Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Masjid Kapal dan Simbol "Segitiga" yang Viral

15 Juni 2019   10:30 Diperbarui: 15 Juni 2019   16:06 861
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Simbolisasi pada akhirnya rentan dalam hal kecenderungan-kecenderungan politik, bahkan lebih jauh dari itu, simbolisasi keagamaan justru marak dijadikan alat untuk kepentingan politik sepihak. Sefanatik inikah kita terhadap simbol? Atau memang kita dibutakan kepentingan politik?

Saya kira, simbol memang penting, tetapi tidak seharusnya mengalahkan hal-hal yang non-simbolik dalam konteks beragama. Beragama tentu saja bukan sebatas simbol, sebab dalam ajaran Islam, yang terpenting adalah bagaimana aktualisasi iman seseorang dibuktikan oleh kepatuhan dan ketundukan pribadinya kepada Tuhan. Itulah sebabnya, Alquran seringkali menyindir "simbolisasi" sebagaimana disebutkan;

"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta..." (QS. Al-Baqarah: 177).

Ornamen Masjid Kapal/Dok.Pri
Ornamen Masjid Kapal/Dok.Pri
Suatu kebajikan tentu saja tak selalu identik dengan kebaktian dengan menghadapkan wajah ke Barat atau ke Timur, sebagaimana kita lihat dalam rumah-rumah ibadah. Kebajikan yang sesungguhnya adalah beriman yang aktualisasinya adalah erat kaitannya dengan realitas sosial: menolong yang membutuhkan, saling membantu antarsesama yang tak lepas dari suasana humanis dalam membangun ikatan-ikatan solidaritas sosial secara lebih luas. 

Inilah ajaran Islam yang sesungguhnya, memperteguh realitas teologis namun tanpa melupakan pijakan historisnya sebagai manusia sosial yang patuh dan tunduk kepada Tuhan. 

Masjid tentu saja tempat ibadah yang disucikan yang seharusnya bebas dari anggapan-anggapan negatif yang bernuansa politik, namun lebih kepada nuansa kebajikan bersifat sosial. Simbol mungkin tak berpengaruh dalam konteks kebajikan sosial, sebab kita sendiri hampir tak lepas dari peristiwa "simbolik" dimana tradisi dan budaya begitu lekat dengan nuansa-nuansa keagamaan yang tak lagi mementingkan simbol.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun