meningkatkan risiko ketidakstabilan pasokan pangan dan dapat menyebabkan kenaikan harga akibat kelangkaan komoditas pangan tertentu.
Selain itu, ketergantungan pada minyak sawit sebagai bahan baku utama biodiesel memerlukan pengelolaan lahan yang intensif untuk menghindari dampak negatif terhadap lingkungan.Â
Kementerian Pertanian mencatat bahwa luas lahan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai lebih dari 16 juta hektare pada 2024, dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan target biodiesel. Ekspansi lahan sawit yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan deforestasi dan kerusakan ekosistem, yang pada gilirannya dapat memengaruhi keberlanjutan sumber daya alam Indonesia.
Solusi Kebijakan untuk Menjaga Keseimbangan Pangan dan Energi
Mengatasi konflik pemanfaatan lahan antara sektor pangan dan energi memerlukan kebijakan pemanfaatan lahan yang holistik dan terintegrasi. Salah satu pendekatan yang efektif adalah penerapan zonasi khusus untuk sektor pangan dan energi.Â
Melalui zonasi ini, pemerintah dapat mengatur alokasi lahan yang jelas antara kawasan produksi pangan dan kawasan untuk biofuel, sehingga kebutuhan di kedua sektor dapat terpenuhi tanpa saling berbenturan.Â
Sebagai contoh, lahan subur dan beririgasi baik di Pulau Jawa dapat dikhususkan untuk produksi pangan, sementara lahan yang lebih marginal atau lahan kritis di luar Jawa dapat dikembangkan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan energi.
Selain zonasi, penerapan teknologi intensifikasi di sektor pangan sangat penting untuk meningkatkan produktivitas tanpa perlu menambah luas lahan. Teknologi intensifikasi, seperti pertanian presisi yang menggunakan sensor tanah dan pemantauan cuaca, sistem irigasi otomatis, dan penggunaan bibit unggul yang lebih tahan terhadap hama, terbukti mampu meningkatkan hasil panen.Â
Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa dengan intensifikasi yang tepat, produktivitas komoditas seperti padi dan jagung dapat meningkat hingga 30%, sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan tanpa perluasan lahan yang signifikan. Penggunaan teknologi ini membantu memaksimalkan hasil dari lahan yang sudah ada, sehingga lahan tambahan dapat dialokasikan untuk produksi energi jika diperlukan.
Kebijakan land swap juga dapat menjadi solusi untuk mengatasi konflik pemanfaatan lahan. Kebijakan ini memungkinkan pengalihan fungsi lahan yang tidak produktif atau terdegradasi untuk dikembangkan sebagai lahan perkebunan energi.Â
Misalnya, lahan-lahan kritis yang tidak sesuai untuk pertanian pangan dapat dialihkan untuk ditanami kelapa sawit, sehingga produksi biodiesel dapat ditingkatkan tanpa mengurangi lahan produktif untuk pangan. Dengan memanfaatkan lahan-lahan yang kurang subur, Indonesia bisa tetap memenuhi target biodiesel tanpa mengorbankan produksi pangan.
Keseimbangan dalam Kebijakan Pemanfaatan Lahan untuk Stabilitas Ekonomi
Dengan mengimplementasikan zonasi lahan yang bijak, teknologi intensifikasi di sektor pangan, dan kebijakan land swap, Indonesia dapat mencapai keseimbangan dalam pemanfaatan lahan untuk kebutuhan pangan dan energi.Â
Kebijakan ini memastikan bahwa sektor pangan dan energi dapat berkembang tanpa mengorbankan salah satunya, sehingga tercipta stabilitas ekonomi nasional yang berkelanjutan. Dukungan dari pemerintah dalam bentuk insentif untuk adopsi teknologi, regulasi pemanfaatan lahan yang ketat, serta kerjasama dengan sektor swasta dan masyarakat akan sangat penting untuk mewujudkan kebijakan ini.
