Nabi dalam hal ini jelas memberikan kesadaran keberagamaan kepada masyarakat dengan cara bergembira, bukan dengan cara-cara yang kasar dan menakutkan, atau kaku dan menegangkan.Â
Nabi melakukan kesenian dalam beragama dengan mengajak lingkungan sekitarnya mengenal ajaran agama (Islam) dengan senang, riang, guyon, dan bahkan penuh kegembiraan.Â
Seandainya Nabi tidak mengenalkan agama Islam dengan cara gembira, saya yakin masyarakat Mekah pada waktu itu enggan mengikuti Nabi dan tentu saja menjauhinya.Â
Bahkan, dalam konteks lebih jauh, Nabi menyatakan, "yassiruu wa laa tu'assiru" (permudahlah dan jangan engkau persulit), dimana sangat kontras dengan nilai kemudahan beragama, baik dijalankan secara intuitif maupun spekulatif.
Di Indonesia, dikenal banyak para kiai atau ulama yang memang seneng guyon dan barangkali hampir dipastikan para ulama yang terpilih (khiyaru ummah) justru yang paling sering guyonannya daripada seriusnya.Â
Bukan berarti bahwa guyon itu mempermainkan agama, tetapi yang lebih penting bagaimana keberagamaan dipahami secara gembira, bukan secara emosional, terlebih tuduhan-tuduhan menyakitkan yang mengundang kebencian.
Realitas belakangan yang terjadi seringkali menempatkan agama sebagai hal yang menakutkan, teror, kebencian, dan yang sangat mengkhawatirkan ketika agama diperalat menjadi kepentingan politik, maka kegaduhan publik distir oleh argumentasi-argumentasi keagamaan yang penuh dengan narasi kebencian.Â
Perbedaan-perbedaan cara pandang dalam konteks agama dan politik, justru disikapi secara kontraproduktif tidak dengan cara kompromistik.
Menyoal guyon sebagai seni mengelola agama, tokoh paling kontroversial di zamannya adalah Gus Dur.Â
Saya kira, banyak joke-joke Gus Dur yang "mendunia" karena memang dinarasikan ulang secara unik oleh beberapa pengikutnya ketika mantan Presiden RI tersingkat ini menghadiri berbagai pertemuan internasional.Â
"Gitu aja kok repot", seolah menjadi branding position dari seorang kiai nyentrik cucu pendiri NU ini yang cukup menjadi alasan bagi "guyonisasi" beragama, sehingga wujud kekakuan agama yang seringkali dipersepsikan bahkan dianut sebagian kelompok Islam "dicairkan" oleh Gus Dur.