Bagi Gus Dur, agama bukan sesuatu yang kaku apalagi ketat dan menakutkan, tetapi sebaliknya, bagaimana orang mengelola agama melalui seni, sebab setiap orang yang hendak mendekatkan dirinya kepada Tuhan, tentu saja ada "seninya" dan tidak semua orang mampu menjalankannya.
Mendekati Tuhan, tentu saja dengan penuh kegembiraan, bukan keterpaksaan, kedengkian, atau amarah dan kebencian terhadap sesamanya. Bagaimana Tuhan bisa disekati sementara dalam diri kita masih ada benci, amarah, gundah, sumpah serapah?Â
Seseorang yang ridha kepada Tuhan tentu saja terbuka hatinya, bersih dari sifat-sifat angkara dan disitu pula Tuhan meridhai setiap upaya kita mendekatkan kepada-Nya.
Guyon merupakan seni dalam mengelola agama bukan berarti agama dilecehkan atau direndahkan melalui humor-humor murahan yang kadang muncul di acara-acara televisi komersial atau ekspresi-ekspresi keterlaluan yang dilakukan tokoh-tokoh politik atau para aktivis media sosial yang terlalu menggelikan.
Guyon yang cerdas dan sehat adalah "seni dalam mengelola agama" sebagaimana dilakukan para kiai atau agamawan yang memang memahami bahwa agama bukanlah sarana untuk saling membenturkan perbedaan dan kepentingan.
Guyon merupakan salah satu dari bentuk humanisasi agama, dimana agama dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan kemanfaatan dan kemaslahatan manusia, sehingga mereka sadar akan eksistensi Tuhan lalu mengekspresikannya kembali kedalam ranah humanisme.
Agama berfungsi bagi manusia agar saling mengenal, berinteraksi secara positif, bekerja sama secara sosial, baik dalam lingkup komunal atau lebih luas, yaitu entitas bangsa dan negara.Â
Ciri beragama yang paling baik adalah toleransi (samhah) dan ini jelas merupakan pesan ajaran Islam yang paling fundamental.
Saya kira, kita juga pada akhirnya dapat membedakan dan merasakan, mana yang lebih banyak diapresiasi dan didekati, apakah seni keagamaan yang dikelola dengan cara guyon bahkan tampak kurang serius?Â
Ataukah sikap keberagamaan yang ditunjukkan dengan cara serius, kaku, ungkapan-ungkapan merendahkan, atau luapan emosi kebencian terhadap sesamanya?
Bukan tidak mungkin bahwa para filosof juga adalah mereka yang kerap kali guyon, tetapi mampu memberikan semangat perubahan sosial melalui kegenitannya dalam mengungkapkan pemikiran dan argumentasi-argumentasinya.Â