Beberapa waktu yang lalu, viral sebuah masjid di salah satu Rest Area Tol Cipularang yang disebut-sebut dirancang mengikuti simbol segitiga Illuminati milik Yahudi. Masjid al-Safar yang dirancang oleh Gubernur Jabar Ridwan Kamil kemudian sempat heboh di media sosial, karena mihrabnya seolah menggambarkan simbol-simbol Yahudi tersebut.Â
Namun, Ridwan Kamil membantah membuat disain itu seolah mengikuti simbol illuminati, sebab menurutnya, ia membuat gerbang mihrab masjid tersebut berbentuk trapesium dengan empat sudutnya, bukan segitiga sebagaimana yang dituduhkan kepadanya. Padahal, masjid bagaimanapun bentuknya merupakan media transenden yang sakral, sebab didalamnya disebutkan nama Allah dengan mensucikan nama-Nya.
Harus diakui, belakangan rentan terjadi kecurigaan beberapa pihak yang mungkin saja terkait erat dengan konflik politik, sehingga imbasnya terasa dalam hal-hal yang terkait simbolisasi keagamaan.Â
Sebelum viralnya kasus masjid segitiga ini, masjid raya KH Hasyim Asy'ari yang dibangun pemprov DKI Jakarta dengan anggaran 164 milyar, dituduh berdisain salib dan menjadi pertanyaan banyak pihak.Â
Masjid yang dibangun atas inisiasi Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama ini, sempat menimbulkan kecurigaan banyak pihak, karena kental sekali dengan nuansa politik didalamnya.Â
Namun, bagi mereka yang telah datang sendiri dan menyaksikan seluruh sudut di ruangan masjid tersebut, tentu akan memiliki kesan berbeda dengan kabar yang tersiar di media sosial.
Politik, seolah telah membangkitkan fanatisme berlebihan dalam banyak hal, bahkan berbagai tuduhan negatif tak sedikit diarahkan kepada rivalitas politiknya. Padahal, tempat ibadah dimanapun dan bagaimanapun bentuknya, merupakan Rumah Tuhan, yang pasti didalamnya disebut nama-Nya dan mereka yang datang serta melakukan kebaktian, tentu saja bertujuan untuk mengagungkan dan mensucikan nama-Nya.Â
Hal ini jelas, ketika salah satu ayat Alquran menyindir, "Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadat orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah" (QS. Al-Hajj: 40).
Sekalipun agama identik dengan simbol, namun dalam konteks rumah ibadah, simbolisasi seharusnya tidak dikaitkan dengan perbedaan teologis. Jika kita melihat arsitektur lama Masjid Nabawi di Madinah, banyak ornamen-ornamen yang bernuansa Barat, bahkan lukisan-lukisan yang mungkin saja mengadopsi dari gaya disain Barat terukir indah di beberapa sudut dinding masjid.Â
Belum lagi lampu-lampu gantung yang jauh dari kesan Timur Tengah dan hal itu jelas menambah keindahan bagi siapapun yang memandangnya dan kesan klasik jelas menuntun kita pada nuansa historis, soal siapa yang membangun dan memugar bangunan arsitektur masjid tersebut.
Beberapa waktu yang lalu, saya sengaja sowan ke sebuah pesantren di kawasan Banyu Urip, Ujung Pangkah, Gresik. Kebetulan, pengasuh pesantren tersebut adalah kawan sekaligus guru saya ketika masih sama-sama kuliah di IAIN (sekarang UIN) Syrif Hidayatullah Jakarta.Â
Gus Atha---biasa saya memanggilnya---merupakan pengasuh Pesantren Mambaul Ihsan sekaligus salah satu penggagas dibangunnnya masjid unik di kawasan tersebut dengan arsitektur mirip dengan kapal.Â
Masjid Kapal ini diberi nama Masjid Jami' Abdulhamid Alfaqih sebagai penghormatan atas ulama tersebut yang konon dahulu menyebarkan ajaran Islam di Jawa dengan menggunakan perahu.