Pendekatan yang terpadu ini tidak hanya akan menjaga ketahanan pangan dan energi Indonesia di tengah meningkatnya permintaan domestik, tetapi juga mendukung upaya pemerintah dalam mengurangi ketergantungan pada impor energi dan bahan pangan.Â
Indonesia dapat menciptakan landasan ekonomi yang lebih mandiri dan resilien, serta menjaga keseimbangan antara pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan analisis di atas, terdapat sejumlah rekomendasi kebijakan yang dapat ditempuh pemerintahan Prabowo untuk mendukung pencapaian swasembada pangan dan energi nasional.Â
Langkah-langkah ini bertujuan membangun kemandirian Indonesia dalam kedua sektor vital tersebut, memperkuat ketahanan ekonomi, dan memastikan stabilitas sosial di masa depan:
Inovasi Pertanian dan Teknologi
Pemerintah perlu mendorong peningkatan produktivitas pertanian dengan mengadopsi berbagai teknologi canggih yang terbukti meningkatkan efisiensi produksi.Â
Teknologi presisi, yang memungkinkan pengelolaan lahan dan tanaman dengan akurasi tinggi, dapat mengurangi penggunaan air dan pupuk secara signifikan tanpa menurunkan produktivitas. Otomatisasi irigasi dapat membantu petani mengoptimalkan pasokan air sesuai kebutuhan tanaman dan kondisi cuaca, yang sangat penting dalam menghadapi perubahan iklim.
Selain itu, adopsi varietas unggul yang tahan terhadap hama dan cuaca ekstrem dapat membantu mengurangi ketergantungan pada pestisida kimia dan menekan kerugian akibat bencana alam.Â
Penggunaan teknologi drone untuk pemantauan lahan memungkinkan petani mengawasi kondisi tanaman dan lahan secara real-time, memberikan data yang akurat untuk pengambilan keputusan yang lebih cepat dan efektif. Bersama dengan sensor pertanian yang mendeteksi kebutuhan tanah dan tanaman, pendekatan ini mendorong petani untuk mengelola lahan secara efisien, mengurangi risiko gagal panen, dan meningkatkan hasil produksi.Â
Dengan bibit unggul yang memiliki masa panen lebih cepat, produksi pangan dapat meningkat tanpa perluasan lahan tambahan, sehingga menjaga keberlanjutan lingkungan.
Investasi pada Energi Terbarukan
Ketergantungan Indonesia pada energi fosil perlu dikurangi untuk mencapai kemandirian energi yang berkelanjutan. Energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan biomassa memiliki potensi besar yang belum sepenuhnya dimanfaatkan.Â
Pemerintah dapat merancang kebijakan insentif pajak yang menarik bagi investor di sektor energi terbarukan, serta memperbaiki regulasi agar mempermudah pengembangan proyek energi terbarukan, termasuk skala kecil yang lebih mudah diterapkan di berbagai wilayah pedesaan.
Kolaborasi dengan sektor swasta, lembaga penelitian, dan mitra internasional dapat memberikan akses pada teknologi terbaru dan praktik terbaik di bidang energi terbarukan. Misalnya, kerja sama dengan lembaga global yang berpengalaman dapat mempercepat pembangunan infrastruktur, seperti pembangkit listrik tenaga surya dan angin di wilayah-wilayah dengan potensi tinggi.Â
Selain itu, energi biomassa, yang berasal dari sumber daya organik seperti limbah pertanian, dapat dimanfaatkan dengan pendekatan terpadu yang juga mendorong pengelolaan limbah secara lebih efisien. Penerapan strategi ini tidak hanya menyediakan pasokan energi yang bersih tetapi juga menciptakan lapangan kerja baru di sektor hijau dan mengurangi dampak lingkungan.
Manajemen Sumber Daya Alam yang Berkelanjutan
Pemerintah perlu memastikan bahwa pemanfaatan sumber daya alam mendukung swasembada pangan dan energi tanpa merusak keseimbangan ekosistem. Penetapan zonasi khusus untuk masing-masing sektor, seperti lahan pangan dan biofuel, sangat penting guna mencegah tumpang tindih pemanfaatan lahan yang bisa menimbulkan konflik kepentingan. Kebijakan perlindungan lahan pertanian produktif perlu diperkuat agar lahan yang memiliki potensi tinggi tetap dimanfaatkan untuk produksi pangan, sementara lahan marginal dapat dialokasikan untuk keperluan bioenergi.
