Pencapaian swasembada pangan dan energi menuntut pemanfaatan sumber daya, terutama lahan, secara intensif dan bijak. Kedua sektor ini, meskipun sama-sama krusial bagi kedaulatan dan stabilitas ekonomi, sering kali berbenturan dalam hal alokasi lahan. Kebijakan pemerintah yang menargetkan peningkatan mandatori biodiesel dari 35% (B35) menjadi 40% (B40) pada tahun 2025 menunjukkan bahwa kebutuhan akan bahan baku energi, khususnya minyak sawit mentah (CPO), terus meningkat. Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), peningkatan ini akan membutuhkan sekitar 16 juta kiloliter biodiesel, yang berarti membutuhkan tambahan sekitar 1,7 juta ton CPO. Hal ini menuntut adanya perluasan lahan kelapa sawit untuk memenuhi permintaan tersebut.
Namun, di sisi lain, sektor pangan juga menghadapi tantangan serupa dalam menjaga stabilitas pasokan untuk kebutuhan domestik yang terus meningkat. Indonesia, dengan jumlah penduduk lebih dari 270 juta jiwa, membutuhkan lahan pertanian yang cukup untuk memenuhi kebutuhan komoditas strategis seperti beras, jagung, dan kedelai. Menurut laporan terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2024, luas lahan sawah berkurang sekitar 2,3% dibandingkan tahun sebelumnya, terutama disebabkan oleh alih fungsi lahan menjadi kawasan industri, perumahan, atau perkebunan komersial. Kondisi ini mengancam kapasitas produksi pangan nasional di tengah peningkatan konsumsi domestik, khususnya beras, yang menjadi komoditas utama bagi ketahanan pangan nasional.
Dampak Konflik Lahan bagi Sektor Pangan dan Energi
Kebutuhan lahan yang semakin tinggi untuk biofuel dapat berdampak pada pasokan pangan. Produksi biofuel, khususnya biodiesel dari minyak sawit, membutuhkan lahan yang cukup besar. Setiap peningkatan target mandatori biodiesel berarti penambahan area untuk perkebunan kelapa sawit. Jika alokasi lahan tidak dikelola dengan bijak, lahan yang semula digunakan untuk produksi pangan bisa saja dialihkan untuk produksi bahan baku energi. Hal ini akan meningkatkan risiko ketidakstabilan pasokan pangan dan dapat menyebabkan kenaikan harga akibat kelangkaan komoditas pangan tertentu.
Selain itu, ketergantungan pada minyak sawit sebagai bahan baku utama biodiesel memerlukan pengelolaan lahan yang intensif untuk menghindari dampak negatif terhadap lingkungan. Kementerian Pertanian mencatat bahwa luas lahan kelapa sawit di Indonesia telah mencapai lebih dari 16 juta hektare pada 2024, dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan target biodiesel. Ekspansi lahan sawit yang tidak terkontrol dapat mengakibatkan deforestasi dan kerusakan ekosistem, yang pada gilirannya dapat memengaruhi keberlanjutan sumber daya alam Indonesia.
Solusi Kebijakan untuk Menjaga Keseimbangan Pangan dan Energi
Mengatasi konflik pemanfaatan lahan antara sektor pangan dan energi memerlukan kebijakan pemanfaatan lahan yang holistik dan terintegrasi. Salah satu pendekatan yang efektif adalah penerapan zonasi khusus untuk sektor pangan dan energi. Melalui zonasi ini, pemerintah dapat mengatur alokasi lahan yang jelas antara kawasan produksi pangan dan kawasan untuk biofuel, sehingga kebutuhan di kedua sektor dapat terpenuhi tanpa saling berbenturan. Sebagai contoh, lahan subur dan beririgasi baik di Pulau Jawa dapat dikhususkan untuk produksi pangan, sementara lahan yang lebih marginal atau lahan kritis di luar Jawa dapat dikembangkan sebagai lahan perkebunan kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan energi.
Selain zonasi, penerapan teknologi intensifikasi di sektor pangan sangat penting untuk meningkatkan produktivitas tanpa perlu menambah luas lahan. Teknologi intensifikasi, seperti pertanian presisi yang menggunakan sensor tanah dan pemantauan cuaca, sistem irigasi otomatis, dan penggunaan bibit unggul yang lebih tahan terhadap hama, terbukti mampu meningkatkan hasil panen. Data Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa dengan intensifikasi yang tepat, produktivitas komoditas seperti padi dan jagung dapat meningkat hingga 30%, sehingga mampu memenuhi kebutuhan pangan tanpa perluasan lahan yang signifikan. Penggunaan teknologi ini membantu memaksimalkan hasil dari lahan yang sudah ada, sehingga lahan tambahan dapat dialokasikan untuk produksi energi jika diperlukan.
Kebijakan land swap juga dapat menjadi solusi untuk mengatasi konflik pemanfaatan lahan. Kebijakan ini memungkinkan pengalihan fungsi lahan yang tidak produktif atau terdegradasi untuk dikembangkan sebagai lahan perkebunan energi. Misalnya, lahan-lahan kritis yang tidak sesuai untuk pertanian pangan dapat dialihkan untuk ditanami kelapa sawit, sehingga produksi biodiesel dapat ditingkatkan tanpa mengurangi lahan produktif untuk pangan. Dengan memanfaatkan lahan-lahan yang kurang subur, Indonesia bisa tetap memenuhi target biodiesel tanpa mengorbankan produksi pangan.
Keseimbangan dalam Kebijakan Pemanfaatan Lahan untuk Stabilitas Ekonomi
Dengan mengimplementasikan zonasi lahan yang bijak, teknologi intensifikasi di sektor pangan, dan kebijakan land swap, Indonesia dapat mencapai keseimbangan dalam pemanfaatan lahan untuk kebutuhan pangan dan energi. Kebijakan ini memastikan bahwa sektor pangan dan energi dapat berkembang tanpa mengorbankan salah satunya, sehingga tercipta stabilitas ekonomi nasional yang berkelanjutan. Dukungan dari pemerintah dalam bentuk insentif untuk adopsi teknologi, regulasi pemanfaatan lahan yang ketat, serta kerjasama dengan sektor swasta dan masyarakat akan sangat penting untuk mewujudkan kebijakan ini.