Bukan suatu kebetulan, bahwa Masjid Kapal ini memiliki arsitektur segitiga di ujung bangunannya yang menyerupai kapal dan hal ini tentu saja menjadi keunikan yang tak perlu dipersoalkan.Â
Yang terpenting bahwa, sisi historis suatu masjid tampak lebih ditekankan dan hal itu tentu saja menjadi pengingat siapapun yang kemudian berkunjung dan beribadah di dalamnya.Â
Kiai Abdulhamid adalah putra dari Kiai Muhammad Faqih Maskumambang, salah satu ulama besar pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU) dan murid pertama Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari. Dibangunnya masjid ini tentu saja kental suasana historis dan tak ada kaitan apapun dengan simbolisasi yang belakangan ini justru dituduhkan sebagian pihak yang tercemari nuansa politik.
Hampir seluruh konflik keagamaan yang muncul belakangan memang tak dapat lepas dari suasana konflik politik yang mengitarinya. Hal inilah yang menjadi keresahan utama seorang ulama kenamaan, ahli perbandingan agama, Imam As-Syahrastani yang secara lugas dituliskannya dalam sebuah kitab berjudul, "Al-Milal wa an-Nihal". Keresahan tersebut ia ungkapkan dalam satu kalimat di bab pertama kitabnya, "semua pertikaian dan fitnah dalam bidang agama, dimulai dari bidang politik".Â
Pernyataan ini tentu saja memiliki relevansinya hingga saat ini dan sangat kita rasakan belakangan, terutama terkait dengan masalah-masalah perbedaan kepentingan politik masyarakat.Â
Konflik politik telah merambah ruang-ruang teologis yang kemudian dihembuskan nada-nada fitnah dan kecurigaan terhadap mereka yang berseberangan pilihan politiknya.
Sulit rasanya kemudian untuk kita berada dalam situasi yang benar-benar berada di luar zona konflik politik, karena hampir dipastikan bahasa agama seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi politiknya masing-masing.Â
Alih-alih kita ingin berada dalam suasana yang lebih netral dan lepas dari kecenderungan politik, kita malah seringkali dituduh sebagai bagian dari mereka yang tak peduli agama atau bahkan tidak membela sedikitpun agamanya.Â
Simbolisasi pada akhirnya rentan dalam hal kecenderungan-kecenderungan politik, bahkan lebih jauh dari itu, simbolisasi keagamaan justru marak dijadikan alat untuk kepentingan politik sepihak. Sefanatik inikah kita terhadap simbol? Atau memang kita dibutakan kepentingan politik?
Saya kira, simbol memang penting, tetapi tidak seharusnya mengalahkan hal-hal yang non-simbolik dalam konteks beragama. Beragama tentu saja bukan sebatas simbol, sebab dalam ajaran Islam, yang terpenting adalah bagaimana aktualisasi iman seseorang dibuktikan oleh kepatuhan dan ketundukan pribadinya kepada Tuhan. Itulah sebabnya, Alquran seringkali menyindir "simbolisasi" sebagaimana disebutkan;
"Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta..." (QS. Al-Baqarah: 177).
Suatu kebajikan tentu saja tak selalu identik dengan kebaktian dengan menghadapkan wajah ke Barat atau ke Timur, sebagaimana kita lihat dalam rumah-rumah ibadah. Kebajikan yang sesungguhnya adalah beriman yang aktualisasinya adalah erat kaitannya dengan realitas sosial: menolong yang membutuhkan, saling membantu antarsesama yang tak lepas dari suasana humanis dalam membangun ikatan-ikatan solidaritas sosial secara lebih luas.Â
Inilah ajaran Islam yang sesungguhnya, memperteguh realitas teologis namun tanpa melupakan pijakan historisnya sebagai manusia sosial yang patuh dan tunduk kepada Tuhan.Â
Masjid tentu saja tempat ibadah yang disucikan yang seharusnya bebas dari anggapan-anggapan negatif yang bernuansa politik, namun lebih kepada nuansa kebajikan bersifat sosial. Simbol mungkin tak berpengaruh dalam konteks kebajikan sosial, sebab kita sendiri hampir tak lepas dari peristiwa "simbolik" dimana tradisi dan budaya begitu lekat dengan nuansa-nuansa keagamaan yang tak lagi mementingkan simbol.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H