Penerapan intensifikasi lahan, yaitu mengoptimalkan produksi di lahan yang sudah ada melalui penerapan teknik dan teknologi yang sesuai, dapat mengurangi kebutuhan ekspansi lahan yang berdampak pada lingkungan. Selain itu, pemerintah dapat mengembangkan program pengelolaan lahan berbasis komunitas, yang melibatkan petani lokal dan masyarakat dalam merencanakan dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan.Â
Penguatan kebijakan ini dapat menjaga keseimbangan antara kebutuhan pangan dan energi, memastikan bahwa sektor pangan tetap stabil dan potensi lahan untuk energi tidak terganggu. Dengan manajemen sumber daya yang bijaksana, keberlanjutan lingkungan dan ketahanan ekonomi dapat dijaga secara beriringan.
Kesimpulan
Dalam lima tahun mendatang, pencapaian swasembada pangan dan energi merupakan agenda strategis yang harus diutamakan oleh pemerintahan Prabowo demi tercapainya kedaulatan ekonomi Indonesia. Ketergantungan yang tinggi pada impor pangan dan energi membuat Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global dan dampak geopolitik, yang pada akhirnya mempengaruhi stabilitas ekonomi dan sosial dalam negeri. Melalui kebijakan yang komprehensif dan implementasi yang efektif, pemerintah dapat mengurangi ketergantungan ini dan memperkuat perekonomian nasional dengan membangun ketahanan pangan dan energi secara mandiri.
Di tengah ketidakpastian global yang semakin besar, swasembada pangan dan energi bukan hanya kebutuhan mendesak, tetapi juga bentuk kemandirian yang memungkinkan Indonesia untuk tumbuh dan berkembang tanpa terlalu bergantung pada pihak luar.Â
Inovasi di sektor pertanian, peningkatan investasi di sektor energi terbarukan, dan pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, Indonesia memiliki peluang untuk mencapai kemandirian di kedua sektor ini. Keberhasilan dalam mencapai swasembada pangan dan energi tidak hanya akan memperkuat ketahanan nasional, tetapi juga membangun fondasi bagi masa depan Indonesia yang berkelanjutan, mandiri, dan mampu bersaing di kancah global.
Pencapaian swasembada ini juga akan memberikan dampak positif pada kualitas hidup masyarakat Indonesia, dengan memastikan akses yang lebih stabil dan terjangkau terhadap sumber pangan dan energi.Â
Di sisi lain, ketahanan yang lebih baik di bidang pangan dan energi akan mendorong perkembangan sektor-sektor industri lain, memperluas lapangan kerja, dan meningkatkan daya saing ekonomi Indonesia. Pemerintah harus memandang agenda swasembada pangan dan energi sebagai bagian dari upaya jangka panjang yang tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi, tetapi juga pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial seluruh rakyat Indonesia.
Sumber Rujukan
Food and Agriculture Organization (FAO). (2021). The State of Food Security and Nutrition in the World 2021: Transforming Food Systems for Affordable Healthy Diets. Rome: FAO.
International Renewable Energy Agency (IRENA). (2020). Renewable Power Generation Costs in 2020. Abu Dhabi: IRENA.
Ministry of Agriculture of Indonesia. (2020). Roadmap Swasembada Pangan Berkelanjutan 2020--2045. Jakarta: Kementerian Pertanian.
Ostrom, E. (1990). Governing the Commons: The Evolution of Institutions for Collective Action. Cambridge: Cambridge University Press.
Schneider, M., & McMichael, P. (2010). Deepening, and repair: Shifting agrarian politics under global neoliberalism. Journal of Agrarian Change, 10(3), 315--341.
Pereira, L. M., Wynberg, R., & Wlokas, H. (2017). Innovations in rural areas: Lessons from the renewable energy sector in Sub-Saharan Africa. Sustainability, 9(3), 370.
World Bank. (2019). Agricultural Innovation for Climate Resilience: Insights and Investment Opportunities. Washington, D.C.: World Bank.
Zhang, W., Jiang, F., & Ou, J. (2011). Global pesticide consumption and pollution: With China as a focus. Proceedings of the International Academy of Ecology and Environmental Sciences, 1(2), 125--144.
United Nations Environment Programme (UNEP). (2018). Global Environment Outlook - GEO-6: Healthy Planet, Healthy People. Nairobi: UNEP.
Government of Indonesia. (2020). Rencana Umum Energi Nasional (RUEN). Jakarta: Pemerintah Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya